Review FIlm "Everything Everywhere All at Once"
Judul film: Everything Everywhere All at Once
Sutradara: Daniel Kwan, Daniel Scheinert
Penulis Naskah: Daniel Kwan, Daniel Scheinert
Produser: Anthony Russo, Joe Russo, Mike Larocca, Dan Kwan, Daniel Scheinert, Jonathan Wang, Michelle Yeoh
Pemeran:
Michelle Yeoh sebagai Evelyn Quan Wang
Stephanie Hsu sebagai Joy Wang/Jobu Tupaki
Ke Huy Quan sebagai Waymond Wang
James Hong sebagai Gong Gong
Jamie Lee Curtis sebagai Deirdre Beaubeirdre
Tallie Medel sebagai Becky Sregor
Perusahaan Produksi: A24
Tanggal Rilis: 11 Maret, 2022 (SXSW); 25 Maret, 2022 (Amerika Serikat)
Durasi: 140 Menit
Genre: Dark Comedy, Science Fiction, Fantasy, Martial Arts Film, dan Animation.
Rating IMDb: 8.5/10
Negara: Amerika Serikat
Bahasa: English, Cantonese
Batasan Usia: 13+
Distributor: A24
Saya ingin memulai ulasan ini dengan mengatakan bahwa jika saya adalah seorang presiden, saya akan sepenuhnya mewajibkan semua warga negara saya untuk menonton film ini dan menganggap pekerjaan saya sepenuhnya telah beres. Film ini dapat menjelaskan tentang trauma antargenerasi, perubahan pola dan norma sosial antargenerasi sekaligus memberikan antidot untuk nihilisme, sinisme, dan pesimisme yang kebanyakan dialami oleh generasi muda dan disalahpahami oleh generasi diatasnya. Bayangkan saja jika suatu bangsa secara kolektif memahami konsep cinta, kebaikan, dan pantang menyerah, terdengar klise memang, tapi bukankah hal itu akan membuat dunia ini sedikit lebih tertahankan? Mungkin saya berjalan terlalu cepat disini, biar saya jelaskan.
Everything Everywhere All at Once mengangkat kisah seorang wanita bernama Evelyn yang menjalani kehidupan penuh tekanan dimana dia menangani bisnis binatu keluarga yang diaudit oleh IRS (badan federal Amerika Serikat yang mengawasi pengumpulan pajak). Di gedung IRS, suami Evelyn, Waymond, dikendalikan dari jarak jauh oleh alpha-Waymond dari alam semesta paralel dan memberi Evelyn perangkat untuk melompat ke pikiran Evelyn dari realitas lain.
Setelah itu, kita dikenalkan oleh kekuatan jahat yang ingin menghancurkan segalanya bernama Jobu Tupaki, putri Evelyn, yang bernama asli Joy, dari alpha-verse. Dikatakan bahwa Evelyn adalah satu-satunya yang bisa menghentikannya karena Evelyn versi ini menjalani versi terburuk dirinya di seluruh multiverse. Oleh sebab itu, dia dapat menarik kekuatannya dari banyak alam semesta untuk menjadi kekuatan yang lebih hebat dari Jobu Tupaki.
Lantas, Evelyn melompat-lompat dari berbagai realitas lucu hingga dia menjadi seperti Jobu--seseorang yang tidak peduli lagi. Akhirnya, Waymond memberi tahu Evelyn bahwa satu-satunya cara untuk bertarung adalah dengan kebaikan. Dengan bantuan dari semua orang, Evelyn dapat menyelamatkan Jobu dari menghancurkan dirinya sendiri dengan berjalan ke dalam kehampaan.
Terdengar sedikit rumit memang namun saya berjanji, multiverse "Doctor Strange" tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan ini. Yang membuat film ini spesial dari film multiverse lainnya adalah esensi dari film ini. Alih-alih menekankan perihal perang multiversal secara literal; visual dalam film ini hanyalah sebuah pipa semata yang mewakili kekacauan di kehidupan yang nyata.
Seperti yang dapat Anda bayangkan, film ini berbicara mengenai perjalanan mencari makna dalam hidup, bagaimana cara mencintai seseorang tanpa syarat, dan membiarkan mereka pergi. Film ini tidak malu-malu dalam menggambarkan lika-liku perjuangan hidup sebagai kaum minoritas kelas menengah ke bawah, menjelaskan proses bagaimana seseorang dapat menyadari betapa hampanya dunia ini sampai-sampai ingin mengakhiri segalanya, sekaligus menunjukkan bagaimana jadinya bila kita hidup sebagai versi terburuk dan juga versi terbaik dimana kita dapat memenuhi semua potensi diri. Ya memang seperti yang saya jelaskan, film ini berbicara tentang segala hal mulai dari A-Z, maka dari itu judulnya adalah Everything, Everywhere All At Once.
Sekarang mari kita bicara tentang vibes secara umum yang akan Anda alami saat menonton ini. Film ini kemungkinan akan terasa berantakan dan membingungkan di paruh pertama karena memang mereka masih perlu menjelaskan tentang karakter dan dunia di film tersebut (chatacter and world building) tetapi di paruh terakhir, film ini akan benar-benar masuk akal dan mempengaruhi Anda baik secara emosional maupun filosofis. Maka dari itu, Anda harus bersabar pada satu jam pertama film ini dan berikan mereka kesempatan untuk menjelaskan semuanya.
Banyak sekali metafora eksentrik yang disuguhkan pada berbagai adegan di film ini mulai dari Everything Bagel, stiker mata googly, jari-jari sosis dan masih banyak lagi yang mungkin belum tentu bisa anda pahami secara 100% dalam sekali tonton. Meskipun begitu, selalu menyenangkan untuk menonton film ini untuk kedua atau bahkan ketiga kalinya. Oleh sebab itu, tidak kaget bila kita dapat menjumpai banyak sekali video esai yang berusaha menjelaskan dan membedah film ini di YouTube.
Menonton film ini bukan hanya sekedar hiburan semata; melainkan adalah sebuah pengalaman berharga. Oh, saya akan melakukan apapun jika itu berarti saya dapat menonton film ini untuk pertama kali. Saran saya, bawalah tisu yang banyak. Anda akan memerlukannya.
Film ini merupakan paket lengkap mulai dari musik original (score) yang mengkomplemen secara harmonis, sinematografi yang estetis, skenario dan dialog yang memukau ditambah taburan humor yang menyegarkan, penampilan akting kelas dunia dari para pemainnya, sampai dengan efek visual dan juga editing yang memikat.
Tahukah Anda bahwa VFX film ini hanya dikerjakan oleh 5 orang saja? Film ini tentu, menantang ekspektasi mengenai apa yang bisa dilakukan oleh pembuat film independen. Memang film ini sangat ambisius dan berani mulai dari konsep ceritanya sendiri hingga eksekusinya.
Untuk mengakhiri ulasan ini saya berkesimpulan bahwa jika Anda adalah tipe orang yang hanya menonton satu film dalam setahun, Anda tidak akan menyesal telah menghabiskan 140 menit untuk menonton film ini. Ini adalah film yang wajib Anda tonton. Singkat kata, saya berani bertaruh bahwa Everything, Everywhere All at Once akan memenangkan Oscar for Best Picture jika tidak, pasti banyak orang di seluruh dunia yang geram pada The Academy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H