Organisasi adalah kesatuan susunan yang terdiri atas orang-orang dalam perkumpulan dengan tujuan tertentu; Berorganisasi: tersusun dengan baik dan teratur dalam suatu kesatuan; Terorganisir: telah tersusun dengan teratur dalam suatu kesatuan;
Menurut Max Weber pengertian organisasi adalah suatu kerangka hubungan terstruktur yang didalamnya terdapat wewenang, dan tanggung jawab serta pembagian kerja menjalankan sesuatu fungsi tertentu. Sementara kita ketahui bahwa pengertian Organisasi secara umum adalah sebuah wadah atau tempat berkumpulnya sekelompok orang untuk bekerjasama secara rasional dan sistematis, terkendali, dan terpimpin untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.
Kita juga mengenal istilah Organisasi yang lebih bersifat kepada profesionalisme individunya, yang biasanya bersifat nirlaba, yang ditujukan untuk suatu profesi tertentu dan bertujuan melindungi kepentingan publik maupun profesional pada bidang tersebut. Organisasi profesional dapat memelihara atau menerapkan suatu standar pelatihan dan etika pada profesi mereka untuk melindungi kepentingan publik. Banyak organisasi memberikan sertifikasi profesional untuk menunjukkan bahwa seseorang memiliki kualifikasi pada suatu bidang tertentu. Sementara Profesi adalah organisasi yang anggota-anggotanya orang-orang yang mempunyai profesi sama. Walaupunpun tidak selalu, keanggotaan pada suatu organisasi akan selalu sinonim dengan sertifikasi.
Lebih lanjut dapat dikemukakan pengertian organisasi dari para pakar seperti yang termuat dalam Sedarmayanti: (2000 :19-20) sbb. : Organisasi merupakan suatu pola kerja sama antara orang-orang yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu, Wexley dan Yulk dalam Kasim, (1993 :1). Organisasi adalah sekelompok orang yang terbiasa mematuhi perintah para pemimpinnya dan yang tertarik pada kelanjutan dominasi partisipasi mereka dan keuntungan yang dihasilkan, yang membagi di antara mereka praktek-praktek dari fungsi tersebut yang siap melayani untuk praktek mereka.
Di Indonesia juga kita ketahui bahwa ada beberapa organisasi profesi yang salah satu diantaranya adalah organisasi ADVOKAT. Definisi organisasi Advokat adalah sebuah wadah profesi advokat yang didirikan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat, yang dasar dari pada pendirian organisasi advokat tersebut adalah Undang-Undang  No. 18 Tahun 2003, Tentang Advokat. Advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar Pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai advokat, pengacara, penasehat hukum, pengacara praktek ataupun sebagai konsultan hukum;
Beberapa waktu yang lalu Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) telah mengundangkan Peraturan Menteri No. 5 tahun 2019, Tentang Program Profesi Advokat. Peraturan ini tidak lain didasarkan pada pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor. 4 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Program Studi dan Program Pendidikan Tinggi pada jenis pendidikan profesi dan spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan Kementerian Lain, LPNK, dan/atau Organisasi Profesi terkait.
Lahirnya Permenristekdikti No. 5 Tahun 2019 secara substantif menurut kalangan advokat justru telah mengabaikan serta menihilkan peran Organisasi Advokat itu sendiri yang menurut Undang-undang bahwa Organisasi Advokat memiliki otoritas untuk mengadakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat dan pengangkatan Advokat sesuai dengan amanat Undang-undang advokat dimaksud. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan UU Advokat, bahwa Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) telah secara aktif dijalankan oleh Organisasi Advokat yang bekerja sama dengan Perguruan Tinggi. Oleh karenanya merujuk pada Pasal 2 ayat 1 UU Advokat telah dinyatakan bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan telah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
Jika kita coba sedikit membedah Permenristekdikti ini pada Pasal 4. Mahasiswa Program Profesi Advokat dinyatakan lulus jika:
Telah menempuh seluruh beban belajar yang ditetapkan;
Memiliki capaian pembelajaran lulusan yang ditargetkan oleh Program Profesi Advokat; dan
Memperoleh Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) Program Profesi Advokat lebih besar atau sama dengan 3,00 (tiga koma nol nol).
Selanjutnya pada Pasal 5;
Mahasiswa Program Profesi Advokat yang dinyatakan lulus berhak memperoleh:
a. gelar Advokat; dan
b. sertifikat Profesi Advokat.
Gelar Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh perguruan tinggi bersama dengan Organisasi Advokat yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan Profesi Advokat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sertifikat Profesi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan oleh Organisasi Advokat yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan Profesi Advokat, bekerja sama dengan perguruan tinggi, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu di Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dinyatakan secara jelas bahwa:
Pasal 2Â
Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri.
Pasal 3
Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
warga negara Republik Indonesia; bertempat tinggal di Indonesia; tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat; magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat; tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
Ayat 2
Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Jika kita merujuk pada Pasal 2 ayat 1 UU Advokat, yang juga pernah diajukan Judicial Review melalui Mahkamah Konstitusi pada periode tahun pada 2013 dan 2016, ada pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang memberikan penilaian bahwa "Dengan memperhatikan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XI/2013 Mahkamah telah menegaskan pendiriannya bahwa yang berhak menyelenggarakan PKPA adalah organisasi advokat." Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 95/PUU-XIV/2016 juga memberikan pertimbangan yang menyatakan bahwa "untuk menjaga peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab sebagaimana diamanatkan UU Advokat, maka penyelenggaraan PKPA memang seharusnya diselenggarakan oleh organisasi atau wadah profesi advokat dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi hukum sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan di atas."
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 95/PUU-XIV/2016 telah dinyatakan bahwa: "yang berhak menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) adalah Organisasi Advokat bekerjasama dengan Perguruan Tinggi, sementara PERMEN RISTEKDIKTI No. 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat Pasal 2 ayat (2) huruf c tentang Program Profesi Advokat menyatakan bahwa, "PKPA dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang bekerjasama dengan Organisasi Advokat. Lebih lanjut lagi Pasal tentang pemberian gelar Advokat, dalam permenristekdikti tersebut pada Pasal 5 ayat (2) gelar Advokat diberikan oleh Perguruan Tinggi, sedangkan dalam Undang-Undang Advokat pasal 3 ayat (1) huruf f dan pasal 2 ayat (2) yang berhak menguji dan mengangkat seseorang sebagai Advokat adalah Organisasi Advokat. Disinilah patut diduga telah terjadi pengebirian dan/ atau pengamputasian terhadap Undang-undang Nomor. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, yang juga bukan tidak mungkin lahirnya permenristekdikti ini juga telah mengesampingkan prinsip umum dari pada hierarki peraturan perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011)Â Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Bahwa lebih dari pada itu peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No. 5 Tahun 2019 Tentang Program Profesi Advokat (PPA) sebagaimana termuat dalam Pasal 2-5 Permenristekdikti juga mengatur tentang lamanya masa studi PPA ini yang paling cepat 2 semester (1 tahun) dan paling lama 6 semester (3 tahun) dengan bobot 24 satuan kredit semester (sks) dengan wajib mencapai Indeks Prestasi Kumulutaif (IPK) minimal 3,00. Dan setelah lulus, mendapatkan gelar profesi Advokat yang diberikan oleh Perguruan Tinggi yang bersangkutan berikut sertifikasi dari organisasi advokat. Hal inilah yang pada akhirnya mendapat tanggapan negatif dari kalangan advokat atau organisasi advokat. Bahwa sesungguhnya Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, telah mengatur tentang pendidikan khusus profesi advokat (PKPA), ujian profesi advokat (UPA) yang diselenggarakan oleh organisasi advokat, peraturan tentang magang selama 2 tahun, dan juga tentang pengambilan sumpah advokat di Pengadilan Tinggi setempat.
Tidaklah berlebihan jika Advokat menilai bahwa Permenristekdikti itu selain bertentangan dengan UU Advokat, juga bertentangan dengan Putusan MK No. 95/PUU-XIV/2016 mengenai uji pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Advokat yang ada dalam putusan bersyaratnya. Artinya Putusan Mahkamah Konstitusi itu jelas mengamanatkan bahwa penyelenggaraan PKPA dilakukan organisasi advokat dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi hukum atau sekolah tinggi hukum yang berakreditasi B. Oleh karenanya Permenristekdikti No. 5 Tahun 2019 itu bagi kalangan Advokat justru sangat berlebihan dan sangat kontraproduktif dengan melampaui kewenangan UU Advokat serta Putusan MK No. 95/PUU-XVI/2016.
Organisasi Advokat pada prakteknya justru telah memiliki kompetensi yang sangat teruji selama bertahun-tahun sejak diundangkannnya Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dengan tujuan untuk mendidik seluruh anggota-anggotanya agar mampu memiliki keterampilan dalam praktek, memiliki keahlian serta memiliki kompetensi sebagai advokat yang mandiri dengan turut berkontribusi secara aktif didalam melakukan proses penegakkan hukum dan keadilan (due proses of law), karena Advokat jelas merupakan salah satu pilar penegakkan hukum di Indonesia sebagaimana bunyi Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 18 tahun 2003 Tentang Advokat yang menyebutkan bahwa  "Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan Perundang-undangan", maka kedudukan adavokat adalah setara atau sederajat dengan aparat penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa, Hakim).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H