Saya selalu merenung dan mengelus dada tatkala nama PLN selalu disebut-sebut, entah dimanapun itu saya berada, di ruang publik atau pribadi, terutama saat PLN membuat kebijakan yang seolah-olah "tak berpihak" masyarakat kecil, orang-orang pasti senang menggerutu PLN, bukan karena PLN telah berhasil mencapai rasio elektrifikasi, tapi gerutunya yang tak berhenti mencibir  PLN.
Gerutu ini meledak begitu cepat, sampai timbul kesan negatif terhadap PLN. Misalnya apa? ada banyak, saya kadang tak dapat bicara banyak kalau kesan negatif PLN sudah menjadi buah bibir, menyikapi itu terkadang pilihannya saya diam atau saya menghindar.
Gerutu mereka kadang selalu sama, ada yang bilang PLN sering padamin listrik semaunya saja, tarif listrik naik tidak kira-kira, ada juga yang menyindir habis gelap terbitlah padam, ada pula yang mengolok  perusahaan lilin nasional, terus ada juga yang mengeluh pelayanan pasang baru dan mengubah daya semakin lama, belum lagi ada pungli, korupsi dan sebagainya. Apa mereka salah bergerutu? Tidak. Meskipun saat ini saya merupakan pegawai PLN, saya tidak ragu mengatakan gerutu mereka itu wajar. Gerutu itu memang rasa dongkol atau ketidakpuasan dengan keadaan atau peristiwa yang dialami, jadi hal itu wajar bagi pelanggan PLN jika layanan PLN buruk.
Fenomena ini bukan sekali dua kali bagi saya, karena terlalu sering hal ini menjadi duka bagi saya selaku pegawai PLN. Di lain sisi, saya juga senang karena masih ada sebagian orang lainnya yang melihat PLN merupakan perusahaan dengan reputasi bagus, ini yang saya sebut sukanya menjadi pegawai PLN. Tapi jujur, Â soal gerutu adalah soal moral, rasa suka sebagai Pegawai PLN tak akan bertahan lama ketika gerutu itu muncul kembali.
Sekarang 15 tahun telah berlalu (sejak saya SLTP), rasanya tidak jauh berbeda dengan dulu, kesan orang-orang terhadap PLN masih tidak jauh dari seperti yang saya bilang, kalau bukan karena padamnya terus menerus (kalau sudah terlistriki) atau terus-terusan padam (belum terlistriki). Kemudian bisa berkembang dari 2 hal itu, bisa karena billing, pelayanan, mutu dan sebagainya yang ujung-ujungnya bilang layanan PLN tidak memuaskan atau buruk.
Belum lagi saat ini saya sedang magang bersama rekan-rekan perwakilan 25 BUMN lainnya, tepatnya di kementerian BUMN. Kami sedang menjalankan program transfer knowledge. Suatu hari, saya pernah bertanya bagaimana kesan PLN di mata mereka, jawaban dari sebagian mereka masih sama. Jika ditanya kesan terhadap PLN, menurut mereka PLN itu tidak jauh dari kesan negatif, yaitu olok-olok, gerutu, caci maki bahkan ancaman, kesan negatifnya lebih banyak dibanding positif ujar mereka. Sedikitpun saya tidak menyangka, kesan mereka sama seperti pada umumnya.
Tidak bisa dipungkiri, PLN memang punya sisi negatif, apalagi kalau yang selalu dibahas tidak jauh dari yang saya jelaskan diatas. Ibarat pistol, jika sisi negatif itu sebagai pelatuk, orang pasti dengan mudah menembak PLN, dengan satu atau dua kata buruk bahkan lebih.
Salahkah mereka menggerutu? Tidak, bagi saya sekali lagi itu bagus. Â Saya paham, di era digital saat ini kebutuhan praktis yang disajikan lewat barang elektronik memang menjanjikan, oleh karenanya listrik sangat diperlukan.Â
Misalnya saja pemadaman, pemadaman itu sebetulnya bukan sesukanya PLN, ada namanya pemadaman terencana dan tidak terencana, pemadaman terencana ini gunanya untuk pemeliharaan, tanpa pemeliharaan komponen kelistrikan tidak dapat bertahan lama. Kemudian pemadaman tidak terencana, itu biasanya karena non teknis, gangguan pohon atau gangguan layang-layang yang menjadi salah satu penyebab padamnya listrik. Belum lagi penyediaan bahan bakar pembangkit yang disediakan oleh pihak ketiga, kalau batubara atau gas terlambat disuplai oleh pihak ketiga, terkadang pemadaman tidak dapat dihindari, atau misalnya air buat PLTA terkendala banjir maka listrik juga dapat padam.