Di bimbel saya belajar sebagian besar matematika, saya menghabiskan dua jam untuk menerima ilmu menyusahkan dari matematika, semua saya telan untuk mendapatkan nilai yang baik di sekolah. Setelah selesai belajar saya pun pamit kepada guru pembimbing saya dan keluar dari pintu bimbel. Ketika saya keluar dari pintu bimbel semua yang saya hanya bisa bayangkan adalah "Waw, malemnya bagus banget. Damai damai..." Malam memang sebuah saat dimana saya bisa lebih menghargai hidup, karena memang pemandangan malam sangat indah bagiku. Dicampur dengan warna lampu jalan yang berwarna oren kekuningan yang memberi unsur artistik yang menyegarkan.
Oh betapa hidup ini indah. Dalam sepanjang jalan pulang saya bisa menghirup kehidupan yang indah ini, pemandangan malam yang indah, udara sejuk dari sejuknya malam ini, lampu jalan, keseruan mengendarai sepeda, pohon pohon yang terdapat di sepanjang jalan, semua itu saya sungguh cintai dan berhasil mendorong rasa terima kasih dan rasa nyaman di dalam benak pemikiran saya. Sesampai di jalan umum saya bisa melihat seluruh sihir mukjizat Tuhan, orang orang beraktivitas, gedung gedung yang terang dan beroperasi, mobil dan motor yang cepat, semua itu sungguh bagian indah dari yang namanya era modern.
Akan tetapi, seperti yang mereka katakan, tak semua hal selalu indah. Benar, tak semua kehidupan akan selalu indah, semua memiliki waktunya masing masing. Semua hal harus datang kepada sebuah akhir, bahkan yang indah, dan hal tersebut terbang bagai angin kedalam rumah tanggaku pada malam ini. Memang sungguh menyedihkan dan sayang, akan tetapi begitulah hidup ini. "All things must pass" Itulah pepatah dari George Harrison, salah satu anggota dari band paling legendaris yaitu The Beatles.
Yang berarti semua hal harus berakhir, bagai sang surya terang, itupun harus berakhir. Sesampai dirumah saya langsung memesan makanan dari GrabFood, saya sangat menyukai ayam geprek dan Indomie, akan tetapi saya teringat perkataan ibu saya "Makan yang sehatan, jangan yang ga jelas... mami udah kasih duit, pake yang bener." Ibuku setiap dua minggu memberikan aku Rp.200.000 untuk berbelanja makanan dari GrabFood. Ibuku tak ingin aku membeli makanan yang tidak sehat, ia menginginkan aku membeli makanan yang cukup sehat, walaupun harganya agak mahal sedikit. Ia menginginkan aku tumbuh menjadi anak yang lebih sehat, walaupun fisik saya tetap segini saja, pendek.
Oleh karena itu saya memesan ayam bakar dengan tempe, tahu, dan lalapan. Harganya memang agak lebih mahal daripada geprek dan Indomie, akan tetapi lebih sehat dan enak. Memang perkataan ibu jarang sekali melenceng. Aku memakan makanan malamku dengan lahap, dan lalu meminum air putih. Setelah aku selesai aku mencuci piring dan membuang sampah, ya memang itulah tugas keseharian ku. Setelah selesai saya pun bermain dengan handphone sebentar, semua orang memerlukan istirahat yang menyerukan.
Saat jam menunjukkan pukul 19:00 ibuku sampai dirumah. Saya keluar menyambutnya, saya selalu merindukan kedatangan ibuku setiap hari. Akan tetapi saya kebingungan, ibuku biasanya pulang bersama ayahku. Saat ia memasuki gerbang rumah, saya langsung membantu dengan bawaannya, memang sungguh ibuku adalah seorang ibu yang tangguh. Ia duduk di sofa, dan lalu saya bertanya "Mih, papih kemana? Kok ga sama mamih pulangnya?"
Dan ia menjawab "Tau tuh bapak kamu." Saya bingung sebentar, dan bengong, di dalam benak saya "Napa sih, waduh jangan jangan..." Yap, semua hal harus berakhir, begitu juga rumah tanggaku. Aku menangis didalam, aku berteriak didalam, aku menyesal didalam, aku sakit didalam, aku jatuh didalam. Ternyata hal itu terjadi lagi, sebuah siklus yang selalu berjalan dari tahun ke tahun, runtuhnya rumah tangga saya. Sebuah kekokohan yang telah dibangun dari waktu ke waktu, kekeluargaan yang kokoh, semua runtuh dalam sekejap.
Semua hal hal indah yang kami akan lakukan bersama, semua akan berhenti untuk kurun waktu ini. Persatuan yang indah dan terang, hancur bagai tikus politik di dalam dunia politik yang damai, menciptakan kerusakan. Dan hal yang paling membuatku sedih, saya harus berpindah pindah orangtua. Sebuah hal yang sangat kubenci, kubenci dengan segenap jiwaku dan emosiku. Bagai dunia ini terpecah belah. Aku teriak di dalam pikiranku. "Kenapa begini terus sih, aduh kapan bisa kayak keluarga yang lain.
Sial lah." Impian memang kadang bisa menjauh sekejap, impian bisa menjadi mimpi buruk yang meludahi di muka ku. Akupun bertanya kepada ibuku "Mih, kok gini terus sih, gimana sih." "Tau bapak kamu, perutnya sendiri. Dia berantem sama orang dijalan." Sekejap rasa kaget muncul, dan lalu perlahan lahan rasa benci mendatang. Ya benar rasa benci, aku berpikir kenapa hubungan keluarga ini rusak di tangannya selalu.
Kenapa selalu ayahku yang menciptakan kerusuhan di dalam segala hal, padahal kalau ayahku bisa menahan dirinya pastinya semua hal akan baik baik saja. Kenapa ia harus bersikap egois dan keras kepada segala situasi. Aku memang bisa menerima fakta bahwa seluruh hidupnya ia diterjang oleh kekerasan dan kerusuhan, akan tetapi rasa simpatis saya hilang sekejap.
Rasa kebencianku mendominasi diriku, rasa benci tersebut bagai sebuah api membara yang melahap segala kebaikan disekitar, sebuah kebencian yang setajam pisau yang dapat memotong berlian, sebuah rasa benci yang memerlukan Tuhan untuk menghentikannya. Aku tahu pemikiranku salah, akan tetapi rasa benci akan kebocahannya mematikan pemikiran rasional ku.