Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ngaliwet bersama Teteh dan Keluarganya

15 Maret 2018   21:24 Diperbarui: 15 Maret 2018   21:54 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasinya belum mateng (Dokumentasi Pribadi)

Harta yang paling berharga adalah keluarga

Istana yang paling indah adalah keluarga

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga

Mutiara tiada tara adalah keluarga

...

Penggalan lirik dari lagu tema sinetron Keluarga Cemara yang populer pada tahun 90-an, masih melekat di sanubari. Rasanya memang pas sekali menggambarkan bagaimana kedudukan keluarga bagi kita. 

Ya, ia adalah harta yang paling berharga. Dengannya kita merasa tenang, damai, dan bebas menjadi diri sendiri. Mereka akan dengan terbuka menerima keadaan kita, dan tentu mengingatkan apabila ada hal yang dirasa keliru. Bersama mereka kita juga bisa saling berbagi, melakukan aktifitas bersama, menangis, tertawa, becanda, bergembira, atau seru-seruan merayakan momen tertentu.

Berbicara tentang momen, keluarga saya sebenarnya bukanlah keluarga yang harus update atau wajib merayakan setiap ada peristiwa tertentu. Ulang tahun, misalnya. Tidak setiap ada anggota keluarga yang berulang tahun, akan dibuatkan pesta atau semacamnya. 

Dengan ucapan selamat dan saling mendoakan, dirasa sudah cukup. Kalau ada dana, bolehlah membuat syukuran kecil-kecilan, itu pun dengan budget yang disesuaikan. Maklum, pendapatan dan pengeluaran belum banyak surplusnya. He he. Tapi meskipun begitu, kehangatan keluarga dan kekompakannya tetap terjaga.

Makan-makan adalah bentuk perayaan yang sering kami pilih, jenisnya bisa bakso, soto, nasi kuning, ayam penyet atau ngaliwet, lengkap dengan ikan bakar, sambel dan lalap. Meski sederhana, tapi tidaklah mengapa. Karena yang terpenting adalah berkumpul dan kebersamaannya. Dijamin, makan pun terasa lebih nikmat.

Dan ngaliwet, kayanya lebih favorit dari yang lain, karena ada proses yang harus dilalui, mulai dari persiapan, eksekusi hingga finishing.Jadi, ada semacam perjuangannya gitu, yang membuat momen pun terasa lebih seru. 

Tak jarang, semua anggota keluarga terlibat dalam pengerjaannya. Ibu-ibu biasanya kebagian tugas memasak nasi liwet, yaitu nasi yang dibuat dengan cara merebus beras secara langsung dengan sejumlah air tertentu (ukurannya harus pas) dan diberi bumbu (bawang merah, bawang putih, daun salam, batang serei, cabe rawit, garam, penyedap, daun kemangi atau kadang ditambah ikan asin), membuat tumis-tumisan (biasanya kangkung atau genjer), goreng tempe dan yang tak kalah wajib, sambal dan lalap. Sementara, bapak-bapak kebagian membakar ikan atau ayam.

Ketika sudah matang, nasi liwet akan digelar di atas daun pisang lalu disantap secara berjamaah. Woow ... bagian ini adalah yang paling ditunggu. Karena biasanya banyak diselingi dengan banyolan-banyolan konyol, atau celetukan-celetukan kocak yang bersifat jail. Aturan mainnya: dilarang baper atau sakit hati, rugi! Ha ha.

Oya, waktu saya mengadakan syukuran pindah rumah beberapa waktu lalu, kebetulan Teteh (kakak perempuan -- Sunda), yang tinggal agak jauh, tidak bisa hadir karena ada keperluan lain yang lebih urgent. 

Jadi dia minta dibuatkan acara khusus bersama keluarganya. Baik, saya pun menyambut dengan suka cita bahagia damai sentausa. Dan setelah sepakat masalah waktu penyelenggaraan, yang biasanya alot dalam penentuannya karena banyak kepentingan yang tidak penting, atau sok jadi penting, pada akhirnya bisa dilaksanakan.

Bertepatan dengan hari kasih sayang, Teteh dan keluarganya benar-benar datang, dan menginap di rumah saya. Tapi, yang membuat saya lebih senang dan gembira adalah, tentengannya itu lho! 

Lobster, ikan laut beraneka jenis, jambu citra merah yang dipanen dari depan rumah, dan ikan asin khas Parigi (dibuat dari ikan laut besar, tidak terlalu kering dan tidak terlalu asin), cukup untuk bekal ngaliwet sekeluarga besar.

Tanpa banyak basa-basi, semuanya langsung diproses. Liwet-liwet-liwet, bakar-bakar-bakar, asam manis, saus tiram, selesai. Hasilnya pun segera diserbu ramai-ramai. Tak lupa candaan, celetukan dan jail-jailan tak pernah ketinggalan. Akhirnya bukan hanya perut yang kekenyangan tapi pipi juga jadi sakit karena kebanyakan ketawa. Pastinya seru banget dong.

Lobster Bakar (Dokumentasi Pribadi)
Lobster Bakar (Dokumentasi Pribadi)
Hal-hal semacam inilah yang selalu dirindukan. Apalagi dengan saudara yang tidak bisa tiap hari ketemu, karena terhalang ruang dan waktu. Pastinya ada kangen yang berjarak, yang butuh untuk digenapi.

Dan yang paling membahagiakan lagi adalah, Teteh datang dengan membawa kabar bahwa putrinya atau keponakan saya akan segera mengakhiri masa lajangnya. Resepsi akan dilaksanakan hari Minggu, tanggal 18 Maret 2018, atau tiga hari lagi dari sekarang. 

So, selamat ya untuk Eka Widyastuti dan Riyan Fauzi. Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warrohmah. Aamiin.

Pokoknya nanti setelah rangkaian acara pernikahan selesai dan tuntas, kita bikin ngaliwet lagi, ok!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun