Akhir-akhir ini banyak kejadian yang membuat kita terperangah. Dan kejadian ini melibatkan anak-anak yang lemah dan tak berdaya. Dari kisah anak Engeline yang masih dalam proses hukum hingga seorang anak di Jakarta yang tenggelam saat mengambil nilai renang di sekolahnya. Peristiwa-peristiwa tersebut dilatar belakangi dengan bermacam-macam modus atau alasan. Kekerasan dalam rumah tangga, kriminal (paedofil, dll), keteledoran orang tua atau lingkungan, dan banyak hal lainnya. Kita tidak akan membahas kasus-kasus yang terjadi, tetapi kita melihat bahwa anak-anak ini kehilangan masa depannya.
Dan sadarkah kita bahwa banyak anak-anak yang ‘mati’ (tidak secara fisik) dan kehilangan masa depannya. Anak-anak sulit belajar, suka marah-marah, atau anak-anak yang terlalu aktif hingga orang tua kehilangan daya untuk menanganinya.
Sebenarnya hanya ada 2 hal yang kita sebagai orang tua pahami. Pertama, sesuatu yang memang tidak bisa kita lakukan. Kita menyebutnya sebagai penentuan Tuhan. Bagian ini menyangkut kesadaran bahwa kita tidak mungkin dapat mengawasi anak-anak kita 24 jam. Dan kedua, adalah bagian kita sebagai orang tua menyelamatkan anak-anak kita sendiri (walaupun hal ini pun tetap dalam kendali dan penentuan Sang Khalik). Dan mengenali 3 hal ini dapat menyelamatkan masa depan anak-anak kita.
1. Faktor Genetik
Tahukah anda bahwa Tuhan memang menciptakan manusia dengan keunikan. Manusia lahir dengan genetika yang diturunkan. Tidak hanya dalam konteks medis, seperti diabetes, sakit jantung, dan lainnya. Namun juga sifat-sifat. Ingat bahwa seorang anak berasal dari kromosom orang tua mereka. Gregor Mendel seorang bapak Genetika modern melakukan penelitian terhadap hal ini. Dia melihat pola yang sangat mirip ketika seorang anak yang lahir ‘kembar identik’ – yaitu berasal dari satu sel telur (monozigot) – dan kembar terpusat (berasal dari sel telur terpisah atau dizigot). Penelitian memperlihatkan bahwa ada kemiripan perilaku yang lebih besar dari anak kembar identik dengan yang kembar terpusat.
Harus diakui bahwa teori hukum Mendel masih diperdebatkan, dan kita tidak akan membahas hal tersebut. Namun saya setuju jika kita perlu menyadari bahwa anak-anak kita memiliki modal perilaku yang diturunkan secara genetik. Kecenderungan IQ (Intellectual Quotient) yang tidak terpisah dari EQ (Emotional Quotient) menjadikan teori ini ‘masuk akal’. Orang dengan kecerdasan atau IQ tinggi cenderung memiliki tingkat keingin-tahuan yang tinggi. Dan ini menyebabkan anak tersebut selalu ‘tidak puas’ dan membuatnya sering khawatir.
Saya ingat sekali seorang anak yang bawaannya marah-marah saat nilainya turun. Padahal nilainya masih tergolong sangat tinggi dalam rata-rata kelasnya. Beberapa anak pintar lain kemudian seperti ‘terganggu’ dengan lingkungannya (cenderung menutup diri). Mereka menjadi sangat sensitive dengan ‘guyonan’ temannya atau perlakukan gurunya, yang sebenarnya masih dalam taraf kewajaran. Dan yang lebih menarik, kecenderungan itu juga muncul dari antara orang tuanya. Selalu ada yang dominan. Entah itu dari ayah atau ibunya.
Anak kami, Deon sudah menunjukkan gejala yang sama. Deon menjadi anak yang mudah cair dengan orang yang ia rasa aman untuk dia. Maka dia dapat dengan mudah bergaul ketika perasaannya mengatakan orang ini aman. Dan tentu itu mudah sekali terlihat dari diri saya. Perilakunya cenderung memilih teman (bukan dalam konteks ekonomi, warna kulit, dll). Dia pilih orang yang mana dia merasa aman. Ketika Deon menemukan orang tersebut, ia dapat dengan mudah terbuka dan bahkan sulit dipisahkan.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/11/05/image1-jpg-563ad34a747e61fb0622d54a.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Tapi ingat ini tidak mutlak 100% membentuk anak-anak kita. Ada faktor lainnya..
2. Faktor Kejiwaan
Inilah yang menjadi faktor berikutnya. Kadang kontroversi muncul ketika seorang anak yang tidak hidup bersama dengan orang tuanya. Maka anak ini akan berperilaku seperti yang diturunkan orang tuanya atau orang yang mendidik dia. Beberapa anak di panti asuhan misalnya. Atau single parent. Bagaimana dengan mereka. Inilah yang kita sebut fenotipe. Jika genetic adalah genotype, maka fenotipe adalah sebuah usaha untuk memperhatikan gejala perilaku anak melalui lingkungan terdekatnya. Siapa yang banyak memberikan pengaruh pada tumbuh kembang anak ini.
Lagi-lagi Mendel pernah menganalisa seorang anak yang ber-IQ tinggi dan tinggal dalam keluarga angkat yang IQ nya biasa-biasa saja. Dan hasilnya adalah, anak ini tetap memiliki kecerdasan tinggi namun tidak memiliki tingkat kepuasan (negatif) yang tinggi pula. Artinya anak ini tumbuh menjadi anak yang bisa memahami jika nilainya menurun. Tidak seperti anak-anak IQ tinggi yang hidup dalam keluarga aslinya (tidak terlalu signifikan tapi ada perbedaan).
Maka pola yang muncul dalam keluarga dekat sangat berpengaruh juga. Pengalaman kami menunjukkan hal tersebut. Ketika sebagai orang tua kami belajar untuk berdoa bersama. Dan mengakhirinya dengan berpelukan. Pola ini kemudian terekam oleh Deon. Maka berpelukan menjadi nilai nyata yang terlihat dan terekam dalam dirinya. Bahkan ketika Deon berantem dengan adiknya, selalu diakhiri dengan permintaan maaf dan berpelukan. Dan ternyata perilaku ini pun terjadi di sekolah. Deon terindikasi menjadi anak yang ‘caring’. Ketika ulang tahun ke-3 kami merayakannya di sekolah. Sederhana tapi mengharukan. Karena setiap anak yang memberi tangan untuk memberikan selamat ulang tahun, kemudian dipeluk dan tidak dijabat tangan.
Yup! Pola asuh dalam keluarga. Bagaimana kita berbicara dan bertindak akan direkam oleh anak-anak dan menjadi pola perilaku mereka. Kita melakukan pola ‘mirroring’. Apa yang kita lakukan pada anak adalah pola yang kita dapat dari keluarga kita dahulu.
Sadarkah kita hari ini kalau ‘cctv’ anak kita selalu aktif. Dia melihat, mendengar dan merekam semua yang kita lakukan. Baik kita saat di rumah atau saat kita berinteraksi diluar dengan orang lain. Dan suka atau tidak, kadang kita sebagai orang tua pun menganut pola asuh dari keluarga kita masing-masing. Entah mana yang dominan. Tapi kita ‘meniru’ orang tua kita sendiri.
Celakanya, kita tidak sadar bahwa tidak sepenuhnya yang kita dapatkan dari orang tua kita benar. Dan kita merasa itu normal-normal saja. Saya pernah mendengar anak-anak yang masih kecil berkata kotor kepada temannya. Atau anak-anak yang memperlakukan pembantu di rumah dengan sangat kasar. Terkadang terlihat seperti tidak ada sopan santun. Darimanakah mereka memperoleh semua nilai-nilai tersebut. Kita bisa jawab sendiri.
3. Faktor Agama
Siapa bilang agama tidak mempengaruhi masa depan anak-anak kita? Sebuah buku menuliskan bahwa apa yang Tuhan sudah ajarkan padamu, ajarkanlah itu kepada anak-anakmu dalam setiap waktu dan setiap saat. Supaya lanjut usianya di tempat yang Tuhan janjikan kepadanya.
Sayang sekali. Banyak orang memahami agama hanya sebagai ‘kata-kata’ nasihat yang tak ada isinya. Kepercayaan yang kita anut hanya berhenti dalam ritual tanpa menyentuh sebuah tindakan nyata. Dan anak-anak hanya melihat agama sebagai sebuah tuntutan moral dalam kewajiban asasi bernegara.
‘Example Explain Everything’ – ‘Contoh menjelaskan segalanya’. Adalah sebuah semangat yang harusnya kita bangun sejak dini. Doa yang kita naikkan pada Tuhan haruslah bernafaskan kasih. Bukankah yang utama dan terutama adalah kasihilah Tuhan Allahmu dan kemudian mengasihi sesama dan diri kita? Kasih tentu tidak menjadi ‘kasih’ jika tanpa tindakan, bukan? Ibadah kita pun seringkali kehilangan makna ketika anak diminta untuk berbohong atas nama kebaikan.
‘Bilang saja bapak tidak ada..!’ atau ‘Merokok itu tidak baik ya nak!’ *sambil asap rokok keluar dari mulut kita*.
Kita mengajarkan ibadah dalam kapasitas ‘do what i tell, but don’t do what i do!’ – lakukan apa yang kukatakan dan jangan lakukan apa yang kulakukan.
Anak-anak kita menerima kebohongan demi kebohongan dari orang tuanya. Dan pada saat yang sama, kita ‘membunuh’ masa depan mereka. Anak-anak menjadi anak yang mudah bersandiwara dan mengenakan topeng kebaikan.
Banyak hal yang tentu sangat mempengaruhi masa depan anak-anak kita. namun memahami 3 hal ini sedikit banyak dapat memberikan masukan bagi kita sebagai orang tua untuk menyelamatkan masa depan anak-anak kita..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI