Bi Sumi mengerti. Ia pun mengangguk pelan, tanpa berkata apa-apa.
“Bi, kenapa Tuhan menciptakan Naya sebagai manusia? Bukan sebagai laron? Naya ingin jadi laron saja, Bi.” Mendengar pertanyaan itu, Bi Sumi terhentak. Meski bukan pertama kali Naya berlaku demikian, namun Bi Sumi tetap merasa kesulitan untuk menjawab pertanyaan nyeleneh dari anak kecil seperti ini. Ternyata benar, ucapan mendiang nyonya dulu, kalau anak kecil itu kadang suka berpikiran aneh, bicara ngawur dan terlalu berimajinasi. Lantas ia pun teringat beberapa waktu ke belakang, sewaktu Naya masih berumur 4 atau 5 tahun, Naya pernah ingin menjadi boneka barbie, Dora the explorer, juga peri. Syukurlah, nyonya selalu punya akal untuk menjawab pertanyaan atau keinginan putrinya. Dan, pertanyaan itu kini ditujukan padanya. Bi Sumi tidak tahu, bagaimana harus menjawabnya.
“Lho, kok Neng nanya begitu sih? Kan enakan jadi manusia Neng? Bisa pakai baju bagus, jajan es krim, pergi ke sekolah, atau jalan-jalan.”
“Nggak! Jadi manusia itu pusing! Harus mikirin banyak hal, dan juga harus punya ibu tiri! Naya gak mau, Bi!” ungkapan jujur khas anak kecil keluar dari mulut Naya. Jelas terasa, ada emosi disana. Marah, kecewa, dan ingin berontak. Bi Sumi bisa merasakan sedalam apa sesak yang merasuk boneka barbie asuhannya itu. Sejak Tuan memperkenalkan Bu Monic sebagai calon nyonya baru di rumah itu, yang sekaligus akan menjadi ibu tiri bagi Naya, Naya terlihat down. Berubah drastis, seratus delapan puluh derajat. Selalu murung. Tak lagi bersemangat menjalani apapun. Tak peduli. Termasuk menjaga kesehatan dirinya. Meski berkali-kali Bi Sumi mencoba mengingatkan, namun Naya tetap memilih menjadi diri yang ia inginkan saat ini.
“Meski nantinya menjadi ibu tiri, Bu Monic kan baik, Neng.” Bi Sumi mencoba meredakan emosinya.
“Baik apanya?! Dia yang sudah ngambil ayah dari Naya, juga dari ibu! Pokoknya gak mau! Gak mau! Ayah tidak sayang Naya! Ayah tidak sayang ibu!” Naya berteriak keras. Wajahnya menegang, lalu ditutup dengan isak, tersengal. Air mata menganak sungai, menyusuri lengkung pipinya.
Bi Sumi segera memeluk anak asuhannya, lalu dibelainya dengan lembut. “Tenang sayang, jangan sedih ya... bibi yang akan terus menjaga Neng, bibi yang akan terus bersama Neng, menemani Neng, menyiapkan semua keperluan Neng... Neng harus kuat, demi ibu. Bibi yakin, ibu akan sedih disana, kalau melihat Neng seperti ini....” Bi Sumi berusaha menguatkan, meski ia sendiri pun tak kuasa membendung butiran bening yang melesak-lesak, ingin keluar dari sumbernya.
“Bi, Naya ingin menjadi laron saja....” dengan lirih, Naya kembali mengungkapkan keinginannya, disela isaknya yang masih mengganjal. Bi Sumi tidak menjawab, hanya mengangguk lemah, meski tidak tahu apa yang dimaksud anak kecil yang masih berseragam putih merah itu, yang penting asal anak itu senang, mudah-mudahan bisa sedikit menenangkannya. Lantas, dipeluknya sekali lagi anak asuhannya dengan erat, sepenuh perasaan.
***
Keesokan paginya, Bi Sumi tidak menemukan Naya di dalam kamarnya. Dengan panik, ia mencari ke seluruh penjuru ruangan, tapi Naya tak jua ditemukan. Dalam lelahnya, ia menerawang, pikirannya melayang, menebak-nebak berbagai kemungkinan. Tak terasa, air matapun meleleh, semakin deras, sesenggukan. Dari balik jendela, terlihat bayangan Naya sedang tersenyum, dengan dua sayap coklat transparan di punggungnya. Terbang, melayang, semakin jauh, semakin mengecil, dan akhirnya hilang.
~ Selesai ~