"Cerdas beragama akan menghormati hak azasi manusia dan potensinya."
Agama berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti 'tradisi'. Istilah lain yang memiliki makna identik adalah 'religi', yang berasal dari bahasa Latin 'religio' dan berakar pada kata kerja 're-ligare' yang berarti 'mengikat kembali'. Secara etimologis kata agama dari kata 'a' dan 'gama'. 'A' berarti tidak, 'gama' berarti kacau.
Jika melihat definisi di atas, semestinya seorang yang beragama, hidupnya tidak kacau atau mengacaukan orang lain. Jika dalam pikirannya kacau, maka ada kecenderungan akan mengacaukan orang lain. Sedang jika pikirannya tidak kacau, maka itu akan tampak dalam relasinya dengan orang lain.
Ada 5 hal yang akan terjadi, jika seseorang itu beragama, yang tak beragama, yaitu:
1. Meributkan Agama
Jika dilihat di media sosial atau massa, betapa banyak tulisan yang suka mengungkit-ungkit masalah agama seseorang, khususnya para tokoh masyarakat (public figure). Dicari tahu agamanya, lalu dipamerkan ke publik.
Entah apa tujuannya? Apakah karena masyarakat sedang demam isu-isu agama? Ataukah sedang bermain dalam sensitivitas agama? Mungkinkah ini sedang menggoreng isu agama, sehingga memiliki nilai jual tertentu?
Semestinya agama itu tak perlu dibicarakan atau dipamerkan, apalagi diributkan di ruang publik. Saat pebulu tangkis pasangan Greysia Polii - Rahayu Apriyani, yang akhirnya bisa merebut medali emas di Olimpiade Tokyo 2020, ternyata masih ada juga yang mengguncingkan soal agamanya. Pelatihnya pun diributkan agamanya.
2. Menjadi Diskriminatif
Diskriminasi merupakan sikap yang membeda-bedakan secara sengaja kepada pribadi atau kelompok tertentu, yang terkait dengan kepentingan tertentu pula. Pembedaan ini biasanya pada wilayah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Jika ada seseorang berprestasi atau memiliki kepakaran tertentu akan dihambat kemajuannya, bahkan kalau perlu disingkirkan atas nama agama ini. Mengapa mengarah pada soal agama? Bukannya ada hal terkait lainnya, yaitu: suku, ras dan antargolongan? Betul, namun semua menjadi dianggap tidak ada, jikalau agamanya sama.
 Meski telah dipilih secara demokrasi dan mampu untuk menjadi ketua kelas atau ketua RT / RW, ternyata bisa batal, karena persoalan agama. Agama di atas segala-galanya. Bukankah ini telah menuhankan agama?
3. Merusak Persahabatan
Pernahkah kita memiliki sahabat karib saat masih anak-anak atau remaja? Namun ketika telah tumbuh menjadi seorang pemuda atau dewasa, persahabatan itu menjadi renggang, karena beda agama? Meski sejak dini telah beragama, namun itu tidak pernah menjadi masalah. Namun setelah mengalami penekanan dalam pendidikan agama, malah mengacaukan persahabatan yang ada.
Membangun persahabatan bisa bertahun-tahun. Namun dalam sekejap, tahu agama sahabatnya itu beda, bisa tidak simpati lagi. Ini tidak sedang bicara nikah beda agama. Apakah ini akibat dari pendidikan agama itu, bisa mengacaukan persahabatan?
4. Menghancurkan Kerukunan
Saat lebih dari sekadar bersahabat, malahan telah hidup rukun dalam sebuah komunitas tertentu. Hingga suatu waktu ada seseorang yang membuat kehancuran dengan mengusung isu agama yang beda.
Ada sebuah desa yang hidup rukun. Namun dalam perkembangannya karena agama, maka bahkan untuk menguburkan seorang anak yang berbeda agama, juga mengalami kesulitan. Dengan tegas berkata, "Tidak boleh dimakamkan di sini."
5. Menimbulkan Perpecahan
Bukan hanya bersahabat dan hidup rukun bersama, namun dengan kehadiran seorang beragama yang semestinya bisa mengayomi malah menimbulkan kekacauan. Akhirnya dipecah-pecah dan dikotak-kotak.
Mengerikan bukan? Sebuah keluarga bisa berantakan, karena sentuhan agama. Negara dihancurkan oleh pertarungan agama di dalamnya. Beberapa peperangan pun, dipicu berdasar sentimen agama. Kehadiran agama sebagai pengikat, ternyata telah mengoyak-ngoyak peradaban.
Kehadiran agama di antara yang tidak beragama (tapi mungkin ber-Tuhan), yang menurut para leluhur adalah dengan alasan untuk meningkatkan derajat hidup manusia itu setelah beragama. Namun ternyata hasil akhirnya, bisa lebih tidak manusiawi yang beragama, daripada yang tidak beragama.
Kalau memang seperti ini, lalu apakah manfaatnya beragama? Mengapa agama dipakai pula untuk menghujat yang tidak beragama? Apa salahnya yang tidak beragama, padahal awalnya beragama?
Bagaimana kalau tidak beragama, tapi ber-Tuhan? Berbahayakah hidup bersama mereka? Daripada hidup bersama dengan yang beragama, tapi tidak ber-Tuhan. Yang menarik memang ber-Tuhan dan beragama. Â Bagaimana jika tidak ber-Tuhan dan beragama, namun hidupnya bisa memanusiakan manusia lain?
$alam Hati Gembira ...
Bagaimana pendapat Anda?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI