"Akal budi membuat seseorang panjang sabar dan orang itu dipuji karena memaafkan pelanggaran."
Permintaan maaf sesungguhnya hanya untuk yang saling kenal atau sedang terjadi konflik di antaranya, baik yang disengaja atau tidak. Yang telah melukai baik secara lahir atau batin, termasuk yang lupa untuk menepati sebuah janji. Di sinilah nilai maaf dan memaafkan, sedang diperjuangkan saat ingin memperbaiki jalinan hubungan yang telah ternodai itu.
Alasan permintaan maaf yang demikian ini, kadang tidak lagi menjadi pijakannnya. Telah ada pergeseran makna, meski tidak ada yang perlu disalahkan. Banyak yang ikut-ikutan untuk melakukannya secara lahir, lalu bagaimana lingkup batinnya? Apa mungkin karena tidak enak atau sungkan? Â Â Â
Saat serombongan mudik, lalu di jalan menuju ke desa berjumpa dengan teman sepermainan, lalu turun dari mobil dan menyalaminya, serta mengucapkan maaf lahir dan batin. Padahal telah tidak berhubungan sama sekali dengannya puluhan tahun. Yang lebih luar biasa, rombongan pun ikut turun dari mobil dan ikutan pula melakukannya. Kenal saja tidak, apalagi berinteraksi?
Di TV dapat dilihat Agus Harimurti Yudhoyono dan Eddy Baskoro Yudhoyono bersilaturahmi kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Â Di sisi lain AHY dan Ibas tidak silaturahmi dengan Prabowo, Demokrat: Tidak Perlu (Judul di Kolom Politik. 6/6/2019). Entah apa pun alasannya, batin kita masing-masing bisa menilai dan merasakannya.
Dalam rumah tangga yang tiap hari melihat 'kebobrokan' dari masing-masing anggotanya, maka dimomen lebaran yang indah ini juga akan bermaaf-maafkan. Secara lahir bersentuhan (salaman atau cipika-cipiki), namun bagaimana sisi batinnya? Contoh: andai sang suami atau istri terlibat perselingkuhan.
Memaafkan memang tidaklah semudah dimaafkan. Satu dalam posisi aktif, sedang yang satu pasif. Berani memaafkan tandanya itu berani rugi, termasuk di dalamnya harga diri. Jikalau tidak berani rugi, maka sifat memaafkannya ini adalah situasional dan kondisional semata. Tidak ada keikhlasan di dalamnya. Sejenak kemudian bisa berubah lagi.
Seseorang yang bisa memaafkan secara lahir, belum tentu akan memaafkan secara batin. Namun jika batin memaafkan, maka secara lahir akan menyesuaikannya. Ada 5 jenis memaafkan, yaitu karena terpaksa, dipaksa, kebiasaan, tradisi dan ikhlas.
Terpaksa. Ini inisiatif diri sendiri. Mungkin karena masih membutuhkan berhubungan dengan seseorang, maka mungkin telah merasa begitu sakit, namun tetap terpaksa memaafkannya. Kalau tidak dilakukan, dalam kalkulasi menunjukkan akan lebih banyak lagi kerugiannya, baik secara lahir dan batin.
Dipaksa. Ini inisiatif orang lain. Saat sebuah persahabatan diakhiri dengan persaingan yang meningkat menjadi petentangan, maka bisa menjadi sebuah konflik yang berkelanjutan.Â
Lalu dalam hal ini, maka ada pihak-pihak tertentu, yang memaksa kedua belah pihak untuk melakukan rekonsiliasi, supaya bisa saling memaafkan. Memang berawal dari dipaksa itulah, maka ujung-ujungnya akan terpaksa untuk memaafkan.
Kebiasaan. Ini terkait karakter. Pernah memerhatikan seseorang yang mudah obral kata maaf. Setelah memberi atau minta maaf, maka tetap mengulangi kesalahan yang lama tadi. Saat kampanye penuh dengan janji manis, namun tanpa realisasi. Ujung-ujungnya akan minta maaf dan mohon dimaafkan. Nanti akan diulangi pada kampanye periode kedua.
Tradisi. Ini terkait tata aturan tertentu. Seperti kesepakatan damai dalam suku-suku tertentu, jika ada yang berbuat salah, tidak perlu diperpanjang lagi. Tradisi keluarga yang turun-temurun. Tradisi sebuah perusahaan yang memerintahkan anak buahnya untuk minta maaf, walau konsumennya yang bersalah. Mengingat pembeli adalah raja.
Ikhlas. Ini batin dan lahir. Kehidupan yang baik itu bermula dari hati. Sebuah nasihat sekitar 3000 tahun yang lalu mengatakan, "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." Jika hati baik, akan menyeruak keluar kebaikannya. Namun kalau luarnya baik (lahiriah), hati belum tentu baik (batiniah). Inilah yang disebut munafik.
Belajar tidak kecewa, itu berawal dari mau menerima kerugian. Dengan kesiapannya untuk rugi inilah, yang akan membuat diri jadi ikhlas untuk memaafkan, apa pun yang terjadi. Dan ini bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja.
Apakah bukti bahwa seseorang itu sudah memaafkan sesamanya? Berani berjumpa dan berbicara dengan orang tersebut, tanpa ada kegelisahan dalam hati. Berani menatap matanya, bersalaman atau berpelukan, tanpa ingin segera melepaskannya. Inilah sejatinya sebuah kemenangan.
Namun sekadar masukan saja, jika orang tersebut memang telah terkenal berperangai buruk, tidak perlu bersahabat terlalu erat, kecuali bersiap untuk disakiti lagi. Namun tetap tidak boleh berprasangka buruk terus-menerus kepada seseorang yang telah mengecewakan atau menyakiti kita. Selama telapak kaki masih menginjak bumi, itu tandanya masih ada kemungkinan seseorang bisa berubah.-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H