Akhir bulan Juni seperti ini biasanya merupakan momen momen kenaikan kelas dan kelulusan siswa bagi siswa yang sudah menuntaskan jenjang TK, SD, SMP, dan SMA/SMK, termasuk di tempat saya sih. Hehehehe. Kalau dulu sewaktu saya masih sekolah, biasanya momen kelulusan ini digunakan untuk keliling kota naik motor (bagi yang punya motor lho) sambil baju seragam dicoret-coret oleh teman sebagai tanda bahwa mereka sudah lulus (dan tidak disangka sampai sekarang fenomena ini masih sering dijumpai , padahal sudah lebih dari 20 tahun berlalu, upssss kelihatan banget saya umur berapa nih). Bagi sekolah-sekolah tertentu , mereka punya cara lain yang lebih bermanfaat daripada sekadar coret-coret baju seragam. Misalnya saja, mengunjungi panti asuhan, atau justru mengumpulkan berbagai baju seragam supaya tidak coret-coret.
Itu jika ditingkat SMA/SMK ya, kalau masih SMP apalagi ditingkat SD, tidak mungkin dicoret-coret kan.namun, selain fenomena coret-coret, ada fenomena lain yang saya amati dan sekarang sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah. Apakah itu? Sekarang ini sudah biasa kita jumpai kalau siswa lulus sekolah, maka sekolah akan mengadakan pelepasan siswa atau wisuda. Bukan sekadar wisuda sih, karena mereka juga akan memakai pakaian toga, persis pakaian yang dulu saya kenakan waktu lulus S1 (walau pakaian toga saya kebesaran sih dapatnya wkwkwkwk).
Awalnya sih biasa-biasa saja mengamati anak SMA Â atau anak SMP wisuda dengan pakaian toga. Anggaplah itu semacam apay a, euphoria, ingin merasakan seperti jenjang S1. Tapi makin lama jadi muncul pertanyaan dalam benak, apakah anak memahami filosofi toga yang dikenakan atau justru karena sekolah sekadar ikut-ikutan dengan tren yang berlaku di banyak tempat. INi yang menjadi pikiran. Â Sekolah biasanya menyediakan satu stel toga , baik topi maupun jubah. Siswa hanya berpakaian kemeja putih (biasanya) dan siswi berpakaian kebaya sebelum ditutup dengan toga.
Mari kita amati pengertian dari toga itu apa? Seteah browsing-browsing internet, maka ditemukanlah sejarah pemakaian toga yang bermula dari zaman Romawi. Awalnya sih toga digunakan oleh salah satu bangsa di Italia, yaitu bangsa Etruskan yang menggunakan jubah toga untuk pakaian sehari-hari. Model pakaian toga saat itu hanya berupa kain yang dililitkan ke tubuh dengan panjang sekitar 6 meter. Penggunaan seperti ini tentu tidak praktis, namun untuk saat itu (sekitar 1200SM) pakaian seperti itulah yang pantas dipakai diluar ruangan .
Seiring berjalannya waktu, bentuk toga mengalami perubahan hingga puncaknya pada masa Romawi, toga digunakan untuk kegiatan seremonial dan bentuknya sudah bukan lagi berupa kain yang dililitkan ke tubuh. Toga memiliki makna filosofi mulai dari warna, topi dan tali topi. Dilihat dari warnanya, toga umumnya berwarna hitam karena hitam bermakna kegelapan. Diharapkan para wisudawan/wisudawati menggunakan ilmu yang didapat di bangku kuliah untuk menyibak kegelapan yang ada di dunia. Â Kegelapan memiliki makna kebodohan dan kebodohan itu menjadi terbuka oleh para lulusan dengan ilmu yang sudah dimiliki. Â Hitam juga memiliki makna keagungan dan keanggunan. Seorang yang diwisuda hendaknya orang yang memiliki kehormatan dan memiliki sifat-sifat rendah hati.
Topi Toga memiliki bentuk persegi dengan banyak sudut. Hal ini menyimbolkan bahwa para lulusan harus berpikir rasional dan menilai sesuatu dari berbagai sudut pandang. Hal ini untuk memberikan penilaian objektif dalam menilai sesuatu. Seorang sarjana harus berpikiran merdeka dan tidak hanya menerima satu pemikiran saja tanpa meragukannya sampai ia benar-benar menemukan hakikat kebenaran.
Sementara itu, perpindahan kucir topi dari kiri ke kanan menyimbolkan perpindahan penggunaan otak kiri ke otak kanan. Selama duduk di bangku kuliah, mahasiswa difokuskan dengan penggunaan otak kiri dalam menyerap ilmu pengetahuan. Namun, setelah lulus kuliah dan wisudawan masuk ke dalam masyarakat, maka diharapkan menggunakan otak kanannya. Otak kanan ini berkaitan dengan kecerdasan emosional, yaitu kecerdasan yang dibutuhkan seseorang untuk berinteraksi di dalam masyarakat dan sosial.
Nah, itu makna dari toga dan jubah. Bagi saya pribadi karena merasakan secara langsung prosesi itu hanya di waktu wisuda sarjana S1, maka nuansa sacral itu benar-benar kerasa. Karena untuk mendapatkan dan mengenakan busana seperti ini saya harus "berdarah-darah" (maklum, saya lulus di saat hampir mendekati DO wkwkwkw). Saat kita jarang mendapatkan sesuatu, maka hal itu saat didapatkan akan memberikan rasa yang sangat berbeda, feel yang bikin hati kita makjleb. Namun, saat kita sudah mendapatkan hal itu, dalam hal ini adalah mengenakan busana toga sejak TK, maka pada saat kelulusan SD SMP SMA bahkan kelulusan perguruan tinggi, rasa itu bagi saya pasti sudah tidak ada. Kita hanya akan menganggap bahwa itu suatu seremoni biasa seperti yang sudah sudah toh kita sudah melakukannya sejak bangku TK.
Apakah anak memahami makna filsoofi dari Toga, Apalagi anak TK? Apakah perlu bagi mereka untuk memaknai suatu hal dari berbagai sudut pandang seperti layaknya seorang sarjana? Mungkin bagi anak SMA, masih ok lah kalau dilakukan hal seperti ini. Tapi bagaimana dengan jenjang Pendidikan yang ada di bawahnya?
Di negara lain juga ada sih seperti yang dilakukan oleh Indonesia, wisuda dari jenjang bawah dilakukan dengan mengenakan pakaian toga. Tapi yang menjadi perhatian saya bukanlah umum atau tidak, tapi sesuai dengan makna filosofis toga itu atau tidak. dan kembali lagi, suatu hal saat sudah berkali kali sudah kita lakukan, bisa jadi saat kita sudah dewasa dan melakukan itu rasanya sudah berbeda, rasanya sudah yahhh biasa aja bukan sesuatu yang bikin kita merinding atau bagaimana gitu karena ya, ya sudah dilakukan sejak dari kecil.
Saya lebih setuju jika wisuda dilakukan dengan cara yang biasa, anak-anak mengenakan pakaian kemeja dan kebaya (jika itu jenjang SMP SMA) tanpa perlu mengenakan pakaian toga. Toh hal itu juga tidak mengurangi rasa khidmat dari proses wisuda itu sendiri. Cuma menempatkan sesuai dengan porsinya saja sih. Atau mungkin memang saya bagian dari Angkatan tua yang belum mampu beranjak dari nostalgia zaman dulu dan masih terjebak pada idealisme semata. Hmmmm, sepertinya saya pun harus belajar untuk lebih menerima bahwa dalam bahasa Indonesia pun, ada banyak kosakata yang mengalami penyempitan maupun perluasan makna seiring berjalannya waktu. Jadi pakaian toga ini mungkin juga bagian dari proses perluasan makna tidak hanya untuk orang berpendidikan tinggi semata tapi juga bisa untuk yang lain. Suatu proses yang harus saya terima , hehehehe. Bagaimana dengan anda ? komen di bawah ya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H