Mohon tunggu...
Joy Manik
Joy Manik Mohon Tunggu... Mentor -

Seorang suami dari satu istri dan dua anak. Seorang mentor yang menyenangi buku dan musik. Seorang manusia yang berdosa sejak dalam kandungan. Dipilih oleh Allah sebelum dunia dijadikan. Ditebus oleh Kristus. Dan hidup dalam pemeliharaan Roh Kudus! - - 'i do what i think. and i think what i believe'

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Berhentilah 'Menjual' Anak Anda (Part 2)

23 Oktober 2015   10:16 Diperbarui: 23 Oktober 2015   14:51 21001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskusi keluarga ini cukup alot. Konon suami istri ini saling mengajukan keberatan. ‘Kalo saya gak kerja, terus saya ngapain?’ Sang istri bertanya. ‘Maksudnya?...’Bukankah nanti kamu akan cukup sibuk dengan merawat anak ini? Kalau kamu juga bekerja siapa yang jaga anak…?’sahut sang suami. ‘Tapi saya gak tahan kalo setiap hari seperti ini. Bete!’ Sang istri melanjutkan. ‘Ya, terserah kamu sih. Kamu pilih anak atau bekerja..’. Sang suami mengakhiri percakapan malam itu.

Mungkin kira-kira begitulah bunyi percakapan sebuah keluarga baru. Terdengar ‘familiar’?. Mungkin ya, mungkin juga tidak. saat sang buah hati lahir, pergumulan pun semakin berat. Pilihan sangat sulit. Sang suami merasa tugasnya hanyalah menghasilkan uang untuk ‘dapur’ keluarga. Dan menyerahkan tugas menjaga anak kepada istri. Sebaliknya sang istri merasa jaman ini tidak seperti jaman dulu yang tugasnya hanya di rumah.


1. Kuperlu Hadirmu…

‘Pah, kalo saya kerja, saya bisa dapat uang. Uang itu bisa kita pake untuk sewa babysitter, dan sisanya bisa kita tabung untuk sekolah anak-anak nanti..lumayan khan?’ atau…

‘Saya kerja online kok! Kan bisa sekalian jaga anak-anak dirumah..nanti kita bisa panggil guru les ke rumah untuk anak-anak..’.. atau…

‘Kita titip aja anak-anak ke rumah mamah ya. Saya yakin anak-anak senang dengan neneknya’. .. ‘pulangnya kita bisa gantian jemput’ atau…

‘Sekarang kan ada jasa penitipan anak…!’ ‘bagus kok!’ ‘anak kita bisa punya banyak teman sambil belajar juga,…’

Suara itu kerapkali muncul dalam interaksi dengan beberapa keluarga muda. Beberapa pasangan orang tua akhirnya memilih salah satunya atau keputusan yang lain. Apa ada yang salah dengan keputusan itu? Tentu tidak! Saya sadar kita butuh uang.
Hari-hari ini sulit sekali membentuk kelurga ideal. Hal itu bak mimpi di siang bolong. Dan isunya lagi-lagi kebutuhan. Kita butuh uang.

Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan apa yang akan terjadi di kemudian hari? Ya! Setiap keputusan pasti ada resikonya. Dan sayangnya, anaklah yang harus menanggung resikonya.
Beberapa anak berubah menjadi ‘anaknya mba/mbo’ (panggilan untuk babysitter).

Saya teringat kisah ketika seorang anak menjadi sakit saat suster yang biasa menjaga dia harus pulang kampung. Begitu sedih dan kehilangannya anak itu sehingga anak ini sakit. Beberapa anak memeluk suster mereka dengan erat saat sang ayah sibuk dengan Handphone-nya. Anak-anak lainnya justru memilih digendong kakeknya kala mengantuk dan menolak digendong oleh ibu mereka sendiri. Ibu yang melahirkan mereka.

Drama ini tidak berakhir disana. Drama seorang anak berteriak-teriak dan menangis memohon agar papahnya tidak pergi terus menjadi kisah sinetron yang tak pernah berakhir. Dalam drama lain terlihat seorang Papah harus berbohong dan berpura-pura mengambil barang di mobil agar dapat melepaskan genggaman anaknya dan ia dapat pergi. ‘Pah, pergi lagi?’…’Ma, kapan papah pulang?’ ‘Ma, adek kok main sama mba terus, kapan adek main sama mamah?’…

Teori ‘hari weekend’ adalah waktu untuk keluarga hanya menyisakan retorika belaka. Anak-anak bukan penjaga counter PLN yang kita datangi hanya setiap bulan. Anak-anak juga bukan seperti pacar yang kita ‘apel-in’ setiap minggunya. Anak-anak bahkan bukan seperti satpam rumah yang kita temui setiap harinya. Anak-anak membutuhkan kita setiap saat! Setiap waktu! Setiap detik! Hadirkah kita disana?

 

2. Saya sudah bayar!

Kami memiliki seorang pembantu rumah tangga panggilan. Dia datang seminggu 3 kali saja. Ibu ini sangat baik. Namun tentu juga banyak kelemahan. Kami selalu complain dengan hasil pekerjaannya. Entah pakaian yang dicuci dirasa kurang bersih hingga rumah yang dibersihkan seakan tetap kotor. Lalu kami coba memberitahu hal-hal apa saja yang perlu diperbaiki. Tapi tetap saja terulang lagi. Dan itu justru menambah beban kami. Kami membayar supaya beban di rumah lebih ringan. Beberapa kali kami saling mengingatkan. ‘Bersyukurlah, kalo gak ada mba ini kita tambah repot..’ Tapi itu tidak menolong kami. Hingga suatu ketika saya teringat ibu saya. Kok sepertinya dia gak jarang complain ya? Walaupun ada pembantu di rumah, ibu saya tetap sibuk membersihkan rumah. Dan kala itu beliau sempat berujar: ‘Ini kan rumah kita. Ya kita yang mesti tangung jawab donk! ‘Mba’ kan hanya membantu..’
Dulu saya sempat membantah ibu saya seraya berkata: ‘Kalo gitu ngapain bayar mba?’. Tapi sekarang saya paham. Posisinya jangan dibalik. Ini rumah saya. Untuk hasil terbaik, sayalah yang paling bertanggung jawab! Pembantu hanya memberikan tenaga ‘tambahan’ agar tugas kita lebih ringan. Bukan sebaliknya!’

‘Saya kan sudah bayar!’ demikian teriakan seorang ibu kepada guru sekolah saat anaknya tidak bisa mengikuti pelajaran yang diberikan. Orang tua lainnya berteriak: ‘Saya kan sudah bayar!’ kepada guru les yang mendampingi anak-anaknya les musik.
Tentu tidak salah jika kita sebagai orang tua menuntut hasil dari sekolah dimana anak-anak kita menuntut ilmu. Tapi apakah ini benar sepenuhnya. Kita cenderung ‘menyerahkan’ segalanya kepada pihak sekolah dan ‘mencuci tangan’ saat anak kita tidak semakin pintar. Bahkan beberapa orang tua yang menyerahkan anaknya ke gereja untuk dibina, dan merasa anaknya tidak menjadi baik, kemudian juga complain kepada gereja.

Ya! Sama seperti kisah pembantu kami di rumah. Kita seringkali berfikir terbalik. Kita menuntut hasil terbaik tanpa mau ikut bekerja ‘membersihkan’ rumah. Anda dan saya tanpa sadar berfikir bahwa anak ibarat se-gelondongan pohon besar yang bisa dimasukkan ke sebuah pabrik kayu dan kemudian menghasilkan kursi, meja, lemari yang indah. Kita tidak mau ambil pusing. ‘Saya kan sudah bayar!’, mana hasilnya!’. Apakah kita sedang ‘menjual’ anak-anak kita? Ada tertulis: ‘apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anakmu…’. Orang tualah yang memiliki peranan penting untuk mengajar anak-anak. Sekolah, gereja, dan guru-guru adalah satu bagian lain yang mendukung kemajuan mereka. Sebagai orang tua kita tidak bisa cuci tangan dan berharap orang lain yang bisa.

3. Anak-anak Gadget!

Saya sedang duduk di sebuah cafe sambil memperhatikan dua orang ibu sedang asyik ngobrol. Obrolan mereka terlihat sangat seru. Sampai-sampai cenderung agak ‘lebay’ (bagaimana tidak. Waktu mereka tertawa, hampir semua orang melihat kearah mereka..). ‘Heboh!’ mungkin kata yang tepat untuk mewakili kejadian itu. Namun mata saya kemudian terarah pada seorang anak (mungkin seusia anak saya Deon. 5 tahun) diantara mereka. Anak ini sangat baik. Dia tidak menganggu ibu mereka yang sedang asyik ngobrol. Dia hanya sibuk dengan iPadnya.

Tiba-tiba saya teringat seorang teman saya pernah bilang begini. ‘Kalo gak mau diganggu, kasih aja iPad. Pasti dia diam..!’ . Entah mengapa. Tapi apa yang saya lihat di depan mata seakan nyambung dengan perkataan tersebut.
Anda mungkin bisa menebak kemana arah tulisan ini selanjutnya. Yep! Gadget, iPad, komputer menjadi obat penawar yang ampuh untuk meredam ‘keberingasan’ anak-anak kita. ‘Daripada ntar lari-lari terus, kasih iPad aja biar diam!’. Dan celakanya. Ketika anak-anak menikmati gadget itu, mereka cenderung tidak bisa lepas darinya. Dan orang tua menjadi tak berdaya.
Teknologi menolong kita. Tapi tidak seluruhnya. Teknologi bisa menjebak anak-anak kita bahkan menghancurkan anak-anak kita. Berapa anak remaja bertumbuh menjadi dingin. Mereka lebih suka berbicara dengan benda mati, daripada dengan manusia hidup. Belum lagi akses video porno, kekerasan, dan banyak hal negatif lainnya yang tersedia bebas untuk anak-anak kita.

Saya tidak tahu dengan anda. Tapi kami memperhatikan Deon, anak pertama kami. Kurang lebih 2-3 bulan kami membiarkan Deon bermain dengan iPad. Deon lalu tumbuh menjadi anak yang suka marah ketika sesuatu terjadi dengan gadget yang dia mainkan. Beberapa kali Deon suka menunda panggilan kala ia sedang menikmati permainan dalam iPad tersebut. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk mengurangi intesitasnya dengan iPad. Deon hanya boleh bermain iPad hari sabtu dan minggu saja. Itu pun dengan perjanjian waktu yang kami setujui bersama. (paling lama 2 jam saja). Dan sejak saat itu Deon mengalami perubahan signifikan. Tapi tentu ada konsekwensinya. Ya! Kami berdua harus lebih banyak memberikan diri untuk bisa mengisi waktu bermain mereka. Awalnya sulit! Jujur saya katakan. sulit!

Baru saja mulai bermain, pikiran sudah tertuju pada pekerjaan. Belum lagi bunyi telefon yang berdering. Atau rasa letih karena aktivitas sepanjang hari. Atau seringkali hanya tubuh kita yang hadir disana, tapi tidak hati dan pikiran kita. Tidak mudah! Tapi saya teringat sebuah tulisan yang memberikan saya semangat dan motivasi. ‘Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka daripada Tuhan, dan buah kandungan adalah suatu upah…aku diajari ayahku katanya kepadaku: ‘Biarlah hatimu memegang perkataanku; berpeganglah pada petunjukku, maka engkau akan hidup’(prov 4:4).

‘Jangan jual anak anda’ pada gadget dan teknologi.

Jangan biarkan mereka menjadi anak-anak yang hanya eksis dengan instagram tapi lupa dengan foto jiwa mereka sendiri.
Jangan biarkan mereka hanya update status di facebook namun hidup mereka tak pernah ‘up to date’ dalam keluarga.
Jangan biarkan mereka hanya selalu bertanya pada google hingga mereka lupa bertanya akan arti hidup mereka sendiri!
‘jangan jual anak anda pada siapapun atau apapun’, karena saat anda menjualnya, anda mungkin tidak dapat membelinya kembali!

Suatu kali anak-anak kita akan pergi bak seekor anak rajawali yang mampu mengepakan sayapnya sendiri. Ia akan terbang meninggalkan sarangnya. Demikian suatu kali anak-anak kita akan pergi dan hanya tersisa anda dan pasangan anda. Dan saat itu anda hanya bisa membuka buku ‘album kenangan’. Dan betapa sedihnya saat kita baru menyadari ternyata buku itu kosong..

Hari ini jika anda membaca artikel ini. Hampiri anak anda. Peluk dan katakan maaf padanya. Simpan handphone dan tinggalkan komputer anda. Hampiri anak anda dan bermainlah dengannya. Tidak perlu menunggu hari sabtu atau minggu. Sekarang juga. Hadirlah bagi mereka. Anak-anak sedang menunggu anda!
Ingatlah bahwa kesempatan tak’kan terganti, sesal tak’kan terhindari. Jika kita tak mau memberi diri, mereka akan hilang tak kembali.
Anakku engkau yang kukasihi, kiranya cintaku menjadi mahkota hidupmu!
Berhenti ‘Menjual’ Anak Anda!

‘Bahkan burung pipit telah mendapat sebuah rumah, dan burung layang-layang sebuah sarang, tempat menaruh anak-anaknya. (psalm 84:3)

‘Berbagi hidup, menata cinta demi sebuah harapan akan masa depan indah bagi anak-anak kita kelak!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun