Mohon tunggu...
Juan Ray
Juan Ray Mohon Tunggu... Lainnya - warga sipil dari Minahasa

Merenung dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lalang Rondor Malesung, Perjuangan Agama Minahasa Melawan Stigma

29 Juni 2024   16:09 Diperbarui: 29 Juni 2024   16:45 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam langgam perjalanan peradaban Nusantara, terlebih khusus di Bumi Minahasa. Orang Minahasa, memiliki kesadaran spiritual, interaksi kehidupannya, dengan kountur alam, yang berbukit-bukit, memiliki keanekaragaman hayati yang berlimpah, serta letaknya di poros perlintasan dunia Era Merkantilisme. Membentuk manusia Minahasa membentuk diri dan kesadaran untuk menggapai kekekalan yang diyakininya.

Perjalanan ini, sekaligus memberikan kesempatan manusia Minahasa menata peradabannya, bersentuhan dengan entitas spiritual, zat yang dipercaya secara langsung maupun dengan perantara dalam hidupnya menjadikannya sadar untuk berlaku hidup seimbang dan mengikuti rambu-rambu menuju kesemestaan.

Hasil refleksi dari sadur kesinambungan hiudpnya, memberikannya pengalaman spiritual. Momen atau peristiwa di mana seseorang merasakan hubungan mendalam dengan dimensi spiritual dalam kehidupannya. Ini bisa berupa pengalaman yang membuat seseorang merasa terhubung dengan entitas spiritual yang diyakininya, berdasarkan pendekatan ekologis dan pemahaman yang lahir secara empirik.

Seperti Orang Minahasa, memiliki kesadaran spiritualnya, yang banyak dibahasakan dengan Apo Wailan Wangko, Opo Empung, Opo Wananatas, Opo Wiawointana wo Langi, Apo Andangka, Sia Katare Nimema Tana wo Langi. Sebutan yang beragam ini muncul dalam kesadaran spiritual Orang Minahasa, sampai hari ini. Sebutan yang berbeda-beda adalah wujud perjumpaannya dengan refleksi dengan alam raya, serta latar belakang siapa dirinya, atau dalam wujud manusia Minahasa telah layak menyandang sebutan 'Tou'.

Minahasa dengan letak alamiahnya yang strategis dalam geopolitik, serta tanahnya memiliki sumber daya yang berlimpah kesempatan untuk berjumpa dengan entitas-entitas baru yang datang, membawa konsep hidup dari tempat asalnya, maupun konsep hidup secara individu yang memiliki pengalaman spiritualnya sendiri. Pertemuan dengan kepercayaan dan konsep nilai spiritual biasanya berubah dan mengalami perkembangan sekaligus degradasi nilai.

Namun, di Minahasa dalam himpitan perkembangan konsep-konsep Agama Timur Tengah, masih ada kepercayaan Malesung. Sebuah kepercayaan orang Minahasa yang berasal dari tradisi yang ketat dan penuh kekayaan pengetahuan. Ini menjadi secercah harapan, seperti oasis di pandang gersang.

Kepercayaan terhadap leluhur, masih dianggap sesuatu hal yang tabuh, bahkan para penganutnya sering tertutup dan tidak mau menampakkan diri ke permukaan. Tapi, berbeda dengan Organisasi Kepercayaan Lalang Rondor Malesung yang disingkat Laroma, yang kini memiliki dokumen-dokumen pengakuan dari negara, serta aktif menjalankan ritual dan ajaran Minahasa luhur ini.

Laroma pengakuan negara terhadap Laroma dibuktikan dari Tanda Inventarisasi Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi dengan Nomor 1145/F2/KB.02.03/2021, serta resmi diakui keberadaannya oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara melalui Surat Keterangan Nomor 009/27/Kesbangpolda/XII/2021. Yang juga menjadi bagian dari Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (MLKI).

Namun begitu, menurut Iswan Sual selaku Ketua Umum Laroma, Laroma berdiri pada tanggal 17 Februari 2016 dengan pendirinya adalah Frits Sual, Iswan Sual, dan Yanli Sengkey.  Laroma didirikan di Desa Tondei Dua, Kecamatan Motoling Barat, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara yang dibuktikan dalam Akta Notaris Kenny Robert Calvyn Monintja, S.H., M.Kn. Nomor:  01/19 Oktober 2020. Letak Laroma secara organisasi dekat dengan situs yang memang disakralkan oleh orang Minahasa, yakni Watu Lutau yang berada di Desa Tondei, Kecamatan Motoling.

Watu Lutau, menjadi tempat peribadatan Laroma, serta menjadi titik berangkat untuk melaksanakan ritual khusus maupun pusat sosial dari Komunitas Laroma, seperti refleksi kehidupan lewat nyanyian, sesembahan, dan diskusi serta pengajaran. Watu Lutau sendiri memiliki arti harafiah dalam Bahasa Tontemboan adalah 'Batu Tembak', bentuknya mirip dengan senjata serta memiliki corak atau ukiran membentuk manusia. Watu Lutau adalah Watu Lesung, yang bisa diartikan juga 'Watu La'les ung Kayobaan/Apo Empung/Kasendukan/...dst', -saduran ini dari hasil perjumpaan penulis yang hidup di tanah Minahasa, sering ajaran tua kami, mengajarkan untuk merahasiakan atau tidak mengucapkan sesuatu entitas yang sakral secara sembarangan atau pun serampangan. Sehingga, Watu Lesung patutlah hanya disebut demikian.

Laroma yang berasal dari kata Lalang Rondor Malesung, memiliki arti dalam Bahasa Tontemboan, Jalan Lurus Malesung, yang bisa juga diterjemahkan Jalan Kebenaran Malesung. Yang memiliki arti sebuah ajaran luhur yang harus diikuti oleh generasi baru, dan bagi generasi di atasnya harus menuntun generasi baru sesuai dengan jalan kebenaran leluhur.

Sumber laman resmi Facebook Laroma, saat menjalankan ritual di Watu Lutau 
Sumber laman resmi Facebook Laroma, saat menjalankan ritual di Watu Lutau 

Hasil wawancara dan penggalian informasi dengan Ketua Umum Laroma, Iswan Sual, pada 2018 silam dalam nuansa yang santai, sembari kami bersama-sama dalam pertemuan diskusi hangat dengan kawan-kawan aktivis masyarakat adat dan pegiat budaya Minahasa lainnya, Sual mengungkapkan, trah ajaran luhur Laroma memiliki akar dari pengajaran dari Dotu Lumimuut dan Dotu Toar yang kemudian dilanjutkan oleh Dotu Lolombulan. 

Dotu Lolombulan mengajarkan kepada Dotu Pingkan dan Dotu Matindas. Ajaran Malesung dilanjutkan oleh Dotu Nenek Wongkar yang kemudian dilanjutkan oleh Dotu Mandor Sual. Dotu Mandor Sual melanjutkan ajaran Malesung kepada anaknya yang bernama Dotu Tertius Sual. Dotu Tertius Sual melanjutkan   ajaran leluhur ini kepada adik perempuannya yaitu Dotu Maruang Sual. Ajaran ini dilanjutkan oleh Dotu Joni Sual dan ajaran ini dibuatkan sebuah organisasi oleh keturunan dari Dotu Joni Sual yaitu Frits Sual.

Dalam upaya menjelaskan apa itu Laroma, Iswan Sual telah menelurkan postingan di akun pribadi facebooknya Iswan Sual, demikian:

Ajaran utama LAROMA adalah falsafah 'tumou  tou'. Dua kata berbahasa Tontemboan tersebut bermakna 'membangun manusia.' Falsafah tumou tou itu diyakini para penghayat Lalang Rondor Malesung sebagai amanat yang harus dilakukan oleh seluruh penghayat sebagaimana telah dirumuskan oleh Sam Ratulangi: si tou timou tumou tou. Artinya manusia yang telah bertumbuh, maju, berkembang, wajib membantu yang lainnya agar sama-sama bertumbuh, maju, berkembang dan menjadi manusia seutuhnya.

Dalam kesehariannya para penghayat Lalang Rondor Malesung ini berupaya menjalankan gaya hidup hemat, sederhana, dekat dengan alam, saling bermapalus, menghormati leluhur dan sesama, bersimpati kepada yang duka lara, menghargai perbedaan keyakinan anggota masyarakat lain, mendorong gaya hidup sehat, mendukung pemajuan pendidikan, dan sebagainya.

LAROMA mendukung upaya-upaya pemajuan Kebudayaan, peningkatan kecakapan hidup (life skill), pemberdayaan masyarakat dan peningkatan karakter bangsa. Hal ini sesuai dengan azas organisasi yaitu Pancasila  dan UUD 1945.

Laroma memiliki dasar pengajaran tua Minahasa yang masih banyak dipedomani juga oleh orang Minahasa hari ini, meski sudah memiliki laku hidup sebagai penganut agama lain. Dasar ajaran yang menjadi Amanat Nuwu I' Tua, Laroma juga memiliki pedoman tingkah laku hidup, yang dikenal dengan 'lima le'tek' atau lima kesetiaan dan lima moral. Selain itu, Laroma memiliki juga sembilan wejangan (siouw sususuyang) yang terdiri dari sembilan nasihat (siouw sisina'u) dan sembilan larangan (siouw foso). Itulah yang menjadi pedoman laku diri hidup Laroma.

Laroma juga sebagai ajaran luhur Malesung, terus melestarikan dan mengimani nilai-nilai keharmonisan dan kesetaraan sebagai sebuah mahkluk diri dalam semesta. Untuk mengatur keharmonisan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa atau para paripurna yang telah mencapai kayobaan. Kedua, mengatur diri untuk keharmonisan dengan sesama manusia. Dan ketiga, keharmonisan diri dengan alam raya. Inilah konsep yang sering juga disebut oleh orang Tontemboan, 'telu rondor ne tou'.

Meski demikian, dengan ajaran yang baik dan penuh keluhuran, Laroma harus disandera oleh stigma negatif di masyarakat. Dari semenjak awal issue negatif sesat dan aliran penyimpang dari agama adalah tuduhan keji yang didera. Puncaknya pada bulan Juni tahun 2022, Wale Paliusan atau tempat ibadah sekaligus tempat yang menyimpan benda-benda pusaka serta penunjang ritual, dirusak oleh oknum manusia berakal sehat. Untuk kronologis kejadiannya bisa diakses pada laman Facebook Solidaritas Peduli Laroma.

Dilansir dalam akun laman resmi facebook Lalang Rondor Malesung,

"Wale Paliusan. Artinya Rumah Tempat Berkumpul. Bangunan ini merupakan wadah pusat kegiatan Lalang Rondor Malesung (LAROMA). Disini kami mendengarkan kisah-kisah, cerita, leluri kepahlawanan para leluhur kami.

Leluhur berarti manusia dengan laku hidup luhur dan mulia. Mereka banyak berjasa di zaman lampau karena karya mereka dalam pertanian dan perlindungan ro'ong atau negeri. Hingga hari ini efek perbuatan baik mereka masih bermanfaat dan berfaedah bagi kami sebagai keturunan mereka.

Di tempat ini pula kami belajar pengetahuan dan praktik warisan leluhur seperti tata laku, etika, pertanian, keseimbangan lingkungan, masakan tradisional, pelestarian situs sejarah budaya, kalelon, pengobatan, dll."

Peristiwa 22 Juni 2022 mengenai Pengrusakan Wale Paliusan Laroma, dikecam oleh banyak pihak, salah satunya SETARA Institute, bahkan dalam penelurusan SETARA Institute, oknum pengrusakan Wale Paliusan diduga seorang pemuka agama setempat. Seperti dilansir dalam VoA Indonesia, dalam keterangan persnya, SETARA mengatakan pelaku menjustifikasi rangkaian perusakan tersebut dengan stigma bahwa penghayat sesat dan menyembah setan. Berita palsu bahwa penghayat tidak memiliki dasar hukum resmi dan berbagai stigma yang menyudutkan penghayat sudah cukup lama beredar di daerah tersebut, hingga bereskalasi menjadi perusakan Wale Paliusan.

Sumber dari laman resmi Facebook Laroma, peringatan setahun kejadian pengrusakan Wale Paliusan
Sumber dari laman resmi Facebook Laroma, peringatan setahun kejadian pengrusakan Wale Paliusan

Perusakan itu dilakukan seorang oknum rohaniwan, sedangkan dua orang lainnya mengintimidasi keluarga itu dengan stigma sesat dan menyembah berhala. Rentetan perusakan ini meninggalkan trauma bagi keluarga. Berdasarkan penelusuran SETARA Institute, tiga korban saat ini masih dalam proses pemulihan dan kondisinya sangat lemah. Seorang korban bahkan sampai dua kali jatuh pingsan karena stres. Seorang anak yang melihat langsung puing-puing jatuh saat ia sedang makan juga terdampak syok.

Namun, dengan kerugian materil dan imateril di atas yang dirasakan oleh penganut Laroma, jelas kejadian tersebut adalah pelanggaran terhadap UUD NRI 1945, dengan melanggar Pasal 28E ayat (1) "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali." Bunyi Pasal 28E ayat (2) "setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya."

Pasal 28I ayat (1) hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 28I ayat (2) setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Pasal 28I ayat (3), "identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban."

Pasal 29 ayat (1), "Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya." Dan, Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945, "Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."  

Kasus tersebut seperti membuka tudung lama, perjumpaan Bangsa Minahasa dengan Bangsa Asing, terutama dalam perebutan pengaruh dari sisi kesadaran spiritual. Dalam buku Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Utara (1984) karangan J.P. Tooy dan kawan-kawan dijelaskan bahwa misi kedua bangsa ini masuk ke Minahasa untuk menyebarkan ajaran Nasrani. Pada 1563, misi penyebaran agama Kristen Katolik di Minahasa oleh Portugis dilanjutkan oleh Spanyol sejak tahun 1580. Awalnya, keberadaan Spanyol diterima baik oleh rakyat Minahasa. Pada 1606. sebuah armada pimpinan Christoval Suarez untuk mengikat persahabatan antara Kerajaan Spanyol dengan rakyat Minahasa.

Akan tetapi, itikad baik dari rakyat Minahasa kepada disalahgunakan oleh Spanyol, juga niat kaum misionaris mereka dalam menyebarkan agama Katolik harus tercoreng oleh ulah para tentara. Tindakan para prajurit Spanyol sangat menyakiti hati rakyat Minahasa. Mereka dengan seenaknya merampas makanan, bahkan tega bertindak tidak senonoh terhadap kaum perempuan di Minahasa, demikian tulis J.P. Tooy dan kawan-kawan dalam bukunya.

Puncaknya pada 1644. Tentara Spanyol yang sedang memasuki desa memukul dan melukai salah seorang pemimpin rakyat Minahasa yang ada di Tomohon. Dikutip dari Watuseke F.S. dalam Sejarah Minahasa (1968), rakyat Minahasa menganggap perbuatan itu sudah keterlaluan dan menurunkan martabat serta harga diri pemimpin yang dihormati oleh seluruh rakyat. Peristiwa ini pun menjadi tanda dimulainya perlawanan rakyat Minahasa terhadap Spanyol.

Konteks kedatangan bangsa Eropa ini, bukan hanya memberikan nestapa bagi sumber daya alam Minahasa yang mulai dieksploitasi secara besar-besaran, tetapi juga bila ditilik lebih intim, adalah misi penyebaran. Konsep untuk menanamkan paradigma kepercayaan baru kepada Orang Minahasa. Memang penilaian ini bisa menimbulkan perdebatan, akan tetapi, terbukti dengan kasus stigma serta tindakan intoleran terhadap kaum minoritas, apalagi Agama Malesung, yang notabene adalah perwujudan di era modern dari agama luhur Bangsa Minahasa tentunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun