Rana terdiam. Ia duduk disalah satu kursi ruangtunggu yang disediakan pengelola stasiun kereta api untuk para calon penumpang. Sudah hampir satu jam ia berada di situ, tapi kereta yang ditunggu belum datang juga. "Mungkin dua jam lagi," kata salah seorang petugas. Rana menghela nafas panjang, menandakan hati yang gundah.
Rana kembali terdiam. Dua jam lagi? Berarti aku baru bisa tiba di rumah Bapak menjelang maghrib. Tadi pagi-pagi sekali, ia menerima telepon dari Mas Wing, kakaknya, katanya penyakit jantung Bapak kambuh lagi, dan kali ini lebih parah, beliau sampai tidak bisa tidur sambil berbaring karena sesak. Rana sangat khawatir.
Kali ini ia terpaksa pergi sendiri, karena Mas Tanto, suaminya, harus bekerja dan tidak bisa izin secara mendadak. Tapi, nanti mau nyusul sama anak-anak, atau mungkin besok. Kebetulan besok libur. Rana melihat jam tangannya, entah untuk keberapa kali. Tapi jarum jam seperti yang enggan beringsut, sangat lamban. Ia pun kembali menghela nafas panjang.
Lantas, ia teringat sama Bapak, mungkin saat ini Bapak sedang menahan sesaknya. Entah siapa yang menemani. Padahal setelah kepergian Ibu, Rana berusaha mengajak Bapak untuk tinggal bersamanya di Jakarta, tapi Bapak selalu menolak, katanya, “biarlah bapak disini saja, karena bapak tidak bisa melupakan kenangan bersama ibumu.” Rana tidak bisa memaksa. Sementara ia juga tidak bisa meninggalkan suami dan anak-anaknya. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta.
Selama ini, Mas Wing, kakaknya semata wayang, bersama Mbak Widya, istrinya, yang mengurus Bapak. Kebetulan mereka tinggal di sana, meneruskan pekerjaan Bapak, mengurus perkebunan. Kadang Rana merasa sedihdan menyesal, kenapa ia mesti tinggal jauh dari Bapak, orang tuanya yang tinggal sebelah dan sakit-sakitan, padahal ia anak perempuan satu-satunya yang mestinya bertanggung jawab mengurus Bapak, menggantikan Ibu. Namun ia hanyabisa pasrah pada keadaan.
"Permisi Bu, boleh saya duduk di sini?" kata seseorang dengan sopan sambil menunjuk kursi kosong di samping Rana.
"Oh... silahkan..." Rana menjawab singkat. Orang itu lalu duduk di kursi kosong itu.
"Mau pergi ke mana, Bu?"
"Solo. Bapak?"
"Sama. Kata petugas, kereta datangnya telat."
"Iya. Padahal saya harus segera sampai di sana"
"Oh. Sendirian, Bu?"
"Iya. Bapak saya sakit."
"Maaf, sakit apa?"
"Jantung."
"Sudah lama sakitnya?"
"Hampir dua tahun. Sejak kepergian ibu."
"Sudah coba cara alternatif?"
"Tidak tahu. Kakak saya yang mengurusnya. Bapak saya orangnya males berobat.
"Kadang harus dibujuk-bujuk, baru mau."
Bapak itu tertawa.
"Dia juga susah makan obat."
"Hmm, susah ya?"
"Iya. Eh, maaf, malah jadi cerita banyak."
"Tidak apa-apa."
Lalu Bapak itu mengeluarkan kotak permendari saku celananya, membuka, dan menawarkan pada Rana.
"Monggo, Bu..."
Rana mengambil satu buah. "Terimakasih," ujarnya, sebelum memasukkan ke dalam mulut. Bapak itu tersenyum.