Teman kompasianer sekalian mungkin judul diatas agak lucu atau aneh ya. Tetapi, judul itu sangat bagus kita maknai bersama demi kebaikan kita juga. Coba kita bayangkan saja waktu masa kampanye banyaknya hoaks, setalah pemilu juga begitu.
Akhirnya sekarang pemerintah melalui Menkopolhukam (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan) Wiranto dan Menkominfo (Menteri Komunikasi dan Informatika) Rudiantara membatasi akses media sosial, fitur-fitur media sosial tidak semuanya dan messaging system dalam konferensi pers di kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan di jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (detik.com, 22/5/2019).
Pembatasan ini wajar-wajar saja karena ini demi negara kita, demi kesatuan dan persatuan kita bersama. Tentu kita terima dengan lapang dada karena kita adalah bangsa yang begitu mencintai keutuhan negara ini.
Beragam berita hoaks sangat sering kita baca dan ada pula video-video hoaks juga yang di-dramatisir sedemikian rupa untuk mengajak dan menghasut kita masuk ke dalam hoaks itu. Ini begitu berbahaya tentunya. Lihatlah sekarang saudara sekalian, kericuhan massa di aksi demonstrasi sangat memprihatinkan. Katanya mau damai dan mau menyuarakan aspirasi atau pendapat, tetapi mengapa menyatakan aspirasi dengan memakai otot dan tangan?. Main kekerasan, melempar batu, petasan dan barang berbahaya lainnya?. Miris!.
Jaga jari kita
Nah, sadarkah kita bahwa jari kita dapat membawa kita pada proses hukum?. Saya yakin kita sadar dan teman kompasianer juga sadar. Lihatlah berita hoaks tersebar karena adanya jari yang mengetik dan jari juga yang menyebarkan ke media sosial, whatsapp dan media lainnya.
Jari kita yang menekan tombol pada gadget atau handphone dan pada laptop yang dipakai. Begitu juga oknum penyebar hoaks yang sudah banyak juga ditangkap kepolisian memakai laptop, handphone atau alat elektronik lainnya menyebarkan hoaks kepada masyarakat.
Maka, layak kalau jari itu adalah harimau kita. Ibarat istilah mulutmu adalah harimaumu. Dengan perkataan dapat menyebabkan petaka buat kita. Kita bisa ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Begitu juga jari kita dapat memberikan petaka berupa proses hukum sampai pidana penjara buat kita.
Jadi, jari perlu dijaga, apalagi di pasca-pemilu ini. Kita masih saja panas. Lihatlah massa aksi yang bentrok dengan kepolisian. Mereka masih panas akan hasil rekapitulasi yang diumumkan tanggal 21 Mei kemarin. Padahal, pemilu sudah selesai, tetapi percikan api yang membuat api semakin membesar masih terjadi. Sungguh kita prihatin dengan semua ini.
Sayang sekali bukan, kita yang sebelum kampanye dan sebelum digelar kontestasi pemilu ini damai-damai saja, kini telah terjadi gesekan dan bentrok. Kita lupa bahwa bangsa Indonesia adalah saudara. Saudara meski berbeda suku, agama, ras dan antargolongan. Kita bersaudara dengan semua umat beragama lainnya.
Karena Pilpres membuat kita ricuh dan beragam hoaks berkembang. Sungguh ini menyedihkan sekali.
Kita tak bisa berpikir positif. Kita tidak siap kalah. Apalagi yang berdemo juga tak siap kalah. Menurut pemberitaan yang ada, mereka tak ada menyampaikan aspirasinya, tetapi banyak provokasi yang datang, sehingga bentrok terjadi.
Maukah kita berdamai?
Dengan dinonaktifkan penggunaan media sosial dan fitur-fitur media sosial lainnya merupakan cara agar kita mau merenungkan bahwa pemilu sudah selesai, maka mari berdamai. Saya meyakini maksud pemerintah itu baik, sehingga menonaktifkan sementara media sosial dan fitur lainnya. Kita harus mau menyadari itu.
Begitupun agar tensi politik yang terjadi saat ini mampu mereda dan tidak ada lagi massa aksi yang terjadi. Kalau bisa keluarga dari massa aksi tersebut mengajak jika ada keluarga mereka yang ikut aksi untuk pulang dan hentikan kekerasan itu.
Pihak yang kalah dan menyuarakan akan melakukan aksi pada 22 Mei ini harus keras bersuara dan mengajak massa untuk hentikan demonstrasi yang berujung pada kekerasan ataupun kericuhan itu. Ajak mereka balik ke rumah dan menerima hasil penghitungan suara oleh KPU serta mengutamakan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi saja.
Itu demi perdamaian kita bersama. Lihatlah karena tindakan dan perilaku massa aksi, masyarakat mendapatkan imbasnya. Media sosial dan fitur-fitur media sosial lainnya dinonaktifkan. Fasilitas umum rusak dan masyarakat menjadi sulit beraktivitas. Semua itu karena demonstrasi tersebut.
Buat kita semua bangsa Indonesia juga, mari hindarkan emosi dan tindakan penyebaran hoaks. Jari jemari harus dikendalikan untuk tidak menyebarkan berita bohong dan video-video kekerasan yang dapat memijarkan api amarah. Ayo kita bijak dalam berdemokrasi dan bermedia sosial. Esok hari, doa dan harapan kita agar situasi sudah reda dan masyarakat kembali normal beraktivitas.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H