Mentari sudah bergeser ke ufuk Barat, ketika Rana mendapati dirinya masih terduduk di ruang tunggu stasiun itu. Lantas ia tersadar kalau dirinya hendak pergi ke Solo. Ia pun menengok jam tangan untuk melihat sudah pukul berapa sekarang, dan memastikan kalau ia tidak tertinggal kereta. Astaga! Dimana jam tanganku?! Kemudian ia menyadari kalau gelang dan cincin pun sudah tidak ada di tempatnya. Dimana? Kok tiba-tiba hilang? Rana bingung. Ia pun meraba lehernya, dan kalung hadiah ulang tahun dari Mas Tanto pun raib! Astaga! Kemana barang-barangku? Kenapa semua menghilang? Apa yang terjadi padaku? Huuhh....! Perasaannya pun bercampur-baur, bingung, kesal, marah.
Tiba-tiba ia teringat pada Bapak yang tadi duduk di sampingnya. Ia menoleh ke tempat duduk Bapak itu, tapi sudah tidak ada. Lantas, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Tetap tidak ada. Setidaknya ia ingin bertanya, siapa tahu Bapak itu mengetahui apa yang sudah terjadi pada dirinya. Tapi harapannya sirna. Rana hanya bisa merenung. Mengingat-ingat semuanya. Dengan perasaan tidak menentu.
"Permisi Bu," sapa seseorang membuyarkan fikirannya. Ternyata seorang petugas stasiun.Â
Rana memandang nanar kepada petugas itu. Iaingin bertanya, namun tidak tahu manakah yang harus ditanyakan? Kereta ke Solo?Atau Bapak tadi?
"Ibu terlihat bingung, ada yang bisasaya bantu?" tanya petugas itu lagi. Rana masih diam.
"Iya Pak, saya mau ke Solo, jam berapa sekarang? Kereta ke sana sudah berangkat?" akhirnya Rana mau buka mulut, meski dengan suara lemah.
"Sudah, Bu. Tiga jam yang lalu," jawab petugas itu.
"Apa? Tiga jam yang lalu? Jadi saya sudah tertinggal?!" sentak Rana sengit. Petugas itu mengangguk. Rana mendesah. Kini sudah jelas, kalau ia ketinggalan kereta. Ingin rasanya menangis sekeras-kerasnya. Penantiannya menjadi sia-sia.Â
"Tadi waktu ada pengumuman dari informasi, bahwa kereta ke Solo akan segera berangkat, kami tidak melihat Ibu, mungkin sedang keluar dengan seorang Bapak..." jelas petugas itu.Seorang bapak? Rana kembali teringat pada bapak itu.
"Pergi? Saya pergi kemana? Dengan seorang bapak? Dari tadi saya di sini kok," sangkal Rana, karena ia tidak merasa pergi kemanapun dengan siapapun. Seingatnya, ia hanya duduk kesal di situ, menunggu kereta.
"Lho? Tapi kok Ibu terlihat akrab sekali dengan bapak tadi, saya kira suami Ibu."Â