"Akar segala kejahatan ialah cinta uang."
Lao Tzu yang artinya Guru Besar (604-517SM) di Tiongkok pernah menulis karya sastra yang berjudul Tao Te Ching, yang artinya 'Jalan Klasik dan Kekuatannya'. Dalam ajaran Tao yang berkembang pada abad ke 6 sebelum Masehi ini menelurkan filosofi Yin dan Yang.
Filosofi dengan perlambangan hitam dengan adanya bulatan putih, lalu dipadu dengan putih dengan adanya bulatan hitam, ini memberikan gambaran bahwa dalam kehidupan ini, ada dua sisi yaitu terang dan gelap. Keduanya itu tak bisa dipisahkankan satu dengan yang lainnya.
Penggambaran itu ingin menunjukkan bahwa apa pun yang terjadi dalam dunia ini, akan melibatkan dua sisi, yaitu yang mengandung unsur maslahat dan mudarat. Ada kebaikan atau keburukkannya. Ada keuntungan atau kerugiannya. Ada positif atau negatifnya. Tidak mungkin satu sisi. Ini tergantung sudut pandang atau menggunakan kacamata jenis apa?
Apalagi John Stuart Mill menjelaskan bahwa manusia adalah mahkluk ekonomi (homo economicus), maka dalam segala hal dalam hidup ini, akan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Seperti saat mencari pacar saja, akan memilih yang 'menguntungkan' dirinya, yaitu ganteng atau cantik, ukuran postur tubuh dan warna kulit, bisa menjadi standar yang perlu diperhitungkan.
Demikian juga dengan kemajuan teknologi. Tak bisa dihambat, akhirnya semua sedang dalam proses online dan transparan. Online bisa dijangkau dengan cepat dan serentak, serta transparan bisa merujuk kepada keterbukaan. Namun ada persoalan bahwa di dalamnya ada data yang mestinya dimasukkan dalam kategori pribadi (private). Â
Terjadi Sejak Dulu
Dari dulu sesungguh data-data kita telah diberikan pada peristiwa pendaftaran, seperti masuk sekolah atau kuliah, mengurus surat-surat (KTP / Paspor), berhubungan dengan perbankan atau kartu kredit, mengisi data saat dapat nomer untuk ikut undian dan sebagainya. Saat itu belum secanggih saat ini, namun apakah tidak ada jual beli data pribadi?
Sepertinya dulu tidak tegas disebut jual beli, tapi saling membantu atau tukar data antar teman untuk sekadar saling membantu dalam urusannya dengan pemasaran sebuah produk khususnya melalui telemarketing. Namun mungkin saat itu konsumen tidak terlalu memikirkannya dan juga tidak sering terjadi, maka dianggap tidak ada masalah.
Namun saat ini dengan kemajuan teknologi, maka ada kesempatan yang lebih lagi untuk memanfaatkan data-data ini dalam mengais rejeki. Tak ayal korbannya adalah masyarakat yang gagap teknologi, karena akan dikemas dengan penawaran yang menggiurkan sekaligus menguntungkan. Di sinilah masyarakat perlu belajar untuk melek teknologi saat ada penawaran melalui e-mail maupun mendapat telpon dari seseorang.
Apakah tidak ada keuntungan saat kontak kita di tangan orang lain? Tetap ada. Salah satu contoh, awalnya untuk memiliki kartu kredit begitu sulit, lalu tiba-tiba ada telpon yang mengatasnamakan sebuah bank tertentu menawarkan kartu kredit. Semula ragu. Namun dalam telpon itu tertjadi tanya jawab tentang status si penelepon dan produknya, akhirnya menerima tawarannya. Alhasil dalam 2 bulan kemudian kartu kredit juga tiba di rumah.
Juga mendapatkan voucher produk atau menginap dengan harga yang murah, karena mau mengikuti 'permainan' dari telemarketing tersebut. Awal juga ragu. Memang menjengkelkan ketika menerima panggilan saat waktu tidak memungkinkan. Namun ada waktu senggang, siapa tahu ada rejeki menanti di sana? Yach ... win - win solution-lah.
Cara Mengatasi
Supaya tidak menjengkelkan saat mendapat e-mail atau telpon dari seseorang nun di sana, maka saya memikirkan andai diri saya sendiri dalam posisi mereka atau memikirkan yang melakukan itu adalah kakak atau adik kandung yang sedang bekerja. Juga memikirkan kalau anak sendiri yang mendapatkan tugas seperti itu.
Supaya tidak tertipu ketika mendapatkan penawaran dari seseorang yang telah mengetahui data-data diri kita ini, maka perlu melakukan 3 T di bawah ini, yaitu:
Tenang. Tidak perlu panik. Santai saja menerima panggilan itu, supaya nalar sehat bekerja maksimal. Sehingga bisa menganalisa tawaran-tawaran yang ada dengan segala risiko-risikonya. Kalau dilakukan dalam kejengkelan bisa terjebak sendiri. Kalau tidak siap untuk melayani, lebih bijak tidak perlu direspon penawaran itu. Biasa mereka melakukan panggilan secara langsung itu 2 kali kalau kita tidak respon. Nanti selang beberapa jam akan mengulangi lagi. Mungkin ada etikanya yach ..., khusus yang sudah terlatih.
Tidak Rakus. Awalnya penawaran itu akan sangat dan sangat menjelaskan keuntungan yang akan kita peroleh. Itu sepertinya merupakan SOP dari para telemarketing. Maka perlu dipikirkan antara kebutuhan dan keinginan, serta kemampuan untuk membayar.
Teliti. Jangan langsung memutuskan. Saya sering mendapatkan tawaran Kredit Tanpa Agunan (KTA). Lalu tanya prosedur, bunga dan cara pengembaliannya. Pernah dapat bunga murah banget, karena program tertentu dan pas butuh untuk renovasi rumah yang telah tertunda-tunda, maka tidak ada salahnya untuk menyetujui.Â
Padahal sebelumnya mau cari pinjaman (malu dan pakai agunan), karena ini mendesak sekali. Tidak sampai 2 minggu, ternyata benar cair.
Selama menguntungkan, untuk saat ini jual beli data pribadi seseorang tidak bisa dihindari. Meski ada sangsi hukum maupun denda yang begitu berat, bukan berarti akan membuat mereka tiarap.Â
Memang sulit dipahami, kalau belum terbiasa dalam dunia marketing. Selama ada permintaan, maka ada penawaran. Gara-gara untuk mendapatkan uang, maka semua hal akan dilakukan oleh seseorang.
Data kita boleh di tangan orang lain, namun kita perlu lebih melek teknologi, supaya tidak tertipu mentah-mentah. Contoh: password diganti berkala dan lebih bijak antar media sosial kita tidak nge-link satu dengan yang lainnya untuk yang hal penting. Sehingga kalau salah satu dibobol, tidak kena yang lainnya.-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H