Lagi-lagi Mendel pernah menganalisa seorang anak yang ber-IQ tinggi dan tinggal dalam keluarga angkat yang IQ nya biasa-biasa saja. Dan hasilnya adalah, anak ini tetap memiliki kecerdasan tinggi namun tidak memiliki tingkat kepuasan (negatif) yang tinggi pula. Artinya anak ini tumbuh menjadi anak yang bisa memahami jika nilainya menurun. Tidak seperti anak-anak IQ tinggi yang hidup dalam keluarga aslinya (tidak terlalu signifikan tapi ada perbedaan).
Maka pola yang muncul dalam keluarga dekat sangat berpengaruh juga. Pengalaman kami menunjukkan hal tersebut. Ketika sebagai orang tua kami belajar untuk berdoa bersama. Dan mengakhirinya dengan berpelukan. Pola ini kemudian terekam oleh Deon. Maka berpelukan menjadi nilai nyata yang terlihat dan terekam dalam dirinya. Bahkan ketika Deon berantem dengan adiknya, selalu diakhiri dengan permintaan maaf dan berpelukan. Dan ternyata perilaku ini pun terjadi di sekolah. Deon terindikasi menjadi anak yang ‘caring’. Ketika ulang tahun ke-3 kami merayakannya di sekolah. Sederhana tapi mengharukan. Karena setiap anak yang memberi tangan untuk memberikan selamat ulang tahun, kemudian dipeluk dan tidak dijabat tangan.
Yup! Pola asuh dalam keluarga. Bagaimana kita berbicara dan bertindak akan direkam oleh anak-anak dan menjadi pola perilaku mereka. Kita melakukan pola ‘mirroring’. Apa yang kita lakukan pada anak adalah pola yang kita dapat dari keluarga kita dahulu.
Sadarkah kita hari ini kalau ‘cctv’ anak kita selalu aktif. Dia melihat, mendengar dan merekam semua yang kita lakukan. Baik kita saat di rumah atau saat kita berinteraksi diluar dengan orang lain. Dan suka atau tidak, kadang kita sebagai orang tua pun menganut pola asuh dari keluarga kita masing-masing. Entah mana yang dominan. Tapi kita ‘meniru’ orang tua kita sendiri.
Celakanya, kita tidak sadar bahwa tidak sepenuhnya yang kita dapatkan dari orang tua kita benar. Dan kita merasa itu normal-normal saja. Saya pernah mendengar anak-anak yang masih kecil berkata kotor kepada temannya. Atau anak-anak yang memperlakukan pembantu di rumah dengan sangat kasar. Terkadang terlihat seperti tidak ada sopan santun. Darimanakah mereka memperoleh semua nilai-nilai tersebut. Kita bisa jawab sendiri.
3. Faktor Agama
Siapa bilang agama tidak mempengaruhi masa depan anak-anak kita? Sebuah buku menuliskan bahwa apa yang Tuhan sudah ajarkan padamu, ajarkanlah itu kepada anak-anakmu dalam setiap waktu dan setiap saat. Supaya lanjut usianya di tempat yang Tuhan janjikan kepadanya.
Sayang sekali. Banyak orang memahami agama hanya sebagai ‘kata-kata’ nasihat yang tak ada isinya. Kepercayaan yang kita anut hanya berhenti dalam ritual tanpa menyentuh sebuah tindakan nyata. Dan anak-anak hanya melihat agama sebagai sebuah tuntutan moral dalam kewajiban asasi bernegara.
‘Example Explain Everything’ – ‘Contoh menjelaskan segalanya’. Adalah sebuah semangat yang harusnya kita bangun sejak dini. Doa yang kita naikkan pada Tuhan haruslah bernafaskan kasih. Bukankah yang utama dan terutama adalah kasihilah Tuhan Allahmu dan kemudian mengasihi sesama dan diri kita? Kasih tentu tidak menjadi ‘kasih’ jika tanpa tindakan, bukan? Ibadah kita pun seringkali kehilangan makna ketika anak diminta untuk berbohong atas nama kebaikan.
‘Bilang saja bapak tidak ada..!’ atau ‘Merokok itu tidak baik ya nak!’ *sambil asap rokok keluar dari mulut kita*.
Kita mengajarkan ibadah dalam kapasitas ‘do what i tell, but don’t do what i do!’ – lakukan apa yang kukatakan dan jangan lakukan apa yang kulakukan.
Anak-anak kita menerima kebohongan demi kebohongan dari orang tuanya. Dan pada saat yang sama, kita ‘membunuh’ masa depan mereka. Anak-anak menjadi anak yang mudah bersandiwara dan mengenakan topeng kebaikan.