Mobil Lamborghini diamankan di unit kecelakaan Polrestabes Surabaya. (KOMPAS.com/Achmad Faizal)
Â
‘Hah! Lamborghini? Gak salah!’…. ‘Iya!, ‘jarene ono mobil balapan isuk-isuk, nabrak karo mas’e sing dol-dolan susu!... sing tuku susu meninggal pisan…’ (baca: ‘iya, katanya ada mobil yang balapan pagi-pagi, nabrak bapak yang lagi jualan susu. Yang beli susu malah meninggal). Demikian secuil percakapan yang saya dengar pagi itu. Baru saja selesai beribadah Minggu, santer berita ini tersiar.
Ya! Terulang lagi. Dari kasus anak Ahmad Dhani, lalu mobil mewah di Jakarta yang ‘nyeruduk’ motor, dan sekarang terjadi lagi. Dan kali ini TKP-nya hanya berjarak 7 menit dari rumah saya.
Netizen sempat mengunggah video langsung pasca kejadian. Dalam video berdurasi singkat itu terlihat seorang anak pemuda (konon baru berusia 24 tahun) berusaha keluar dari mobil mewah yang katanya bernilai lebih dari 10 miliar! (Red: 3 miliar. Revisi) Fantastis! Harga sebuah mobil yang kelihatannya mustahil dimiliki oleh anak yang baru berusia muda itu.
Dalam tayangan itu sang pemuda yang berusaha keluar dari mobil mewah itu, juga berusaha untuk menelepon seseorang dengan handphone-nya. Dan terdengar samar-samar kalimat, ‘…Mah…iya Mah nabrak... di depan kantor samsat….’ Siapa pun orang yang dia telepon, pastilah orang yang sangat dekat dengan sang pemuda. Dugaan saya, ibunya sendiri.
Hmmm… jika benar demikian. Kira-kira apa yang ada di benak ibu ini. Pagi hari dan telepon berbunyi mengabarkan sebuah berita buruk.
Sejujurnya saya tahu persis apa yang ada di benak ibu sang pemuda ini. Mengapa? Karena saya pun dahulu demikian. Seorang pemuda yang suka "bergaya" di lintasan jalanan kota. Orang bilang "penggemar mobil cepat".
1. Identitas
Sore itu di Bandung, saya dan 3 orang teman pria ada di sebuah mobil. Stop! Tunggu dulu. Ini bukan sembarang mobil. Mobil ini sudah dimodifikasi. Sebuah mobil jeep yang body-nya nyaris mencium aspal. Ceper abis! Tidak hanya itu. Mobil ini juga menghabiskan dana jutaan untuk membuat sound system-nya heboh. Mirip toko kaset berjalan (demikian dulu mereka menyebutnya). Jeroan mesin? Jangan tanya! Mesin mobil ini tidak lagi asli. Ya! Mesin yang bisa dipacu kencang bak seekor kuda liar.
Di dalam mobil inilah kami berempat berputar-putar di sepanjang Jalan Dago (Bandung). Semua orang pasti memandang mobil ini. Bagaimana tidak? Bukan hanya suara musik yang keras tapi cat mobil ini sangat ‘nyentrik’. Apalagi dengan airbrush ‘spiderman’ di kap mesinnya.
Kami sangat bangga berada di dalam mobil itu.
Para wanita memuja kami. Sekali klakson, mereka tersenyum seakan berkata, "Ajak kami donk naik mobilnya!"Â Bangga! Bangga bukan karena prestasi. Bangga hanya karena mobil yang sesungguhnya adalah pinjaman. Benar! Mana mungkin seorang anak SMA bisa membeli mobil seperti itu. Mobil ini pinjaman. Orang tua saya yang memilikinya.
Demikianlah seorang pemuda hidup. Sebuah buku ajaib pernah menuliskan ini. "Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan...." Seorang pemuda perlu mencari identitas mereka bukan dengan omongan kosong. Mereka perlu menggali kemampuan dan skill yang telah diberikan Sang Pencipta!
Jika tidak demikian, ia akan menjual kekayaan orang tua mereka. Hai para pemuda! Bangunlah! Sudah bukan jamannya menyombongkan dan berbangga dengan fasilitas orang tuamu. Sebaliknya, bersyukurlah jika engkau lahir di keluarga yang mampu. Dan gunakan anugerah itu dengan bertanggung jawab. Pakai guna masa depan yang nantinya bisa memberikan arti bagi orang lain.
Berhenti melihat anak-anak lainnya yang memiliki ini dan itu. Ingat bahwa selalu ada langit di atas langit. Jika mata kita selalu melihat ke atas, kita akan tersandung. Lihatlah ke bawah dan Anda bisa bersyukur dengan apa yang ada padamu.
2. Kasih
Sekarang saya sudah memiliki dua orang anak. Memang masih kecil. Tapi refleksi ini mengingatkan saya betapa sulitnya menjadi orang tua. Saya yakin para orang tua setuju dengan saya. Kita sangat mencintai anak-anak kita. Hingga sulit sekali untuk berlaku "tega" kepada mereka.
Calista (23 bulan), anak perempuan kami. Dia seorang anak yang selalu menuntut untuk dipenuhi maunya. Jika tidak, siap-siap dengan tangisan dan juga "drama" pilu yang terjadi di lantai rumah. Kami sebagai orang tua sepakat. Anak ini perlu dididik sejak kecil. Kalau dia mau sesuatu dan menangis – apalagi teriak-teriak – maka kami justru tidak akan memberikan apa yang dia mau.
Kami belajar untuk "tega". Ya! Awalnya tidak mudah. Selalu di antara kami akhirnya datang dan menggendong lalu memberikan apa yang dia mau. Tapi kami sadar. Ini tidak baik. Dia akan memahami bahwa cinta dan kasih sayang memiliki arti bahwa apa pun yang dia minta pasti ada.
Kami komitmen. Kami membiarkan dia menangis. Setelah berhenti, barulah kami mencoba menjelaskan kepadanya. (Percayalah anak sekecil itu sudah bisa memahami). Kami terus memberikan pemahaman bahwa cinta dan kasih sayang tidak selalu diwujudkan dengan memberikan apa pun yang diminta. Tidak! Cinta dan kasih sayang diwujudkan dengan memberikan yang dibutuhkan anak bukan yang diinginkan anak.
Ini sangat berbeda. Maka kebutuhan anak selalu dipenuhi berdasarkan hikmat Tuhan bukan hikmat dunia.
Ayah dan ibu saya bertengkar hebat. Adu argumentasi terjadi. Saya mencoba mendengarkan. Ternyata mereka sedang berdiskusi tentang pemberian kendaraan untuk saya gunakan ke sekolah. Perdebatan terjadi. Dan ibu saya yang menang. Saat usia saya menginjak 17 tahun, saya sudah punya mobil. Dan celakanya. Justru mobil inilah yang membawa saya pada kehancuran. Bagaimana tidak? Saya kemudian lebih mencintai mobil itu daripada orang tua saya sendiri.
Pertengkaran muncul berkali-kali karena mobil itu. Setiap malam Minggu orang tua harus menjemput saya karena tertangkap balap liar. Hutang yang besar ke bengkel karena mobil itu. Dan banyak lainnya.
Ini menjadi pelajaran. Hati-hati, Jika anak mulai mencintai pemberian orang tua lebih daripada orang tua mereka sendiri. Karena ada tertulis: ‘di mana hartamu, di situ hatimu!’. Harta bisa membawa kehancuran jika tidak diawali dengan hati yang benar!’
3. Mengampuni
Hari ini saya bersyukur karena memiliki orang tua yang mengampuni dan memaafkan. Sebaik dan sejenius apa pun metode pendidikan kita di rumah, tidak akan menjamin anak-anak kita tidak berbuat kesalahan. Tentu ada derajat kesalahan. Beberapa orang tua bilang, "Yang penting jangan narkoba deh, kalau pacar-pacaran sih boleh-boleh saja...." Memang di lingkungan kita pasti akan ada sanksi sosial. Dan tanpa membaca kitab undang-undang pun, kita tahu bahwa ada tingkatan dosa.
Tapi apa pun itu bentuknya, tetap saja namanya kesalahan. Dan seorang anak perlu mengerti apa itu kesalahan. Deon dan Calista adalah dua orang anak yang baik. Tapi tetap saja mereka berbuat kesalahan. Ketika mereka melakukan kesalahan, kami memberikan mereka hukuman.
Berdiri di tempat. Deon tahu sekali hal itu. Tetapi tidak cukup hanya menghukum. Kami memanggil, memberikan bertanya dan memberikan penjelasan. Setelah itu kami berdoa dan meminta maaf pada Tuhan. Dan diakhiri dengan berpelukan. Ini penting! Anak perlu jelas tahu kesalahannya.
Kadang kita orang tua kurang melakukan hal itu. Mengapa? Karena hukuman yang kita berikan semata karena emosi kita. Karena ada hal yang menganggu kenyamanan kita. Entah itu suara bising, entah itu karena anak tidak nurut, dan lainnya. Yang pasti bukan untuk kebaikan anak-anak kita. Tidak cukup penjelasan. Anak juga perlu untuk tahu bahwa setiap kesalahan yang terjadi, maka pintu maaf pasti akan diberikan.
Mengapa anak-anak kemudian menjadi liar di jalanan? Salah satu penyebabnya adalah karena mereka ‘takut’ untuk kembali ke rumah. Anak-anak merasa lebih baik melampiaskan kekesalan dan perasaan bersalah mereka di luar. Dengan teman-teman yang juga mengalami hal yang sama. Rumah tidak lagi menjadi tempat untuk mereka mengadu. Rumah tidak lagi membuka pintu untuk maaf.
Saya paham betul. Saya sangat takut jika ada kesalahan di luar yang saya perbuat. Karena ayah saya akan marah sekali, dan sayangnya saya hampir tidak pernah mendengar kata "saya memaafkanmu" keluar dari mulut ayah. Saya tidak menyalahkan ayah. Tapi saya sadar sesadar-sadarnya bahwa menjadi orang tua tidak mudah.
Bagi pengendara Lamborghini. Siapa pun dan apa pun yang telah Anda lakukan, jika kamu bertobat, selalu ada pintu maaf! Kiranya kejadian ini juga membuka mata kita semua – baik orang tua atau anak-anak – untuk tetap mawas diri. Mendekatkan diri pada Tuhan untuk senantiasa meminta hikmat dan perlindungan-Nya
---
Harus baca artikel ini juga:
Gugat Pengemudi Lamborghini: ‘Ketika Opini Publik Menjadi Pengadilan Jalanan!’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H