Terkait kegiatan patroli siber dan juga penegakan hukum yang dilakukan Polri terhadap kasus penghinaan terhadap penguasa selama Pandemi Covid-19 atau Corona ini mengajarkan kita untuk menjaga omongan atau berbicara dengan sopan jangan sembarangan. Hal itu sesuai Surat Telegram No. ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 merujuk pasal 207 KUHPidana.
Pada masa-masa sekarang ini yang sudah modern dan demokratis, kita butuh memahami banyak hal. Salah satunya adalah menjaga ucapan atau omongan dengan baik dan tidak asal-asalan.
Berbicara maupun mengkritik boleh-boleh saja tapi tetap memperhatikan apa yang seharusnya, yaitu berbicara tidak kasar maupun mengatakan hal-hal yang tidak sebenarnya.
Apalagi, pemerintah sekarang memberikan bantuan kepada masyarakat terkait Pandemi Covid-19 ini sekitar triliunan rupiah dikucurkan. Bukan tidak mungkin, banyak mencela dan mengkritik melebihi batas kewajaran.
Ada-ada saja yang bertanya transparansi anggaran, tetapi bahasanya tidak baik, kadang menuduh dan menyebarkan hoaks, sehingga masyarakat menjadi ikut menyebarkan, alhasil terjadi kegaduhan.
Selain itu, andai banyak masyarakat yang tidak mendapat saluran bantuan sosial maka yang terjadi banyak kritikan, mengapa kami tidak dapat yang lain dapat?. Bahkan banyak kritikan yang tidak membangun dan memojokkan Pemerintah bahkan sampai mengatakan ini dan itu tidak sesuai fakta yang ada.
Jadi, demi menjaga omongan atau cara bicara masyarakat perlu adanya aturan tegas untuk dipatuhi bersama. Akan tetapi, yang menyedihkan itu ketika aturan pun tidak dipatuhi dan ditakuti.
Buktinya saja kita sudah punya UU ITE (Informasi Transaksi Elektronik) tetapi tetap saja masih banyak yang melanggar. Suka nyebar hoaks melalui media sosial dan internet. Suka menyebar kebencian dan hinaan terhadap orang lain. Mungkin itu tidak takut atau tidak sadar akan UU ITE yang sudah diatur.
TIDAK ASAL TAFSIR
Paling penting pihak kepolisian tidak asal tafsir atau salah tafsir terhadap pasal penghinaan Presiden dan pejabat negara lainnya.
Kalau kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, orang yang terhina yang mengadu, bukan menafsirkan seseorang itu terhina. Semua itu demi menjaga demokrasi kita. Dan paling penting menegakkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia.
Masyarakat saat ini, ketika ada pengkritik yang berujung pada fitnah selalu beralasan itu adalah hak terhadap menyuarakan aspirasi atau pendapat yang dijamin UUD 1945, tetapi tidak tahu semua ada batasannya.
Untuk memahami itu, banyak merenung dan berpikir sebelum berbicara agar apa yang disuarakan itu sudah mencerminkan perkataan yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H