"Belajar sadar diri, tahu diri & tujuan diri akan berujung kepada harga diri."
Tujuh hari lagi, tepatnya 22 Mei 2019, akan ada sebuah pengumuman yang akan langsung disiarkan untuk rakyat dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, hingga sampai ke ujung bumi, di mana ada rakyat Indonesia, tentang hasil pemilihan presiden yang lebih dinanti-nantikan ini, dibandingkan dengan hasil pemilihan legislatif, yang telah dilaksanakan secara bersama-sama.
Pesta akbar bagian dari demokrasi Pancasila yang dilaksanakan pada 17 April 2019 ini, telah berjalan dengan sukses, meski masih menghasilkan ketegangan dari kedua kubu. Sesungguhnya ketegangan ini, bukan sedang dialami oleh mayoritas dari bangsa Indonesia, namun hanya oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan politik atau bisnis tertentu, lalu mengatasnamakan rakyat Indonesia.
Dengan menggunakan kendaraan agama yang bisa dijadikan pemersatu kekuatan tertentu ini, mendapatkan saluran dana dari para pengusaha, yang mudah melarikan diri dari Indonesia, jika terjadi huru-hara, serta mendapat legitimasi dari para purnawirawan jenderal untuk memberikan efek kengerian.
Isu kecurangan hingga pengerahan massa untuk mendemo KPU, telah diantisipasi dengan sigap oleh aparat keamanan yang tidak mau kecolongan. Apalagi ditambah teror bom yang melanda pusat perbelanjaan di Jakarta. Siapakah oknum yang ingin membuat onar berkesinambungan di Indonesia, khususnya di Jakarta ini?
Dalam tujuh hari menuju hari 'H' ini, ada yang merasa waktu berjalan begitu lambat atau begitu cepat, namun ada pula yang tidak peduli dengan tanggal tersebut. Bagi yang ingin mengetahui dengan segera hasil real count ini, merasa waktu begitu lama berjalannya. Tapi untuk yang merasa tidak senang melihat kenyataan, bahwa hasil real count ini tidak begitu berbeda dengan quick count, merasa waktu berjalan begitu cepat, karena tidak bisa menerima kenyataan yang ada.
Apapun hasilnya, meskinya dengan sadar bahwa itu Vox Populi untuk paslon 01 atau 02, yang telah direkapitulasi melalui Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang hasilnya dalam Vox 22 Mei. Lalu kalau dituduh ada kecurangan, apakah Vox 22 Mei itu juga Vox Dei?
Ketidakpercayaan kepada KPU, sama dengan ketidakpercayaan kepada Komisi II DPR, yang telah menetapkan tujuh anggota KPU dan lima anggota Bawaslu periode 2017-2022, melalui pemilihan yang dilakukan dengan mekanisme pemungutan suara terbanyak alias voting terhadap 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu pada 5/4/2017 dini hari, yang kemudian dilantik oleh pemerintah.
Mengingat Pimpinan DPR RI periode 2014-2019 itu dijabat oleh paket pimpinan yang diusung oleh Koalisi Merah Putih, yaitu Setya Novanto (Golkar ) sebagai Ketua dan 4 orang Wakil Ketua yaitu: Fadli Zon (Gerindra), Agus Hermanto (Demokrat), Taufik Kurniawan (PAN) dan Fahri Hamzah (PKS). Kalau dicermati, kecuali Golkar, maka keempat partai lainnya adalah pendukung paslon 02. Lalu ada apa, hingga terus menerus meneror KPU ini?
Terlepas dari itu semua, jikalau ambisi telah menggelapkan mata, maka akan menghalalkan segala cara, asal semua tercapai. Ini mengingatkan tentang tujuan menghalalkan cara dari seorang Niccolò Machiavelli. Dengan demikian akal sehat tidak lagi diperlukan. Tidak ada lagi rasa malu. Yang penting apa yang diperjuangkan harus membuahkan hasil.
Atas nama adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, masif, bahkan brutal ini, lalu terus-menerus menggerogoti wibawa KPU. Kalau KPU tidak lagi mau didengar pendapatnya lagi, maka bangsa ini tidak lagi memiliki wadah yang netral dan bisa dipercaya. Akan jadi apa bangsa ini kelak?
Arti kecurangan: perihal curang; perbuatan yang curang; ketidakjujuran; keculasan (KBBI). Maka kehadiran kecurangan dalam segala lini kehidupan memang tidak bisa dipungkiri. Bukan cuma dalam proses penghitungan suara saja. Bermain curang, itu berarti ingin mendapat hasil yang maksimal dari perjuangan yang minimal.
Demi perang urat syaraf, maka awalnya BPNnya 02 menyajikan angka kemenangan 62%, lalu direvisi menjadi 54.24% dengan alasan sumber data. Apa yang sesungguhnya terjadi dengan perubahan ini? Kalau memang sejak awal tahu tidak valid, mengapa tergesa-gesa disiarkan?
Bayangkan, kalau hal ini dilakukan dalam dunia marketing, yang laporan awalnya dikatakan untung 62%, lalu berubah untung jadi hanya 54.24%. Atau sebaliknya dilaporkan rugi, namun salah hitung. Apakah yang melaporkan ini, akan mendapatkan pujian atau cacian? Jika kita seorang Direktur atau Manager, apakah alasan pembelaan dirinya akan diterima begitu saja? Ini bisa meragukan profesionalitas seorang akuntan yang melaporkan data tersebut.- Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H