Kutipan tokoh pribumi dalam novel Cantik Itu Luka memperlihatkan seolah perbudakan seksual bukan lagi hal yang tabu untuk dilakukan pada masa itu. Tidak sedikit dari wanita yang dijadikan gundik seorang lelaki Belanda melahirkan anak dan hal ini  terjadi pula pada tokoh gadis pribumi bernama Ma iyang. Ia gadis belia yang terpaksa menjadi gundik demi keselamatan dan keamanan hidup orang tuanya hingga akhirnya ia melahirkan seorang bayi perempuan bernama Dewi Ayu selaku tokoh utama dalam novel ini. Eka Kurniawan ingin menyampaikan bahwa nasib dari anak-anak pada zaman sejarah bangsa Indonesia menjadi korban dari kekuasaan dan kutukan karma yang terbelenggu nestapa. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
 "Kemana kau pergi?"
"Ke rumah Tuan Belanda."
"Untuk apa? Kau tak perlu jadi jongos orang Belanda."
"Memang tidak," kata si gadis. "Aku jadi gundik. Kelak kau panggil aku Nyai Iyang."
"Tai," kata Ma gedik. "Kenapa kau mau jadi gundik?"
"Sebab jika tidak, Bapak dan Ibu akan jadi sarapan pagi ajak-ajak."
Melalui alur novel Cantik Itu Luka, disajikan bagaimana sejarah dari kejayaan Belanda yang berakhir tepat saat ia menyerah di Kalijati dan menyerahkan kekuasaan halimunda sepenuhnya ke tangan Jepang. Akibat dari hal inilah yang menjadi awal malapetaka yang akan dialami tokoh Dewi Ayu, karena ia adalah wanita berdarah keturunan Belanda satu-satunya yang tersisa dari keluarga Stammler. Rombongan truk militer Jepang membentang sepanjang jalan untuk mengangkut tokoh Belanda yang tersisa. Apesnya tampilan fisiknya sempurna menyerupai wanita Belanda meskipun nama yang disandangnya lokal pribumi karena inilah yang mengharuskannya untuk dibawa ke Bloedenkamp tahanan milik tentara Jepang. Di tempat inilah Dewi Ayu kehilangan keperawanannya demi menyelamatkan seorang wanita lanjut usia yang merupakan ibu dari Ola temannya.
"...Dewi Ayu telah melangkah berdiri di hadapannya hanya terpisah oleh meja."
 "Aku gantikan gadis yang tadi, Komandan. Kau tiduri aku tapi beri ibunya obat dan dokter. Dan dokter!"
Eka Kurniawan menjadikan Bloedenkamp ini sebagai latar tempat perlakuan bejat para tokoh tentara Jepang yang tidak memanusiakan perempuan sebagaimana mestinya. Perlakuan sadis tokoh tentara Jepang dalam novel ini digambarkan dengan mereka yang memerintahkan seluruh wanita tersebut menyebrangi sungai yang penuh buaya. Hal yang disampaikan di atas tersebut juga terdapat dalam kutipan novel.