Mohon tunggu...
Juan Engelbertus
Juan Engelbertus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Kenotariatan

Penulis merupakan seorang mahasiswa yang menempuh pendidikan magister kenotariatan dengan minat khususnya pada hukum orang, hukum perjanjian, dan ilmu hukum pada umumnya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkawinan Beda Agama: Putusan Mahkamah Agung dalam Sistem Hukum Indonesia

11 Juni 2024   15:01 Diperbarui: 11 Juni 2024   15:11 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permasalahan terkait hukum perkawinan beda agama juga muncul dengan adanya lembaga-lembaga pemerintah yang memberikan statemen bahwa perkawinan yang diakui negara haruslah perkawinan yang dilakukan oleh orangorang dengan agama/kepercayaan yang sama. 

Sebagai contoh saja artikel yang dapat diakses melalui link https://disdukcapil.kotawaringinbaratkab.go.id/berita/vw-nikah-beda-agama-tidak-boleh-dicatat-di-dukcapil-simak-penjelasan-dirjen, diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat di website mereka yang menyatakan sebagai berikut: "Nikah beda agama tidak akan tercatat di dinas-dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil). Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Zudan Arif Fakrulloh menegaskan pernikahan harus dilakukan dalam kondisi agama yang sama."

Kesimpang siuran tentang keabsahan perkawinan beda agama  berkonsekuensi pada seringnya terjadi penyelundupan tidak saja pada normanorma hukum tapi penyelundupan nilai-nilai sosial dan agama. Banyak terjadi karena tidak jelasnya pengaturan perkawinan tentang perkawinan beda agama, juga penolakan oleh Kantor Catatan Sipil untuk melakukan pencatatan, bahkan sesudah adanya putusan Mahkamah Agung nomor Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 yang mengijinkan perkawinan beda agama dan telah diadopsi oleh hakim-hakim pengadilan negeri sampai sekarang ini, masyarakat mengambil jalan pintas yang apabila dinilai dari nilai-nilai sosial dan agama tidak benar. Contohnya dengan salah satu pihak hanya berpindah agama secara identitasnya saja tapi dalam kehidupannya tidak mempraktikan ajaran-ajaran agama tersebut, sekedar hanya untuk bisa mencatatkan perkawinan yang dilakukan dengan pasangannya yang sebelumnya beragama berbeda dengan orang tersebut.

Menurut hemat penulis seharusnya putusan mahkamah Agung dapat ditegaskan dengan suatu pembaharuan dalam undang-undang perkawinan sehingga tidak menimbulkan disharmonisasi bagi perangkat-perangkat pelayanan negara untuk masyarakat dalam menjalankan tugasnya. Hal ini mengingat pendapat dari Soetandyo Wignjosoebroto yang penulis baca dalam tulisan berjudul "Pembaruan Hukum Masyarakat Indonesia Baru"  yang menyatakan bahwa yurisprudensi masuk sebagai suatu pembaharuan hukum yang dilakukan melalui Ketentuan Pasal 5 Ayat 1 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang memberikan kewenangan kepada hakim dan hakim kontitusi untuk menggali, mengikuti, juga memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat untuk memberikan putusan tentang permasalahan baik yang belum diatur oleh hukum tertulis ataupun telah ada pengaturannya dalam hukum tertulis namun memiliki interpretasi yang tidak jelas sehingga terjadi kebingungan dalam hal apa bagaimana ketentuan itu harus diterapkan.

Menurut M. Fauzan dalam bukunya yang berjudul "kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum Perdata", yurisprudensi yang lahir dari pengadilan (judge made law) sebenarnya mengandung pula kekuatan hukum mengikat dan memaksa dalam pelaksanaanya. Meskipun yurisprudensi di dalam sistem hukum Indonesia hanya merupakan subsistem dari sumber hukum, artinya hanya melengkapi dalam hal tidak ada ketentuan undang-undang yang mengaturnya namun selama tidak bertentangan dengan undang-undang maka yurisprudensi tersebut harus ditegakkan.

Dalam jurnal berjudul "Perselisihan Sociological Jurisprudence Dengan Mazhab Sejarah Dalam Kasus "Merarik"", penulis membaca suatu pendapat mengenai konsep hukum sebagai alat untuk rekayasa sosial yang diperkenalkan Roscoe Pound, di situ Mocthar Kusumaatmadja menyatakan bahwa meskipun hukum yang baik itu merupakan hukum yang hidup dalam masyrakat, namun hukum tetaplah harus dibuat oleh pihak yang berwenang, bersifat dari atas ke bawah bukan sebaliknya. Dari situlah yurisprudensi (judge made law) memiliki peranan penting untuk mengakomodasi hukum yang hidup dalam masyarakat agar memiliki kekuatan hukum dalam sistim hukum suatu negara disamping peraturan perundang-undangan lainnya, meskipun Mocthar mengakui bahwa di Indonesia pembentukan hukum melalui pembuatan peraturan perundang-undangan lebih memiliki peranan penting dalam konsep rekayasa sosial oleh hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun