Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[LOMBAPK] Ayam-ayam Nackal!

14 Januari 2017   07:02 Diperbarui: 14 Januari 2017   08:06 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lelah. Itulah yang kami rasakan setelah seharian angkut-angkut dan beres-beres di rumah baru. Padahal pekerjaan belum selesai sepenuhnya. Masih banyak yang harus dibenahi. Barang-barang masih berserak seenaknya; baju-baju belum masuk ke lemari, perabot dapur belum tertata di rak, buku-buku masih menumpuk di kardus, meja, kursi, sendal, sepatu, ah... ternyata benar, pindahan itu sangat menguras energi.

Tapi ya, bagaimana lagi? Selayaknya pasangan lain, kami juga punya mimpi untuk membangun keluarga mandiri, di rumah sendiri. Meski kecil dan sangat sederhana, tak apalah, yang penting bisa untuk berteduh dari panas matahari dan dinginnya hujan. Dan yang pasti, kami tidak usah lagi menumpang di rumah mertua. Bagi kami, ini sudah lebih dari cukup. Kami berharap, rumah ini menjadi syurga kami untuk membangun cinta, menggapai sakinah, mawaddah, warrohmah. Aamiin.

Lokasinya memang bukan di kota, melainkan agak sedikit ke dalam. Tapi justru ini pilihan kami, setidaknya masih mendapat suasana yang tenang dan alami, walau akses jalan masih harus diperbaiki. Ah, itu sih urusan pemerintah. Kewajiban kami hanyalah membayar pajak tepat waktu, meski konon harganya meningkat sampai tiga kali lipat.

“Mas, koyone seminggu baru beres iki,” keluh istriku. Wajahnya terlihat sangat lelah.

Ndak apa-apa, pelan-pelan saja, ndak usah terlalu ngoyo. Namanya juga pindahan, ya... pasti banyak yang harus dibenahi, dirapikan.” Saya menanggapi dengan bijak. Memang begitu, meski barang-barang yang kami miliki tidak terlalu banyak, tapi untuk menempatkan pada tempatnya membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Padahal tadi juga sudah dibantu sama adik-adik. Gak kebayang kalau yang pindahannya orang-orang kaya yang rumahnya segede lapangan bola, mungkin sebulan lebih baru beres.

“Iya Mas, sing penting malam ini punya tempat untuk tidur,” katanya lalu melangkah ke kamar, satu-satunya ruangan yang mendapat perlakuan istimewa untuk dirapikan lebih dulu. Kuapnya terlihat semakin deras.

Saya mengangguk setuju. Tak usahlah terlalu dipikirkan. Toh semua akan beres pada waktunya, hehe.

***

“Mas, nanti abis maghrib kita sowan sama tetangga-tetangga, itung-itung silaturrahmi sambil perkenalan. Sudah dua hari lho kita tinggal di sini, jadi warga sini.” Istri mengajak, tapi tangannya tak lepas dari pigura berisi foto-foto kenangan kami, untuk diletakkan di atas buffet. Masih menyicil pekerjaan beres-beres yang belum beres-beres.

“Iya, De. Mas juga mikir begitu, sebagai orang baru, memang sepantasnya kita yang berkunjung lebih dulu.”

“Ya wis, Mas mandi dulu, gih! Nanti bantuin mindahin rak buku, kayanya lebih cocok ditaruh di sebelah sana,” katanya sambil menunjuk sisi kanan ruang tamu, dekat jendela.

Saya mengangguk. Untuk urusan penataan ruang, saya serahkan sepenuhnya pada Istri. Biarkan saja dia bebas berkreasi, lagian kalau dibantah juga suka cemberut. Hehe. Saya pun menurut segera ke kamar mandi. Seharian di tempat kerja membuat badan terasa lengket.

Selepas magribh, kami mulai berkeliling pada tetangga dekat. Mereka menyambut dengan ramah. Suasana akrab pun cepat terjalin. Sungguh, kami merasa senang memiliki tetangga yang baik dan penuh kekeluargaan.

Euleuh-euleuh, atuhsi Mas teh ngawulang di SMA?!” pekik Bu Asep dengan logat Sundanya yang khas. Rumahnya persis di sebelah kiri rumah saya, tidak terhalang apapun.

“Iya, Bu. Tapi masih honorer.” Saya menjawab malu-malu.

“Ih, biarin we masih honorer juga, siapa tahu nanti mah diangkat jadi PNS, nya Neng, nya?” katanya sambil melirik wanita cantik yang duduk di samping saya. Dan dia pun tersenyum, lalu mengangguk mengaminkan.

“Ya udah, pokonya kalau ada apa-apa mah jangan sungkan-sungkan atuh ya, hubungi we ka Ibu. Sing betah di sini ya Mas, ya, Neng. Di sini mah begini geuning, masih kampung, jalan juga masih bararecek. Ih sebeleun pamarentah teh! Padahal kita mahmeni patuh bayar pajak teh,da sieun kadengda, ibu mah!” Bu Asep malah nyerocos. Saya dan Istri hanya tersenyum.

“Ih, ari si Ibu, kalah ngomong teu pararuguh, jadi kana pamarentahan sagala! Keun we da udah ada yang ngatur itu mah!”sergah Pak Asep. Wajahnya berubah sedikit tegang.

“Biarin we, da emang begitu kenyataannya! Dari dulu ge belum wae dibenerin!” Bu Asep tetap ngeyel.

Saya dan Istri akhirnya memutuskan untuk pamit, semoga saja perseteruan ini tidak berlanjut. Hehe.

Ih, padahal mah nanti we, masih sore keneh da!” tahan Bu Asep.

“Mm, anu Bu, masih banyak yang harus dibereskan, belum semuanya,” jawab Istri.

“Oh, ya udah atuh, adatna yang pindahan mah, gak beres seminggu, hehe.” Bu Asep terkekeh. Kami pun jadi ikutan, tak terkecuali Pak Asep.

“Kalau begitu, kami pamit sekarang. Mari Bu, Pak, maaf sudah mengganggu waktunya!” Saya dan Istri pun bangkit, lalu menuju ke luar. Tak lupa menyalami keduanya.

“Eh, tunggu...” Bu Asep memanggil, begitu kami sudah hendak keluar pagar. “Ini ada sedikit makanan, namanya kecimpring, dibuat dari singkong, nyicipin ya?”

“Ah, Ibu. Kami juga ndak bawa apa-apa. Makasih banyak ya, Bu.” Istri saya menerima. Bu Asep tersenyum, mungkin senang bisa berbagi dengan tetangga barunya. Hingga akhirnya kami pun benar-benar dilepasnya.

***

Masa beres-beres akhirnya terlewati. Barang-barang sudah menemukan tempatnya. Meski terkadang, Istri masih suka geser-geser untuk mengubah posisi. Tapi tidak serepot pekerjaan sebelumnya.

Selanjutnya, kami mulai menata halaman depan dan juga pekarangan di belakang. Lumayan masih ada sisa tanah sedikit. Kami pun memanfaatkan untuk menanam aneka sayuran; cabai, terong, bayam, tomat, singkong, lobak, katuk dan lainnya. Kata Istri, lumayan untuk menghemat uang belanja, dan juga ikut melaksanakan anjuran Pak Menteri, terkait harga cabai yang melambung tinggi. Ok deh!

“Maaass! Siniiii...!” teriak Istri histeris pada suatu pagi. Saya tergopoh menemuinya. Kaget, dan khawatir terjadi sesuatu padanya.

Ono opo tho, De?” Setibanya di sana saya langsung bertanya. Dia sedang berdiri melihat kebun mungil kami. Tangannya kuat mencengkram sapu lidi.

“Tanaman kita ancur, Mas! Abis semuanya, diceker-ceker ayam! Tuh, lihat!” katanya mengadu. Ada emosi yang tertahan.

Benar saja, kebun kami jadi berantakan. Tanaman-tanaman yang baru tumbuh itu tercerabut dari akarnya, batang-batangnya patah, daun-daun berguguran, berserakan seperti baru terkena angin puting beliung. Acak-acakan! Dan, di sisi kanan, sekelompok ayam tampak tengah bergembira, seolah merayakan misinya yang berhasil.

“Dasar ayam kurang ajar!” Istri menggerutu. “Piye iki tho, Mas?!Pasti bakal koyo ngene terus! Ancurlah mbuh!”

Sejujurnya saya juga nyesek, karena kami memang sudah menyimpan harapan di sana, setidaknya nanti akan sangat membantu kebutuhan dapur, terutama untuk urusan bumbu dan sayur. Hanya mengandalkan honor mengajar memang tidaklah cukup.

Ya wis, gimana lagi? Ya kita tanami lagi.” Saya tidak mau ikut-ikutan emosi. “Ayam kan memang begitu kerjanya, nyeker-nyeker, tho?

“Tapi mbok ya jangan semua tanaman kita diancurin tho, Mas. Kesel aku!”

“Ayam kan ndak sekolah, De. Jadinya dia ndak tahu kalau perbuatannya itu menyakiti manusia.”

“Besok-besok ta sembelih kowe!

“Udaah, jangan emosi, nanti cantiknya ilang... Biar nanti Mas yang beresin, skalian dikasih pagar jaring biar ayamnya ndak iso masuk lagi.”

Ya wes, terserah Mas aelah, aku masih gondok iki!”

Ternyata urusan ayam tidak berhenti sampai di situ. Meski sudah pakai pagar jaring, tetep saja bisa masuk dan ngacak-ngacak, sampai akhirnya kami menyerah dan tidak menanam sayur lagi. Kami ganti menanam mangga dan jambu Jamaika. Baru aman.

“Maas! Lihat tuh, sekarang ayam-ayam kalau buang kotoran pengennya di teras kita terus, capek aku bersihinnya!” Istri mulai ngomel-ngomel. “Mana bau lagi, huuuh! Dikira teras kita WC umum apa?!”

Mendengar semua omelannya sebenarnya saya ingin tertawa. Tapi saya sadar, tertawa disaat yang tidak tepat akan menimbulkan masalah baru. Dan saya tidak mau itu. Jangan gara-gara ayam hubungan bilateral jadi terusik. Hehe. Lagian juga rumah kami kan belum dipagar, jadi siapapun bisa bebas nangkring di serambi, termasuk ayam-ayam itu.

Istri saya memang penyuka kebersihan dan kerapihan. Saya yang dasarnya cuek dan seenaknya, jadi harus mati-matian menyesuaikan diri. Meski masih sering lupa-lupa. Untung saja saya orangnya easy going, jadi diomelin segimanapun, monggo ae!

“Harusnya ditulisin ‘dilarang buang kotoran di teras’ gitu....” Saya malah ajak becandaan.

“Ih, Maas! Masa tiap saat harus ngelapin kotoran ayam terus sih? Bisa-bisa setress, aku!”

“Ya jangan dong, kalau Kamu setress nanti siapa yang bikinin Mas kopi?”

“Terserah deh, sekarang urusan kotoran ayam jadi urusannya, Mas! Aku capek!”

Saya hanya bisa mengangguk pasrah. Nrimo.

“Kamu ndak tidur, De?” Saya bertanya pada suatu malam, ketika tidak mendapati Istri ada disamping saya, tapi malah baringan di sofa ruang televisi.

“Gak bisa tidur! Berisik!” ucapnya ketus. Wajahnya ditekuk.

“Emangnya kenapa? Mas ngorok lagi, ya? Maaf, Mas kelelahan mungkin.” Saya jadi teringat pas awal-awal pernikahan kami, Istri saya tidak bisa tidur lelap karena saya ngorok, katanya. Padahal saya tidak merasa.

“Bukan! Tuh... ! Emangnya Mas ndak denger?!”

Saya menajamkan telinga. Terdengar suara ayam berkokok bersahutan. Bising. Padahal jam dinding baru menunjuk angka satu.

“Ayam?” Saya bertanya, “Kok ribut begini?” Heran.

“Iya, Mas. Hampir tiap malem begitu. Ribut, berisik. Kayanya mereka tidur di pinggir kamar kita.”

“Yang bener, De? Kok, Mas ndak tahu.”

“Ya jelas Mas ndak tahu, kalau tidur kan kaya kebo.”

“Emangnya ayam siapa sih, De?”

“Siapa lagi?! Tetangga kita sebelah kiri!”

“Bu Asep?”

“Iya.”

Saya penasaran, lalu beranjak ke belakang, dan memang benar, sekelompok ayam sedang nongkrong rame-rame di benteng pembatas tanah kami dengan Bu Asep. Lagi-lagi ayam-ayam itu yang jadi biang keroknya. Sepertinya ini bukan lagi urusan sepele, karena sudah mengganggu stabilitas keluarga.

Mau gak mau saya jadi mikirin ayam-ayam itu. Gimana caranya biar tidak jadi sumber meredupnya matahari di raut Istri? Hmmhh... Kasian juga, hari-harinya jadi disibukkan oleh hal yang sebenarnya bukan urusannya. Lalu, apakah yang punya ayam tahu, kalau selama ini ayam-ayamnya sering bikin masalah di rumah kami? Apakah tahu juga kalau kami jadi begadang malam ini karena terganggu suara ribut ayam-ayamnya? Mungkin sekarang mereka justru sedang tidur pulas! Sebel! Yang jelas, ini harus segera dihentikan!

***

Sebenarnya kami tidak mau ini terjadi. Berprasangka dan menanam benci. Tapi lama-lama memang kesal dan jadi baper. Kalau ada ayam-ayam itu pengennya nimpuk, ngusir sejauh-jauhnya biar gak balik lagi, balik lagi. Tapi dasar ayam, mana ngerti dia kalau kami sedang marah kepadanya? Eh, malah seperti yang sengaja meledek, crot crot buang kotoran seenaknya.

Glupraak! Wjhaykdhdlla;a;hbagxgdh! Praaangg!

Terdengar suara benda jatuh dari ruang tamu. Saya dan Istri segera memeriksa. Ternyata guci keramik hadiah pernikahan dari Mas Pur, Kakak sepupu yang tinggal di Belanda, pecah berkeping-keping. Siapa lagi pelakunya kalau bukan seekor ayam jago yang sedang nangkring di kursi tamu dengan wajah polos tanpa merasa bersalah sama sekali. Malah terkesan bangga seolah seorang pahlawan yang berhasil membasmi kejahatan. Rupanya dia masuk lewat pintu yang terbuka karena tertiup angin.

Rona kemarahan tak bisa lagi disembunyikan Istri. Wajahnya memerah. Segera diusirnya ayam itu, sambil ngomel-ngomel gak jelas. Namun sial, sebelum pergi ayam sialan itu sempat-sempatnya mengeluarkan kotorannya, dan crott, tepat di kursi tamu. Duh Gustiii...!

Awas kowe! Ta wejek-wejek kalau kena! Ini tuh guci mahal, tahu?! Penuh kenangan!” Suara Istri masih terdengar penuh amarah. Sementara sang ayam sudah pergi jauh entah kemana.

Piye iki tho, Mas?! Aku ndak rela guci kesayanganku ancur begini...” Suaranya berubah sendu, tak lama terdengar mulai terisak. Saya jadi serba salah. Masa harus minta ganti rugi sama ayam?

“Ya gimana lagi, De. Salah kita juga ndak nutup pintu dengan pas. Mudah-mudahan kita punya rezeki, jadi bisa beli langsung ke Belanda.” Saya mencoba menenangkan.

“Bukan! Emang dasar ayam sialan iku!Hiks hiks hiks...” bantahnya disela-sela isak.

“Iya, iya. Emang ayam sialan itu!” Tak ada pilihan, saya pun harus setuju dengan tuduhannya.

Tanpa banyak berkomentar lagi, saya mulai mengumpulkan pecahan-pecahan keramik itu. Biarkan saja Istri meluapkan kesedihannya. Saya tahu betapa sayangnya dia pada benda itu. Tiba-tiba terdengar suara seseorang mengucap salam. Rupanya Bu Asep.

Euleuh-euleuh, kunaon ari si Eneng, bet nangis begitu? Kunaon geulis? Ada apa? Berantem sama suami?” tanyanya begitu masuk ke ruang tamu.

Istri saya menggeleng.

“Aya naon atuh, ah? Jadi reuwas ibu mah?”

“Ini, guci kesayangannya pecah, sedih.” Saya menjelaskan.

“Oh... kirain teh ada apa? Mangkaning mahal meureun nya eta guci teh?

“Ini hadiah pernikahan dari Kakak sepupu yang di Belamda.”

Euleuh-euleuh, Walanda anu dulu menjajah bangsa kita? Jauh atuh nya? Kela kela, naha bet bisa jatuh kitu atuh? Kumaha eta teh?

“Kesenggol.” Kali ini Istri saya yang menjawab. “Gak sengaja. Hiks hiks hiks...”

Saya jadi menelan ludah, padahal sudah ingin menjelaskan kalau penyebabnya adalah... tapi, sudahlah, mungkin Istri ingin menyembunyikan kejadian yang sebenarnya.

“Oh, makanya atuhhati-hati, ya, Neng, Mas, nyaah kalau sudah jatuh mah.”

Saya dan Istri serempak mengangguk.

“Tuh kan ibu jadi lupa. Ini ada rezeki sedikit, si Bapa tadi abis mancing, dapet ikan banyak... nyicipin ya. Digoreng atau dibakar, enak geura. Sok ya, ibu pulang dulu, mau masak juga. Assalamu’alaikum.

Sepeninggal Bu Asep, tangis Istri saya justru semakin mengeras. Dan, saya tidak mengerti, kenapa?

***

Jujur, saya bingung. Bagaimana caranya keluar dari masalah ini dengan tidak menimbulkan masalah baru? Hanya diam, menerima dan membiarkan saja apa yang terjadi juga bukan solusi. Bisa-bisa kena hipertensi. Amit-amit deh! Sementara, kalau menyampaikan langsung juga khawatir akan menyinggung. Ah, kenapa urusan ayam jadi pelik begini?

“Bu, saya lihat Ibu punya ayam banyak?” tanya saya suatu sore, saat kami sedang sama-sama menyapu halaman.

“Iya, ih... seueur ibu mah, kunaon kitu?Si Mas perlu?”

“Kok saya lihat ndak dikasih kandang?”

“Iya puguhan, kandangnya rusak, si Bapa belum sempet benerin, duka emang males, ah si Bapa mah hese!Ini juga sisanya, duka ku nu maling duka ku ucing leuweung!

“Oh gitu? Sayang sekali ya, Bu? Padahal kalau dikasih kandang, mungkin lebih aman.” Saya seolah mendapat wangsit untuk menyelesaikan masalah ini. “Kalau boleh, biar saya saja yang benerin kandangnya?”

“Emangnya si Mas, bisa? Sok atuh, dengan senang hati, boleh-boleh...”

Yess! Akhirnya kamu gak akan bisa berkeliaran lagi, ayam-ayam sialan!

“Siap, Bu. Kebetulan besok hari Minggu, saya libur.”

Kabeneran pisan atuh, nya? Ya udah atuh, besok saja benerinnya.”

Saya mengangguk. Istri saya pun tampak gembira ketika saya menceritakan hal ini kepadanya. “Tunggu sampai besok ya, ayam-ayam nackal!” pekiknya penuh kemenangan, menirukan gaya seorang pemain sinetron di televisi.

Dan besoknya, dengan semangat membara saya bereskan kandang ayamnya Bu Asep. Tak ada satu pun celah saya biarkan terbuka. Semuanya tertutup agar mereka merasa aman, damai, bahagia, sentosa di dalam kandangnya. Rasain lo!

Pekerjaan pun selesai. Semoga tidak ada lagi masalah dengan ayam-ayam itu.

Hatur nuhunya Mas, sudah nyempetin ngebenerin kandang ayamnya ibu,” kata Bu Asep ketika saya pamitan hendak pulang.

“Sama-sama, Bu.”

“Ya udah, ini buat Mas, terserah mau diapakan, di goreng, di sop atau dibakar.” Bu Asep menyerahkan seekor ayam... jago.

Degh! Saya ingat ayam jago itu!

“Yang bener, Bu? Matur nuwun ya, Bu.” Saya segera menerimanya. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan dengan berbasa-basi atau pura-pura menolak.

Sami-sami, Mas. Nanti kalau butuh ayam lagi, bilang saja sama ibu.”

Saya mengangguk. Dan segera berlalu pulang.

***

“De, sekarang tidurmu bakal nyenyak lagi, dan teras rumah kita ndak jadi WC umum lagi.” Saya bercerita penuh kepuasan. Istri saya tertawa-tawa bahagia.

“Kamu ingat ayam ini, tho? Sekarang jadi tawanan kita, terserah mau diapakan?” Saya menunjukkan ayam pemberian dari Bu Asep.

Istri saya melihat dengan antusias. “Hei ayam nackal! Kowe yang udah mecahin guci kesayangan aku! Sekarang kowendak bisa berkutik! Aku bakal sembelih kowe dan dijadikan sop! Hahaha...!” katanya penuh kesumat.

Saya hanya geleng-geleng kepala. Syukurlah, urusan ayam sudah berlalu. Tanpa harus mengorbankan hubungan harmonis bertetangga. Semoga, kami selalu bisa saling menghormati dan menghargai. Karena sungguh, hidup dalam kerukunan itu indah. Sudahkah anda tersenyum hari ini? Hehe.

***

Salam kenal untuk admin berjamaah Planet Kenthir.

planet-kenthir-587969ec2bb0bd700cbe15b0.jpg
planet-kenthir-587969ec2bb0bd700cbe15b0.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun