Saya kembali bangkit dan melangkah ke luar. Hanya Obi yang mengikuti. Ari dan Kaka tetap duduk di ruang keluarga. Saya kembali merapal doa, kekuatan mental saya tambah berkali-kali lipat. Saya menggandeng Obi, pelan-pelan sekali kami menjulurkan kepala melihat ke tempat tadi. Dia masih ada di sana. Saya pastikan, kakinya menyentuh tanah.
“Dia orang, Bi.” Saya berbisik pelan di telinga Obi. Obi mengangguk dan tersenyum kecut. Lalu kami benar-benar keluar melewati pintu. Dia masih membelakangi.
Saya menarik napas dalam, untuk sekadar menenangkan diri. Hingga akhirnya saya beranikan untuk mendehem dan menyapa.
“Ehm, Nek?”
Dia menengok, wajahnya keriput dan sayu. Matanya menatap tajam ke arah kami. Cukup lama. Hingga akhirnya berkata, “wghajklshkayge jkahalhhnak....”
Saya dan Obi saling pandang, kami tidak mengerti bahasa yang diucapkan.
“Ngomong naon, Bi?”18)
“Duka.”19)
Dia masih saja nyerocos tak keruan, namun rasanya saya menangkap ada kata-kata minum dalam perkataannya.
“Nenek mau minum?” Saya memastikan. Dia mengangguk.
“Ambil air, Bi.” Saya meminta Obi mengambil air ke dalam. Obi menurut, tak lama sudah kembali dengan empat gelas air mineral. Ari dan Kaka udah ikut bergabung.