“Dasar ayam kurang ajar!” Istri menggerutu. “Piye iki tho, Mas?!Pasti bakal koyo ngene terus! Ancurlah mbuh!”
Sejujurnya saya juga nyesek, karena kami memang sudah menyimpan harapan di sana, setidaknya nanti akan sangat membantu kebutuhan dapur, terutama untuk urusan bumbu dan sayur. Hanya mengandalkan honor mengajar memang tidaklah cukup.
“Ya wis, gimana lagi? Ya kita tanami lagi.” Saya tidak mau ikut-ikutan emosi. “Ayam kan memang begitu kerjanya, nyeker-nyeker, tho?”
“Tapi mbok ya jangan semua tanaman kita diancurin tho, Mas. Kesel aku!”
“Ayam kan ndak sekolah, De. Jadinya dia ndak tahu kalau perbuatannya itu menyakiti manusia.”
“Besok-besok ta sembelih kowe!”
“Udaah, jangan emosi, nanti cantiknya ilang... Biar nanti Mas yang beresin, skalian dikasih pagar jaring biar ayamnya ndak iso masuk lagi.”
“Ya wes, terserah Mas aelah, aku masih gondok iki!”
Ternyata urusan ayam tidak berhenti sampai di situ. Meski sudah pakai pagar jaring, tetep saja bisa masuk dan ngacak-ngacak, sampai akhirnya kami menyerah dan tidak menanam sayur lagi. Kami ganti menanam mangga dan jambu Jamaika. Baru aman.
“Maas! Lihat tuh, sekarang ayam-ayam kalau buang kotoran pengennya di teras kita terus, capek aku bersihinnya!” Istri mulai ngomel-ngomel. “Mana bau lagi, huuuh! Dikira teras kita WC umum apa?!”
Mendengar semua omelannya sebenarnya saya ingin tertawa. Tapi saya sadar, tertawa disaat yang tidak tepat akan menimbulkan masalah baru. Dan saya tidak mau itu. Jangan gara-gara ayam hubungan bilateral jadi terusik. Hehe. Lagian juga rumah kami kan belum dipagar, jadi siapapun bisa bebas nangkring di serambi, termasuk ayam-ayam itu.