Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hapus Air Matamu, Dita!

1 Januari 2017   21:57 Diperbarui: 1 Januari 2017   22:23 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Model: Rani Ambarwati (ig: rani_amb)

Ternyata paman benar, dengan membebaskan kebencianku dan menerima keadaan, aku merasa hidupku lebih tenang, lebih nyaman, dan lebih bahagia. Aku tak peduli lagi dengan kata-kata yang mengejekku, atau memandang rendah padaku. Terserah. Silahkan saja bicara sampai bibir dower, I don’t care! Toh aku tidak merepotkan hidup kalian. Aku tidak meminta makan pada kalian, dan aku sekolah tidak meminta biaya dari kalian. Aku juga mahluk ciptaan Tuhan, menghinaku berarti menghina Yang Menciptakanku. Dan itu sudah bukan urusanku.

Hidup tanpa rasa benci membuat pikiranku lebih terbuka, lebih bisa berpikir jernih dan fresh. Hingga suatu ketika aku mengajukan diri untuk membantu paman mencari uang, tentu dengan cara yang bisa aku lakukan. Awalnya paman menolak, khawatir akan mengganggu belajarku, tapi setelah aku meyakinkannya berkali-kali, akhirnya paman setuju. Dan aku mulai berjualan keliling setiap pulang sekolah, terkadang ditemani Dito yang juga ingin membantu. Kebetulan ada tetangga yang suka membuat aneka kue basah, jadilah aku reseller-nya.

 Untuk memulai, benar-benar dibutuhkan kekuatan mental baja, agar bisa mengalahkan rasa malu atau rasa-rasa lainnya yang selalu hadir menghalangi. Aku yang tidak terbiasa dengan jualan, ditambah kondisi kakiku yang pincang, serta adikku yang bisu, hanya akan semakin menambah ejekan dari teman-teman. Semua kejelekan ada padaku. Jika mengingat itu, rasa sedih dan putus asa kembali mendera. Ingin kusudahi saja usaha ini. Tapi, jika teringat paman, aku semakin sedih, sampai kapan aku akan membebaninya? Paman juga berhak bahagia, berhak menikmati hasil kerjanya, untuk keperluan pribadinya. Dan tekad itu akan kembali menyala. Aku selalu menguatkannya dalam hati, bahwa aku berdagang, bukan mengemis. Mencoba menjemput rizki yang Tuhan sediakan untukku. Ini pekerjaan halal!

Alah bisa karena biasa, mungkin pepatah itu benar adanya. Lama-lama aku tidak ragu lagi menjajakan daganganku, pada ibu-ibu yang berkumpul sambil menggosip, pada kakak-kakak yang nongkrong sambil bercerita atau pada siapa saja yang kutemui di jalan, kutawari mereka untuk membeli kue basah. Keberadaan Dito sangat membantu, terkadang dia yang membawakan barang dagangannya. Lama-lama aku punya langganan, dan hasilnya lumayan, bisa untuk menambah uang jajan aku dan Dito, atau menambah uang dapur nenek, kalau lebih aku menyimpannya untuk tabungan.

Tadinya aku tak pernah berpikir akan bisa sekolah sampai jenjang SMA, namun dengan uang tabungan dan hasil berdagang, aku yakin, Tuhan akan mencukupi kebutuhan sekolahku. Paman tentu sangat mendukung, aku melihat ada kebanggaan terpancar dimatanya.

Sekolah memang sesuatu yang mahal bagi kami, meski ada program bantuan dari pemerintah, tapi tetap saja untuk kegiatan sehari-hari butuh biaya, dan itu tidak sedikit. Tentu, jika hanya mengandalkan paman, akan sangat memberatkannya, belum lagi Dito dan nenek, mereka juga butuh biaya. Namun karena SMA waktu belajarnya lebih panjang, aku tak bisa lagi jualan keliling seperti waktu SMP, padahal tadinya dari situlah aku berharap mendapat uang tambahan. Bingung pun melanda hatiku. Bahkan aku sempat berpikir untuk berhenti sekolah saja, agar tetap bisa berjualan dan tentu akan mengurangi kebutuhan sehari-hari. Biarlah Dito saja yang sekolah. Ia lebih membutuhkannya daripada aku. Sudah pasti paman menolak, beliau berkeras agar aku tidak putus sekolah, bagaimanapun caranya.

Aku pun tak tinggal diam, otakku terus berpikir mencari peluang apa saja yang bisa kulakukan. Terkadang ada tetangga yang menyuruhku membantu mencuci, menyetrika, menyapu, mengepel, aku mau, asal tidak mengganggu waktu belajarku. Terkadang ada tetangga yang meminta aku mengajari anaknya mengerjakan PR atau tugas lainnya, aku juga mau. Seiring dengan itu, tidak lagi kudengar mulut nyinyir berbau hinaan padaku, dan juga pada adikku. Mungkin mereka bosan, atau mungkin capai, karena aku sudah tak lagi ambil pusing. Its me and its my life. Atau mungkin malu, karena aku tak lagi membalas mereka dengan kebencian, meski hanya sebesar biji sawi dalam hatiku, aku terima dengan ikhlas, aku pun mengajari Dito seperti itu.

Jika kita mau berusaha, Tuhan pun tak akan membiarkan kita terus tenggelam dalam kebingungan. Hingga pada suatu sore, ide itu datang melalui teman Paman Handi yang berkunjung ke rumah. Entah urusan apa yang mereka bicarakan, tapi ketika hendak menelepon siapa, pulsa di telepon genggam temannya paman habis, dan aku diminta untuk membelikan ke warung depan, agak jauh memang. Sepanjang jalan, aku berpikir, di sekolah, hampir semua teman-temanku memiliki telepon seluler, tentu saja mereka akan butuh pulsa, kemarin juga Susi kebingungan karena butuh pulsa darurat, dan sepertinya tidak terlalu repot kalau aku jualan pulsa.

Sepeninggal temannya paman aku membahas ini dengan paman, beliau setuju, tapi jualan pulsa tentu berbeda dengan jualan keliling yang hanya tinggal mengambil barang lalu menjajakan. Kalau ini harus pake modal, harus punya telepon genggam dan tentu deposit pulsanya (aku tahu ini karena mencari informasi tentang cara-cara jualan pulsa), sementara uang tabunganku sudah habis untuk biaya pendaftaran sekolah dan ini-itu.

There is a will there is a way, dimana ada kemauan disitu ada jalan. Entah darimana dan bagaimana, akhirnya paman mendapatkan uang lima ratus ribu rupiah untuk beli hp seconddan juga untuk modal deposit. Belakangan sih aku tahu, rupanya paman meminjam pada temannya. Tentu aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku kelola dengan sebaik mungkin, hingga sedikit demi sedikit aku bisa mengembangkannya. Syukurlah, langgananku semakin bertambah, bahkan bapak/ibu guru di sekolah terkadang suka membeli pulsa dariku.

Satu ide lagi muncul di kepala, ketika aku mengantar temanku jajan di kantin, kenapa tidak aku titipkan saja kue-kue basah tetanggaku di kantin? Tanpa berpikir panjang, aku segera mengeksekusi ide itu. Dan kedua belah pihak setuju, ibu kantin mau menerima titipan, dan tetanggaku bersedia memasok barang. Jadilah setiap pagi aku membawa kue-kue basah ke kantin, baru siangnya berhitung. Rupanya kue-kue basah tetanggaku bisa diterima pasar, malah terkadang kalau dewan guru akan rapat, suka memesan kue-kue dariku, rezeki memang tidak lari kemana. Tak lupa, aku selalu bersyukur setiap hari. Ternyata Tuhan benar-benar membuka jalan bagiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun