Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dari Balik Jendela

22 Desember 2016   23:16 Diperbarui: 25 Desember 2016   07:05 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naya membiarkan sepasang teropong jiwanya melompat ke luar jendela kamar, mengitari pemandangan sejauh jangkauan, menyeruak diantara semak-semak dan belukar, dan juga pepohonan yang tumbuh liar, berkerumun, berdesakan. Manik matanya begitu lincah, melayang, berputar, berpindah dari satu titik ke titik lainnya, seperti gerak sledet yang sering dijumpai pada setiap tarian Bali. Sangat cepat, berirama, menangkap begitu banyak detil yang tersuguh sebagai sebuah opera. Detil yang meski tampak tercerai-berai, tersekat-sekat, tidak saling terkait, namun sejatinya merupakan sketsa alam yang utuh. Saling melengkapi.

Salah satu framemembingkai keluarga bunga pukul empat yang sudah mekar sedari tadi, begitu semarak dengan warna-warni yang ceria, bersanding dengan bunga lily yang juga tak mau kalah, memancarkan pesonanya yang anggun. Menyematkan damai hingga ke relung hati. Mengundang bahagia hingga ke dasar sukma. Namun justru terlihat kontras dengan frame lainnya yang menampilkan serumpun bunga sepatu yang malah menguncup layu, selaras dengan deretan pohon petai cina yang juga mengatupkan daun-daunnya. Tampak letih. Tertunduk lesu. Tak ada lagi gairah meski untuk seulas senyum.

Di atas sana, sekawanan kelelawar bersorak-sorai, begitu riuh, petantang-petenteng, merentang sayap, membelah angkasa, melayang, menukik, bermanuver, seolah ingin semakin menancapkan eksistensinya dengan menunjukkan seringainya yang angkuh, jumawa. Naya melihat, betapa sebuah saat dapat disikapi berbeda oleh setiap jiwa. Termasuk dirinya, yang hanya terpekur dalam gilasan masa. Adanya keinginan, hasrat dan kepentinganlah yang menjadi tonggak terciptanya perbedaan itu.

Saat ini, pada dimensi lain, mungkin tengah terpampang sebuah frame yang begitu haru, lucu, atau sama sekali tak pernah terpikir. Mungkin saja. Dan lamat-lamat alunan musik mulai terdengar, gemerisik, dari sekelompok fauna seniman yang tak pernah merasa bosan melantunkan nyanyiannya, tentang cinta, rindu dan juga harapan. Selalu riang, gaduh, bagai gelaran sebuah konser. Ya, petang mulai meremang, malam pun telah menjelang.

***

Naya masih bergeming, belum mau beranjak dari dekat jendela kamarnya. Bola beningnya masih dibiarkan mengembara menangkap lebih banyak lagi detil yang tercipta saat terjadinya pergantian masa. Lembayung yang terdesak, mentari yang terusir, atau rembulan, sang putri malam yang selalu menyimpul senyum, pun tak luput dari bidikan lensa hatinya. Tentu akan ada banyak makna di sana, jika mau menggali. Namun, Naya tidak tertarik untuk mencari atau menggali apapun. Ia hanya membiarkan saja pandangannya menerawang, membentur apa saja sesukanya. Tak peduli dengan makna atau apalah namanya itu. Bagi Naya semua itu tak lebih dari rol film dengan cerita yang sama yang selalu diputar setiap hari. Tak ada yang menarik.

Naya justru semakin membenamkan dirinya pada pilu yang merasuk hingga kedalaman kalbu. Pilu yang teramat pedih, yang selalu saja bergelayut di pelupuk mata, setia membungkus hari-harinya. Pilu yang telah merenggut seluruh asa dan semangatnya, menggerogoti energinya hingga limit, nyaris tak bersisa. Semenjak ibu dipanggil Sang Maha Hidup, Pemilik Seluruh Hidup, Naya merasa lentera hatinya meredup. Apalagi, dengan kenyataan lain yang kini harus dihadapi, Naya benar-benar tak sanggup.

Gelap sudah hampir merata, merayap ke seluruh penjuru buana. Lampu-lampu mulai menyala. Sepasukan laron dan beberapa jenis serangga kecil lainnya segera mengerubung, melingkar, berpesta, menikmati cahaya. Konon laron-laron itu sengaja di lepas oleh ratu mereka untuk menghisap cahaya purnama. Cahaya keabadian. Namun mereka justru terjebak oleh cahaya lampu dan menemui ajal, meregang nyawa. Terkecoh, tanpa pernah meraih tujuannya. Naya tak peduli soal itu, justru ia merasa, dirinya kini tak jauh berbeda dengan mereka. Terjebak dalam dunia asing, yang begitu pengap, dimana setiap helai udara, hanya mengalirkan luka. Mungkin, ia pun tak akan pernah meraih tujuannya.

“Neng Naya....” Suara seseorang memecah sunyi, dari balik pintu kamar. Sepertinya Bi Sumi.

“Iya Bi, masuk.” Naya menjawab dengan malas. Tak lama pintu pun terbuka. Ternyata benar Bi Sumi. Siapa lagi? Di rumah itu kan hanya ada mereka berdua. Sebenarnya sih bertiga dengan ayah, tapi...

“Neng makan dulu ya, sejak pulang sekolah tadi, Neng belum makan,” bujuk Bi Sumi lembut, lalu menekan saklar yang terpasang di dinding kamar. Seketika terang menguasai ruangan. Satu per satu laron beringsut, masuk melalui ventilasi udara, mendekati cahaya. Melayang, melingkar, berpesta. Naya membiarkan laron-laron itu memenuhi kamarnya, hilir-mudik, menari, berdansa, bersuka cita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun