Sebagai seorang pejabat negara seperti Menteri, DPR, kepala badan pemerintah maupun Presiden dan sebagai pejabat daerah seperti Gubernur, Bupati/Walikota harus bisa memberi pernyataan yang tidak membingungkan atau ambigu.
Persoalannya, masyarakat yang mendengar pun akan tidak mengerti dan bisa jadi miss komunikasi yang membuat sebuah konflik.
Pernyataan membingungkan muncul ketika Menteri Kordinator bidang Pembangunan  Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengeluarkan pernyataan begini:
"Tapi kalau (dibandingkan) dengan jumlah penduduk, angka ini (positif Corona) enggak terlalu istimewa, karena penduduk (Indonesia) banyak," kata Muhadjir dalam jumpa pers melalui siaran Youtube Sekretariat Presiden, dilansir dari CNN Indonesia.com, 8/5/2020.
Ia menyebut penambahan jumlah kasus di Indonesia pun paling banyak hanya 500 per hari. Sementara di Singapura pernah mencatat penambahan kasus positif virus Corona mencapai 1.400 Kasus dalam satu hari.
Istimewa atau signifikan?
Pernyataan Pak Muhadjir mengenai kasus terinfeksi virus Corona di Indonesia tidak istimewa menimbulkan tanya bagi penulis dan mungkin bagi kita.
Betapa tidak, dalam Pandemi ini timbul kata istimewa, padahal kita saja sedang berduka karena berbagai sektor kehidupan dihajar habis, dan mengancam kehidupan manusia lainnya.
Penggunaan diksinya kurang baik dan mengecewakan. Kata istimewa digunakan dalam hal duka dan sulit seperti ini. Padahal, kata istimewa biasa digunakan untuk sesuatu yang spesial dan menggembirakan.
Contohnya, dalam perayaan hari ulang tahun seseorang diadakan dengan banyak kejutan lain dari yang lain. Itu biasa disebut istimewa.
Harusnya Pak Muhadjir menggunakan kata signifikan terhadap data-data yang beliau sampaikan itu.Â
Contohnya, kasus penyebaran virus Corona sangat signifikan mengalami penurunan atau kenaikan di Indonesia dibandingkan di Singapura. Itu lebih baik.
Kata istimewa yang digunakan Pak Muhadjir seakan-akan menyepelekan kasus terinfeksi virus Corona di Indonesia. Karena masih sedikit yangg terinfeksi, maka kita tak perlu cemas-cemas sekali?. Apa begitu?.
Diksi-diksi seperti ini harusnya tidak dikeluarkan oleh pejabat negara karena bisa menimbulkan komentar dan kritikan yang lebih masif sehingga bisa membuat kegaduhan dan keributan di bangsa ini.
Alangkah baiknya, kita tidak menggunakan kata-kata yang ambigu. Menurut anda benar dan menurut orang lain tidak benar. Seharusnya gunakan kata-kata yang umum dan biasa didengar masyarakat.
Belajarlah dari kata yang diungkapkan Pak Jokowi antara mudik dan pulang kampung itu beda, tetapi pada masyarakat itu sama saja. Karena itu, penulis membaca komentar di berbagai media online sangat banyak dan dishare juga sebanyak-banyaknya.
Itu karena dalam benak masyarakat sangat asing di telinga mereka. Masyarakat kurang familiar dengan diksi maupun pengertian-pengertian sebuah kata yang disampaikan. Sebab itulah, menuai banyak komentar publik bahkan bisa viral dengan berisi kata mengandung kekasaran.
Kedepannya, para pejabat negara negara tidak menggunakan diksi yang kurang dipahami masyarakat secara umum. Meski menurut pejabat negara kata itu memang benar, tetapi masyarakat berkata lain.
Semoga ke depannya lebih baik dalam membuat pernyataan, apalagi di situasi sulit ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H