Mohon tunggu...
Juan Manullang
Juan Manullang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus FH Unika ST Thomas Sumut IG: Juandi1193 Youtube: Juandi Manullang

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Media Cetak Jangan Sampai "Punah"

14 Desember 2019   13:44 Diperbarui: 19 Desember 2019   03:57 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Ilustrasi gambar, Kompas/Handining

Di era digital saat ini memang membawa kebaikan bagi kita karena sekarang dalam hal pekerjaan mengirim pesan, mengirim barang dan pelayanan publik pun sudah identik dengan digital.

Tetapi, ada yang membuat miris ketika era digital tersebut membuat media cetak tergerus hingga "punah" karena masyarakat cenderung fokus sibuk menggunakan media daring atau online, sehingga mengabaikan media cetak. Belum lagi banjirnya para konten creator membuat banyak orang beralih kesana.

Bukan itu saja, harga kertas yang juga naik, sehingga saat ini banyak media cetak seperti koran naik harganya. Ada lagi, iklan-iklan yang sering terpampang nyata di media cetak kini beralih ke media daring.

Ya, akibat era digital membuat media cetak sulit bersaing dengan media daring maupun aplikasi digital lainnya.

Saya sebagai penulis juga di berbagai media cetak di Indonesia, khusus paling sering di media cetak yang ada di Kota Medan melihat bagaimana sulitnya media cetak bersaing di era digital ini.

Berbagai koran di Medan contohnya sudah membatasi halaman cetaknya. Begitu juga ruang untuk menulis agak sedikit dipersempit. Bahkan, ada salah satu koran di Kota Medan yang fokus pada isu ekonomi sudah tutup atau tidak terbit lagi.

Bukan hanya di Medan saja itu terjadi. Koran nasional pun demikian. Harian Kompas contohnya, saya tiap Minggu memang membeli harian Kompas untuk dibaca. 

Akan tetapi, saya perhatikan, koran Kompas sedikit membatasi kolom opininya yang biasa saya lihat antara 3, 4 sampai 5 tulisan nangkring di dalamnya. Tapi kini agaknya berkurang. Begitu juga halaman beritanya pernah sampai 32 halaman, rata-ratanya sampai sekitar 28 halaman.

Kondisi ini membuat saya bersedih. Begitu sangat bersedih. Biasa saya bisa sering nangkring di koran-koran, kini ruang itu semakin sempit.

Begitu juga dengan penulis di media cetak lainnya juga pasti sama dengan saya. 

Kalau begini, kemana lagi celotehan dan kritikan ini mau disampaikan? Apakah harus diungkapkan di Facebook, Twitter dan lainnya?

Sebagai penulis aktif di media cetak saya tak sanggup melihat keadaan ini. Biasa saya terbantu dari sisi ekonomi, sekarang semua akan tinggal kenangan.

Saya sudah beberapa kali memang menuliskan tentang disrupsi ini. Tapi sepertinya tidak ada solusi tepat untuk memberikan ruang bagi penulis menuliskan kegelisahan, opini dan pandangannya.

Tak tahu apakah pemerintah Indonesia melihat ini. Tak tahu apakah para penulis juga diperhatikan sebagai aktor literasi di negeri ini.

Banyak media online di negeri ini pun saya lihat jarang juga memberikan ruang untuk menulis. Hanya beberapa saja yang memang fokus dalam upaya pengembangan literasi.

Saya mencari-cari media online yang menerima tulisan, itupun hanya sedikit. Ada yang membatasi tiap hari berapa tulisan yang akan terbit. Berbeda dengan media cetak yang bisa sampai 5 tulisan satu hari terbit dan honornya cukuplah.

Saya hanya berharap semoga ada solusi terbaik untuk mengembangkan literasi di Indonesia. Para penulis juga banyak diberi ruang untuk menulis demi meningkatkan perekonomian rakyat juga.

Bukan hanya bekerja di perusahaan, PNS dan pengusaha saja yang bisa meningkatkan perekonomian. Lihat juga para penulis berbakat, penulis pemula dan aktor literasi lainnya yang ingin mencoba melalui tulisan bisa sedikit membantu perekonomian. 

Semoga tulisan ini bermanfaat dan menyentuh semua pihak dalam memperhatikannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun