Sebagai suatu produk dari interaksi sosial, sudah sewajarnya perkawinan dipengaruhi oleh kondisi masyarakat itu sendiri. Sebuah masyarakat yang sederhana, perkawinannya cenderung bersifat serta sempit atau bahkan tertutup, sebaliknya dalam suatu masyarakat yang kompleks atau modern, perkawinan memiliki sifat yang luas dan terbuka.Â
Dengan demografis masyarakat indonesia yang multikultural, terutama dalam hal agama, serta didorong oleh perkembangan teknologi di masa modern ini membuat interaksi dan mobilitas masyarakat semakin mudah, memburamkan sekat-sekat antar masyarakat yang dilatarbelakangi oleh ras, etnis, budaya, dan agama, maka perkawinan beda agama merupakan sesuatu yang sangat mungkin dan seringkali terjadi.Â
Dengan 6 agama yang diakui Indonesia, dengan mayoritas penduduk beragama Islam sebanyak 231 juta jiwa (86,8%), Kristen 20 juta jiwa (7,5%), Katholik 8,3 juta jiwa (3,1%), Hindu 4,6 juta jiwa (1,7%), Budha 2 juta jiwa (0,75%), Konghucu 72 ribu jiwa (0,05%), dan Penganut Kepercayaan 112 ribu jiwa (0,04%).
Perkawinan beda agama sendiri sudah menjadi isu hukum yang telah lama ada bahkan semenjak jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda dengan beragamnya etnis dan agama penduduk Indonesia.Â
Pemerintahan kolonial pada saat itu menerbitkan peraturan yang mengatur tentang pembagian golongan penduduk dan atas hukum perdata apa mereka harus tunduk, dengan hal tersebut artinya penduduk di Indonesia saat itu juga tunduk pada hukum tentang perkawinan yang berbeda. Sekarang ini permasalahan ini dapat disimpulkan melalui ketentuan Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU 1/1974 tentang Perkawinan) yang menyatakan "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu."
Untuk golongan penduduk Indonesia dibagi menjadi 3 golongan, penduduk Indonesia asli beragama Kristen dan penduduk agama Asli beragama selain Kristen. Mereka yang beragama kristen saat itu tunduk pada HOCI, singkatan dari Huwerlijk Ordanantie Christen Indonesia.Â
Sedangkan untuk mereka yang beragama lain berlaku hukum perkawinan menurut hukum adat mereka sendiri, yang dimaksud dalam hukum adat golongan penduduk Indonesia asli ini juga termasuk hukum perkawinan dari agama selain kristen, seperti hukum perkawinan agama Islam dan Hindu, disamping hukum perkawinan dari masyarakatmasyarakat Hukum Adat. Untuk golongan penduduk Timur Asing dalam hal perkawinan berlaku hukum adat mereka sendiri disamping hukum perkawinan yang terdapat untuk golongan eropa.Â
Untuk golongan penduduk beretnis arab yang dimaksud sebagai hukum adat mereka sendiri umumnya adalah hukum perkawinan yang bersumber dari hukum Agama Islam atau agama lain semisalnya mereka yang beragama selain Islam.Â
Meskipun begitu sebelum disahkannya UU 1/1974 tentang Perkawinan, pengaturan tentang perkawinan beda agama dimuat dalam Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwejlijken, staatsblad 1898 No.158) dan juga dalam Huwerlijk Ordanantie Christen Indonesia S. 1933 No. 74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen) atau biasa disingkat HOCI, sehingga tidak menimbulkan permasalahan lebih lanjut.
Perbedaan hukum perkawinan berdasarkan golongan penduduk berakhir pada tahun 1974 dengan disahkannya UU 1/1974 tentang Perkawinan adalah salah satu upaya negara dalam mewujudkan unifikasi hukum nasional. Meskipun begitu upaya pembentukan UU 1/1974 tentang Perkawinan, tidak terlepas dari permasalahan tentang perkawinan beda agama, dalam RUU undang-undang tersebut negara sempat berupaya untuk memberi pengaturan yang jelas mengenai perkawinan beda agama.Â
Dalam Pasal 11 Ayat 2 RUU Perkawinan pada waktu itu terdapat Pasal 11 Ayat 2 yang menyatakan bahwa, perbedaan karena suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan, dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan", namun upaya tersebut mendapat penolakan dari fraksi partai-partai agama Islam di DPR pada waktu itu. Penolakan itu menyebabkan Pasal 11 Ayat 2 dihapus dalam draft final UU 1/1974 tentang Perkawinan,, dan menyebabkan upaya untuk menciptakan suatu peraturan tentang perkawinan yang berlaku secara nasional untuk seluruh warga negara Indonesia pun tergoyahkan.
Permasalahan terkait hukum perkawinan beda agama juga muncul dengan adanya lembaga-lembaga pemerintah yang memberikan statemen bahwa perkawinan yang diakui negara haruslah perkawinan yang dilakukan oleh orangorang dengan agama/kepercayaan yang sama.Â
Sebagai contoh saja artikel yang dapat diakses melalui link https://disdukcapil.kotawaringinbaratkab.go.id/berita/vw-nikah-beda-agama-tidak-boleh-dicatat-di-dukcapil-simak-penjelasan-dirjen, diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat di website mereka yang menyatakan sebagai berikut: "Nikah beda agama tidak akan tercatat di dinas-dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil). Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Zudan Arif Fakrulloh menegaskan pernikahan harus dilakukan dalam kondisi agama yang sama."
Kesimpang siuran tentang keabsahan perkawinan beda agama  berkonsekuensi pada seringnya terjadi penyelundupan tidak saja pada normanorma hukum tapi penyelundupan nilai-nilai sosial dan agama. Banyak terjadi karena tidak jelasnya pengaturan perkawinan tentang perkawinan beda agama, juga penolakan oleh Kantor Catatan Sipil untuk melakukan pencatatan, bahkan sesudah adanya putusan Mahkamah Agung nomor Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 yang mengijinkan perkawinan beda agama dan telah diadopsi oleh hakim-hakim pengadilan negeri sampai sekarang ini, masyarakat mengambil jalan pintas yang apabila dinilai dari nilai-nilai sosial dan agama tidak benar. Contohnya dengan salah satu pihak hanya berpindah agama secara identitasnya saja tapi dalam kehidupannya tidak mempraktikan ajaran-ajaran agama tersebut, sekedar hanya untuk bisa mencatatkan perkawinan yang dilakukan dengan pasangannya yang sebelumnya beragama berbeda dengan orang tersebut.
Menurut hemat penulis seharusnya putusan mahkamah Agung dapat ditegaskan dengan suatu pembaharuan dalam undang-undang perkawinan sehingga tidak menimbulkan disharmonisasi bagi perangkat-perangkat pelayanan negara untuk masyarakat dalam menjalankan tugasnya. Hal ini mengingat pendapat dari Soetandyo Wignjosoebroto yang penulis baca dalam tulisan berjudul "Pembaruan Hukum Masyarakat Indonesia Baru" Â yang menyatakan bahwa yurisprudensi masuk sebagai suatu pembaharuan hukum yang dilakukan melalui Ketentuan Pasal 5 Ayat 1 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang memberikan kewenangan kepada hakim dan hakim kontitusi untuk menggali, mengikuti, juga memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat untuk memberikan putusan tentang permasalahan baik yang belum diatur oleh hukum tertulis ataupun telah ada pengaturannya dalam hukum tertulis namun memiliki interpretasi yang tidak jelas sehingga terjadi kebingungan dalam hal apa bagaimana ketentuan itu harus diterapkan.
Menurut M. Fauzan dalam bukunya yang berjudul "kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum Perdata", yurisprudensi yang lahir dari pengadilan (judge made law) sebenarnya mengandung pula kekuatan hukum mengikat dan memaksa dalam pelaksanaanya. Meskipun yurisprudensi di dalam sistem hukum Indonesia hanya merupakan subsistem dari sumber hukum, artinya hanya melengkapi dalam hal tidak ada ketentuan undang-undang yang mengaturnya namun selama tidak bertentangan dengan undang-undang maka yurisprudensi tersebut harus ditegakkan.
Dalam jurnal berjudul "Perselisihan Sociological Jurisprudence Dengan Mazhab Sejarah Dalam Kasus "Merarik"", penulis membaca suatu pendapat mengenai konsep hukum sebagai alat untuk rekayasa sosial yang diperkenalkan Roscoe Pound, di situ Mocthar Kusumaatmadja menyatakan bahwa meskipun hukum yang baik itu merupakan hukum yang hidup dalam masyrakat, namun hukum tetaplah harus dibuat oleh pihak yang berwenang, bersifat dari atas ke bawah bukan sebaliknya. Dari situlah yurisprudensi (judge made law) memiliki peranan penting untuk mengakomodasi hukum yang hidup dalam masyarakat agar memiliki kekuatan hukum dalam sistim hukum suatu negara disamping peraturan perundang-undangan lainnya, meskipun Mocthar mengakui bahwa di Indonesia pembentukan hukum melalui pembuatan peraturan perundang-undangan lebih memiliki peranan penting dalam konsep rekayasa sosial oleh hukum.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI