Mohon tunggu...
Jovan.A.R.
Jovan.A.R. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah UI

Anak Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jonestown, Surga dan Neraka di Guyana

1 Mei 2023   23:22 Diperbarui: 11 Mei 2023   16:01 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto James Warren Jones atau Jim Jones (Sumber: www.britannica.com)

*Artikel ini diperuntukan untuk orang berumur 18 tahun ke atas

James Warren Junior atau lebih dikenal dengan nama Jim Jones lahir di negara bagian Indiana, Amerika Serikat pada tahun 1931. Jim Jones lahir di keluarga yang jauh dari kata sejahtera maupun harmonis. Ayahnya, James Thuram adalah veteran Perang Dunia Pertama yang mengalami disabilitas, Oleh karena itu, kehidupan keluarga dinafkahi oleh Lynetta, ibu dari Jim. Hubungan antara James Thuram dan Lynetta cukup renggang dan hal ini mendorong Lynetta melakukan perselingkuhan. Masa kecil yang cukup keras berpengaruh pada kepribadian Jim Jones. Jeff Guinn, penulis buku The Road to Jonestown: Jim Jones and Peoples Temple, menuturkan bahwa Jim Jones adalah anak yang nakal dan berlainan dalam kehidupan sosial.  Misalnya, ketika Perang Dunia Kedua berlangsung, anak-anak sebayanya tertarik pada kostum tentara Amerika Serikat. Jim justru tertarik dengan Nazi Jerman yang merupakan musuh Amerika Serikat dalam perang. Sebenarnya Jim tidak begitu percaya dengan Tuhan, namun tertarik untuk menjadi pendeta. Ia penganut paham sosialisme dan penjunjung kesetaraan ras. Kedua ide tersebut adalah paham yang tidak begitu diterima mudah di masyarakat Amerika pada masa itu. Apa hubungannya dengan agama? Jim melihatnya sebagai alat untuk menyebarkan pemahaman yang ia anut, walaupun nantinya, ia tidak mengamalkan kedua hal itu dalam kehidupan sehari-hari. Minat Jim terhadap agama tidak pudar, bahkan ketika sudah mengenyam bangku perguruan tinggi.

Pada tahun 50-an, Jim Jones menjadi pendeta di Indianapolis. Ia mendirikan gereja Peoples Temple di tahun 1955. Gereja tersebut memang masih berusia muda, namun sudah mampu memikat dan memiliki banyak jemaat, terkhususnya dari orang kulit hitam. Peoples Temple tidak memisahkan jemaat berdasarkan warna kulit, berbeda dengan gereja-gereja lain di Amerika yang masih kental dengan segregasi ras. Ditambah dengan faktor Jim memiliki kemampuan persuasif yang baik serta khotbah yang dipimpin Jim meliputi penyembuhan langsung yang bersifat massal dan selalu bertema keadilan sosial. Sebelum mendirikan Peoples Temples, Jim menikahi Marceline Baldwin. Pasangan tersebut memiliki banyak anak, namun hanya satu yang merupakan anak biologis, yakni Stephan Gandhi Jones. Demi menjunjung kesetaraan ras, Jim dan Marceline mengadopsi anak-anak non-kulit putih. Salah satunya adalah seorang anak kulit hitam bernama Jim Jones Jr. Diketahui juga kalau Jim dan Marceline Jones adalah pasangan kulit putih pertama di kota Indianapolis yang mengadopsi anak kulit hitam.

Pada tahun 1965, Jim Jones memindahkan gerejanya ke Ukiah, California. Pemindahan ke negara bagian baru dilandasi dengan anggapan California bisa lebih mampu menopang aktivitas Jim dibanding di kampung halamannya, Indiana. Keputusan pemindahan merupakan hal yang tepat sebab Peoples Temple jauh lebih berkembang di sana sebab secara sosio politik, California adalah negara bagian yang liberal. Didorong dengan situasi pada tahun 60-an di Amerika, dimana aliran liberal berada di puncaknya. Hal ini sesuai untuk pertumbuhan Peoples Temple yang dapat dikategorikan sebagai gereja liberal di masanya. Jumlah pengikut Peoples Temple semakin meningkat tiap waktu, terkhususnya orang kulit hitam. Bahkan mayoritas jemaat Peoples Temple adalah orang kulit hitam. Fenomena ini terjadi karena ketiadaan sosok pelindung kulit hitam setelah pembunuhan Martin Luther King Jr di tahun 1968. Peoples Temple tidak hanya sukses dalam menarik minat dan dukungan dari masyarakat umum, Jim bisa memperoleh hubungan dengan orang-orang pemerintahan, pers, aktivis sosial, dan pihak-pihak penting dalam masyarakat. Ia dilihat sebagai sosok dermawan, karismatik, dan segala sifat yang manusia nilai sebagai perbuatan yang jauh dari dosa. Peoples Temple membantu membangun masyarakat, misalnya dalam hal sumbangan. Namun, citra baik Jim Jones dan gereja yang ia dirikan tidak berlangsung selamanya setelah terkuak sisi gelapnya.

Perilaku Jim Jones dalam lingkungan Peoples Temple berbanding terbalik dengan apa yang ia lakukan di depan umum. Jim Jones adalah orang yang eksploitatif, manipulatif, gila, narsis dan penipu.  Jemaat -jemaat Peoples Temple harus tunduk sepenuhnya dengan Jim Jones. Siapa yang melawan bisa celaka. Tak sedikit pengikut yang membelot dari Jim berakhir mengenaskan. Hal ini juga menyebabkan Jim bisa dengan mudah menyuruh para jemaatnya untuk melakukan hal-hal yang tidak wajar seperti disuruh adu tinju satu sama lain atau menyuruh beberapa jemaat, terkhususnya perempuan, untuk melakukan hubungan seksual. Kehidupan Jim Jones sangat jauh dari kehidupan yang seharusnya dilakukan oleh pendeta atau pemuka agama. Ia adalah maniak seks (termasuk seks sesama jenis) sekaligus pecandu narkoba. Banyak yang menilai kalau sikap-sikap Jim Jones yang di luar nalar terjadi karena ia sedang dalam pengaruh narkoba. Dampak kecanduan yang paling tampak dalam Jim Jones adalah paranoid. Hal ini akan berpengaruh ke depannya. Beberapa mantan jemaatnya menuturkan bahwa praktik penyembuhan massal Jones hanyalah rekayasa. Misalnya, ketika ada jemaat yang mengaku sakit lalu sembuh ketika “disembuhkan” Jones, hal itu hanyalah tipuan sebab jemaat itu sudah diperintahkan oleh Jones. Leslie Wagner Jones, mantan jemaat Jonestown, berkata dalam sebuah wawancara bahwa praktik “penyembuhan” itu sangat ampuh bagi jemaat lanjut usia. Biasanya mereka adalah kelompok umur yang lebih mudah terkena penyakit ditambah sudah dicuci otaknya oleh Jim.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, motif utama Jim Jones menjadi pendeta adalah untuk menyebarkan ideologinya. Urusan benar salahnya isi khotbah bukanlah hal utama, bahkan tidak jarang ia menyampaikan khotbah yang isinya melawan ajaran Kekristenan. Menurut kesaksian Jeanine Mills dalam bukunya berjudul Six Years with God: Life Inside Reverend Jim Jones's Peoples Temple, dalam satu sesi ibadah, Jim menyatakan secara eksplisit bahwa Alkitab versi Raja James adalah buku yang tidak benar karena disusun oleh orang yang pro perbudakan. Mills juga menuturkan bahwa pernah dalam suatu acara, salah satu jemaat menyanggah apa yang dibicarakan Jim. Seperti sekte pada umumnya, orang itu beserta keluarganya dibuang oleh Jim. Kegilaan-kegilaan yang dilakukan Jones tidak mengikis kepercayaan beberapa jemaatnya yang setia. Hal yang tergila tetap dilakukan mereka demi Father (Sebutan terhadap Jim Jones oleh jemaatnya).

Menurut kesaksian orang-orang yang berhubungan dengannya, Jim tidak mengamalkan paham sosialisme dan kesetaraan ras dalam kehidupannya. Gaya Hidup Jim lebih dekat dengan kaum kapitalis dibanding kaum sosialis. Hal-hal duniawi seperti kekayaan dan nafsu sangat lekat dengan Jim dan orang-orang terdekatnya. Uang yang dihasilkan dalam gereja juga dipakai untuk ‘membeli’ pengaruh dalam masyarakat. Dalam hal kesetaraan ras, orang-orang terdekat Jim Jones, yakni pengurus atau petinggi Peoples Temple, diisi oleh orang kulit putih. Hal ini sedikit aneh mengingat orang kulit hitam adalah demografi terbesar jemaat Peoples Temple. Konon, Jim Jones sering mengeluarkan ucapan rasis kepada orang kulit hitam, termasuk ke Jim jr., anak angkatnya.

Jim Jones telah menciptakan lingkungan gereja yang beracun. Lingkungan dalam gereja penuh dengan para jemaat yang sudah terhipnotis atau mereka yang terpaksa ikut karena ancaman dari Jim dan bawahan-bawahannya. Maka, tidak sedikit jemaat Jim Jones yang meninggalkan Peoples Temple. Salah satunya sekaligus yang paling sering disebut adalah pasangan suami istri Tim dan Grace Stoen. Mereka bergabung dengan Peoples Temple di tahun 1970. Grace sempat menjadi pemimpin dalam gereja dengan tanggung jawab di bagian finansial. Tahun 1976, Grace berhenti mengikuti Jim Jones, sedangkan suaminya sudah terlebih dulu keluar. Keduanya tidak hanya mengundurkan diri, namun juga berusaha melawan Jim Jones. Permasalahan terletak pada putra mereka, John Victor Stoen. Hak asuhnya dipegang oleh Jim. Keduanya ingin merebut kembali hak asuh John Victor, apalagi setelah melihat kegilaan Jim Jones. Permasalahan pasangan Stoen dan mereka yang berposisi sama (pembelot) adalah pengaruh Jim yang kuat dalam masyarakat. Cerita sisi gelap Jim Jones dapat mudah dikubur. Misalnya, pada tahun 1973, Jim ditangkap atas perilaku cabul. Tidak dalam waktu yang lama, ia dibebaskan dan cerita tentang penangkapan bisa ditutupi dari publik. Selain itu, Jim Jones memiliki semacam pasukan yang bersedia mengerjakan hal-hal kotor. Misalnya, salah satu pembelot bernama Bob Houston meninggal secara misterius di tahun 1976. Ada kecurigaan kalau Bob itu dibunuh atas suruhan Jim Jones. Pergumulan para pembelot tidak berlangsung lama. Pada tanggal 1 Agustus 1977, jurnalis Marshall Kinduff dan Phil Tracy merilis artikel berjudul Inside Peoples Temple terbit di majalah New West. Cerita-cerita Stoen dan orang-orang yang senasib disebarkan ke publik. Kinduff dan Tracy punya peran vital untuk nasib Peoples Temple ke depannya. Pertama, mereka adalah jurnalis pertama yang mampu menyuarakan kebobrokan Peoples Temple secara luas, dimana sebelumnya, media massa enggan untuk mempublikasikan berita-berita tentang sisi hitam Peoples Temple. Kedua, artikel dari Kinduff dan Tracy mendorong Jim mengambil keputusan yang besar terkait masa depan Peoples Temple.

Kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki Jim Jones belum mampu mendorongnya untuk hidup tenang. Ditambah dengan sikap paranoid akibat penggunaan narkoba, Jim selalu berpikir dia akan dibunuh oleh CIA, badan intelijen Amerika Serikat. Ia berpendapat kalau tokoh-tokoh seperti John Kennedy dan Martin Luther King dibunuh karena gerak-gerik mereka tidak disukai CIA. Jones melihat sosoknya sama dengan kedua tokoh itu. Sejak waktu yang lama, Jim sudah terpikir untuk mendirikan ‘utopianya’ di negara lain, terkhususnya negara yang menganut paham komunisme atau sosialisme. Lokasi yang menurutnya tepat untuk mendirikan ‘utopianya’ adalah Guyana sebab negara di Amerika Selatan itu memenuhi kriterianya. Secara demografis, Guyana adalah negara mayoritas kulit hitam sekaligus negara berbahasa Inggris ditambah dalam hal politik, Guyana adalah negara sosialis. Peoples Temple juga sudah melakukan komunikasi dengan pemerintah Guyana. Jim Jones beserta pengikutnya diperbolehkan oleh Georgetown (ibukota Guyana) untuk mendirikan koloni di sana. Izin tersebut diberikan oleh pemerintah Guyana untuk kepentingan territorial mereka. Peoples Temple akan menetap di dekat Port Kaituma, sebuah wilayah itu terletak di Guyana bagian barat. Venezuela, negara tetangga Guyana bagian barat, selalu mengklaim wilayah barat Guyana sebagai bagian darinya. Dengan kehadiran kelompok Jim Jones di sana, Venezuela tidak akan terpikir mengambil atau mencaplok karena kalau ada apa-apa, mereka akan berurusan dengan pemerintah Guyana dan Amerika Serikat. Sejak tahun 1976, Jim sudah mengunjungi Guyana, terkhususnya Port Kaituma. Sedikit demi sedikit, jemaat Peoples Temple mulai pindah ke Guyana. Sejak rilisnya artikel dari New West, para pengikut Jim Jones berbondong-bondong meninggalkan Amerika Serikat. Pada bulan September 1977, Jim Jones dan setidaknya seribu pengikutnya sudah menetap di Guyana. Pemukiman baru itu diberi nama Jonestown. Bagaimana mereka bisa punya modal untuk pindah ke daerah yang cukup jauh dari California? Peoples Temple memiliki banyak uang. Sumber finansial berasal dari persembahan para jemaat dan mungkin hasil donasi dari organisasi maupun individu lain yang cukup berpengaruh dalam masyarakat.

Jim Jones menggambarkan pemukiman mereka di Guyana sebagai sebuah surga. Jonestown, tempat dimana mereka akan dekat dengan Tuhan dan juga tempat dimana ide sosialisme bisa berkembang. Para pengikut Jim Jones meninggalkan kehidupan mereka di Amerika untuk sebuah pemukiman di tengah hutan di Guyana. Jonestown tidak terletak di Port Kaituma. Sesampainya di sana, mereka perlu melakukan perjalanan darat selama beberapa jam. Port Kaituma berfungsi sebagai tempat transit jika ingin pergi via udara. Kehidupan di Jonestown seperti kehidupan di desa pada umumnya. Kehidupan sehari-sehari Jonestown diisi dengan kegiatan pemenuhan ekonomi seperti pertanian dan pengambilan sumber daya di hutan serta kegiatan ibadah. Namun, tidak semuanya berpikir hal yang sama tentang Jonestown. Jumlah anak-anak di sana juga banyak, baik merupakan anak kandung pengikutnya, maupun anak yang diadopsi. Alhasil, terdapat sekolah atau tempat Pendidikan bagi mereka. Banyak dari pengikutnya merasa senang setelah pindah karena sudah menemukan sebuah utopia. Tetapi, realitanya, tidak semua pengikutnya berpikir hal yang sama, karena mereka sadar kalau apa yang dijanjikan Jim Jones itu surga, sedangkan realitanya adalah neraka.

Jim Jones melakukan bermacam-macam eksploitasi di sana. Jim Jones bersikap layaknya tuan tanah yang jahat. Jim sangat mengharapakan para penduduk Jonestown untuk tunduk padanya. Siapa yang melawan atau dianggap tidak sepenuhnya taat, akan terkena hukuman berat seperti dipukul hingga meletakan ular di leher. Anak-anak dan orang tua tidak dikecualikan oleh Jim dalam hal hukuman. Terdapat praktik perbudakan di sana. Karena letak Jonestown yang terpencil, kebutuhan pangan bergantung pada pertanian. Menurut salah satu penyintas, kondisi lapangan sangat buruk. Para pekerja diperlakukan seperti budak, sedangkan Jim hampir tidak pernah turun ke lapangan. Ia sibuk dengan nafsunya atas seks dan narkoba. Mereka yang statusnya hanya pengikut Jim Jones hidup seadanya seperti makan makanan seadanya dan menempati rumah yang diisi puluhan orang. Jim Jones dan orang terdekatnya hidup lebih nyaman, terkhususnya dalam hal pangan dan papan. Dalam suatu waktu di malam hari, mereka terpaksa bangun untuk mengikuti simulasi dari Jim. Melalui pengeras suara, Jim akan mengatakan White Night secara berulang.  Jim Jones memiliki rencana untuk melaksanakan bunuh diri massal jika terjadi sesuatu yang dia rasa buruk. Simulasi White Night bertujuan sebagai semacam persiapan.

Sebagai sarana komunikasi, Jim Jones menempatkan salah satu orang pengikut setianya, Sharon Amos, di Georgetown. Dengan adanya Sharon di sana, Jim bisa tahu apa yang terjadi di luar sekaligus alarm jika ada ancaman yang datang. Sebagai kota terbesar di Guyana, tak jarang ada penduduk Jonestown sering singgah ke sana untuk berbagai urusan. Posisi Georgetown sebagai ibukota sudah pasti terdapat kedutaan besar berbagai negara. Dalam beberapa waktu, Jim sering singgah ke kedutaan negara-negara komunis. Tujuannya untuk mengurusi kepindahan mereka ke salah satu negara sebab Jim pun masih merasa Guyana belum aman.

Di sisi lain, mereka yang sudah tidak betah di Jonestown juga tidak bisa mudah kabur. Jonestown dijaga oleh pasukan bersenjata Jim Jones. Hampir semuanya memegang senjata api, dari pistol hingga laras panjang. Jika kabur, siap-siap mati karena sangat mungkin mereka dikejar dan ditembak di tempat. Sebenarnya ada yang pernah kabur dari Jonestown, tapi dibutuhkan perjuangan dan keberuntungan. Contohnya adalah Debora Layton. Ia bisa kembali ke Amerika Serikat setelah mendapatkan kontak Kedutaan Besar Amerika dan menghindar dari bawahan-bawahan Jim Jones yang sedang mencari. Layton. Kisah pelarian Layton mempengaruhi satu orang bernama Leo Ryan, anggota kongres negara bagian California.  

Leo Ryan dikenal sebagai politisi yang sering blusukan. Ketika ada sebuah permasalahan sosial, Ryan akan menelusuri tempat yang dimaksud untuk mencari jawaban. Dalam kasus Jonestown, Ryan diminta bantuan oleh sanak keluarga penduduk Jonestown. Mereka khawatir akan nasib kerabatnya, apalagi mereka datang ke Guyana dengan seluruh anggota keluarga. Tanggal 14 November 1978, Ryan beserta rombongannya terbang ke Guyana dengan tujuan untuk melihat apa yang terjadi sebenarnya dan jika mampu, membawa kembali pengikut Jim yang ingin pulang. Rombongan Leo Ryan terdiri atas sanak saudara pengikut Jim Jones, asistennya, dan reporter.   

Sesampainya di Guyana, rombongan itu tidak langsung pergi ke Jonestown. Mereka menginap di Georgetown selama tiga malam. Ryan sempat mengunjungi pusat panggilan Jim Jones. Di sana, ia bertemu dengan tim basket Jonestown yang pada minggu itu berada di Georgetown untuk bertanding melawan tim nasional Guyana. Tiga anak Jim Jones (Stephan, Jim Jr., dan Tim) berada di sana sebagai bagian dari tim basket. Kedatangan Leo Ryan diberitahukan Sharon kepada Jim Jones. Reaksinya tidak baik. Ia merasa semakin tersudut. Semakin waktu, ide bunuh diri massal semakin dekat ke realita. Bahkan, para pengikutnya yang ada di Georgetown sudah diberi pesan untuk mati jika waktunya sudah tiba. Tanggal 17 November, Leo Ryan dan beberapa orang yang bersedia beranjak ke Port Kaituma, kemudian menempuh perjalanan ke Jonestown dengan truk.

Rombongan Leo Ryan menetap selama semalam di Jonestown. Tentu saja Jones melakukan pencitraan pada hari itu. Sebelum kedatangan rombongan Leo Ryan, Jim memperingati bahwa kedatangan Ryan bukan untuk tujuan ‘baik’. Jim Jones juga menyuruh penduduk Jonestown untuk mengabaikan kegelisahan sanak keluarga mereka. Pada malam harinya diadakan “ibadah” yang juga dihadiri Ryan beserta kelompoknya. Dalam satu sesi, Ryan berbicara di atas panggung. Ryan sempat bergurau kalau dia adalah “orang jahat” dalam Jonestown saat ini. Para reporter melakukan wawancara kepada penduduk Jonestown, baik yang lanjut usia (lansia) hingga anak-anak. Jim Jones sendiri juga diwawancarai dan sering menekankan bahwa tidak ada masalah di Jonestown. Kedatangan Ryan ke Jonestown mengundang beberapa reaksi di sana. Ada yang skeptis, ada yang berprasangka buruk, dan ada juga yang memandangnya sebagai hal positif. Penduduk yang ingin keluar dari Jim Jones menyuruh salah satu dari mereka, Vernon Gosney, untuk memberikan daftar nama mereka ke Leo Ryan. Proses pengiriman memo penuh ketegangan, apalagi ketika Gosney menyadari bahwa orang yang menerima memo bukanlah Ryan. Untungnya, memo tidak berada di tangan yang salah. Daftar itu diterima oleh Don Harris, salah satu reporter yang dibawa Ryan. Pada akhirnya, Leo Ryan tahu siapa saja yang akan ia bawa kembali ke Amerika. Keesokan harinya, rombongan Leo Ryan meninggalkan Jonestown beserta 14-16 pembelot. Alasan jumlah defektor sedikit karena bukanlah keputusan mudah untuk meninggalkan Jim Jones. Sekalipun sudah ada jaminan dari Leo Ryan yang merupakan orang pemerintahan, dibutuhkan semacam pengorbanan. Mereka yang pergi meninggalkan Jonestown dicibir atau diberi pandangan sinis dan dingin dari mereka yang masih setia. Bahkan ada yang harus lebih berkorban untuk pergi seperti yang dialami Gosney. Ia harus merelakan putranya diserahkan ke Jim Jones supaya bisa pergi. Sesampainya di port Kaituma, sudah ada dua pesawat yang siap menampung keberangkatan mereka. Paranoia Jim Jones sudah akut. Setelah pesawat yang lebih kecil terbang terlebih dahulu, pasukan bersenjata Jim Jones datang dan menembaki mereka. Salah satu dari para pembelot, Larry Layton, adalah penyusup. Ia sudah dalam pesawat yang terbang duluan. Setelah lepas landas, ia mengeluarkan tembakan dari pistolnya. Beruntung, tidak ada yang terbunuh dan Layton sudah bisa diamankan. Hal itu berbeda untuk penumpang pesawat yang belum terbang. Lima orang terbunuh dalam penembakan. Tiga reporter (Greg Robinson, Bob Brown, dan Don Harris), satu pembelot (Patricia Parks), dan Leo Ryan tewas di sana. Penembakan berlangsung tidak lama sehingga lebih banyak selamat, meskipun harus sembunyi dan beberapa di antaranya terluka.

Antara saat dan setelah penembakan, Jim Jones segera mengumumkan White Night. Kali ini Jim sedang tidak melakukan simulasi. Sudah dipersiapkan Flavor Aid (sejenis soft drink yang tidak berkarbon) yang sudah dicampur dengan sianida. Jim Jones memberikan khotbah terakhirnya kepada para pengikutnya. Jika mendengar rekamannya, suasana saat itu sudah seperti layaknya sekte sesat. Jim Jones mengeluarkan kata-kata yang diluar nalar, namun bukannya takut, pengikutnya justru bersorak sorai. Sembari berkhotbah, Anak-anak adalah kelompok pertama yang diracuni. Proses penyaluran racun dilakukan dengan meminum atau suntikan. Setelah anak-anak, barulah giliran orang dewasa. Hanya satu orang wanita bernama Christine Miller yang mempertanyakan Jim. Usaha wanita itu tidak berhasil karena mayoritas penduduk Jonestown sudah terlanjur percaya pada Jim. Malah, Miller dicibir oleh penduduk yang lain.  Tiap menit, ada nyawa yang melayang. Mau dengan racun atau tidak, semuanya harus mati, entah dipaksa untuk dikonsumsi, ditembak, atau ditusuk. Jim Jones sendiri meninggal dunia, tetapi bukan karena racun yang ia buat, melainkan luka tembak. Sampai saat ini, belum diketahui apakah pelatuk digerakan oleh Jim Jones atau orang lain. Di Georgetown, Sharon Amos bunuh diri bersama tiga anaknya. Lebih dari 900 orang tewas. Sepertiga di antaranya adalah anak-anak dan sebagian besar korban adalah orang kulit hitam.  Tragedi Jonestown dideskripsikan sebagai murder-suicide. Istilah bunuh diri massal (mass suicide) tidak tepat mengingat tidak semua korban bersedia minum racun.

Tragedi Jonestown tidak melenyapkan semua penduduk. Setidaknya ada 87 orang yang tidak meninggal hari itu. Salah satunya adalah Tim basket Jonestown yang berada di Georgetown. Mereka tidak menuruti perintah Jim Jones. Stephan, Jim Jr, dan Tim Jones adalah anggota keluarga inti Jim Jones yang masih hidup. Tragedi di Jonestown juga tidak membunuh semuanya yang di sana. Ada yang berhasil menyembunyikan diri saat tragedi itu berlangsung. Salah satunya adalah Hyacinth Thrash. Wanita berusia 76 tahun itu bersembunyi di bawah tempat tidur. Ketika keluar dari persembunyiannya, pandangan yang ia terima adalah puluhan jenazah yang berserakan. Pemandangan itu sulit dilupakan bagi Hyacinth dan mereka yang tidak mati di hari itu.

Jenazah baru bisa diidentifikasi dan diangkut pada tanggal 20 November. Jumlah korban yang sangat banyak mengakibatkan militer Amerika Serikat turun tangan. Militer Guyana tidak sanggup menyelesaikannya sendiri karena kekurangan fasilitas dan medan yang sulit disisir. Amerika mengerahkan personel dan pesawat dalam mengidentifikasi jenazah-jenazah. Larry Layton ditahan di Guyana selama 18 bulan. Lalu ia disidang di Amerika Serikat dan dinyatakan bersalah. Keputusan hakim dinilai kontroversial karena Layton menerima hukuman penjara seumur hidup. Vonis tersebut dinilai terlalu berat karena Layton memang banyak terlibat dalam Jonestown, namun tindakannya pada saat penembakan di pesawat didasari oleh dirinya yang sudah dicuci otaknya. Tahun 2002, Layton dibebaskan dari penjara setelah Vernon Gosney, korban tembak Layton pada saat itu, bersaksi untuk keringanannya. Sekalipun beberapa penyintas Jonestown sempat ditangkap, hanya Larry Layton yang divonis oleh pengadilan. Untuk para penyintas atau mantan jemaat People Temple, banyak yang kembali hidup normal dan tidak sedikit yang mengabdikan ceritanya dalam buku. Kejadian itu tidak bisa hilang dalam kehidupan mereka sebab mereka banyak kehilangan anggota keluarga di hari itu. Sebelumnya terjadinya 9/11, Jonestown adalah peristiwa dengan kematian penduduk sipil terbesar dalam sejarah Amerika Serikat. Tragedi Jonestown masih menyisakan beberapa hal yang belum terjawab seperti pertanyaan terkait konspirasi atau mengapa Tragedi Jonestown tidak dilihat sebagai isu dalam kaum kulit hitam.

Tiga anak Tim Jones yang selamat kembali ke Amerika Serikat dan menjalankan kehidupan mereka. Stephan Jones telah menulis banyak artikel dan esai tentang Jonestown. Karya tulisnya bisa dilihat di situs San Diego State University (SDSU), yang juga memuat informasi dan sejarah seputar Jonestown dari penulis yang lain. Jim Jr memiliki hubungan yang rumit dengan olahraga basket karena itulah yang menyelamatkan nyawanya. Ketika putra tertuanya ingin diajari bermain basket, Jim Jr. sempat mengalami flashback tentang hari itu. Seiring berjalannya waktu, rasa traumanya mulai pudar. Putra tertuanya menjadi atlet basket ketika menduduki bangku SMA dan Kuliah. Tim Jones, dibandingkan dengan Stephan dan Jim Jr, tidak banyak diliput kisah atau pandangannya tentang Jonestown. Berdasarkan artikel yang ditulis dari Stephan Jones, Tim cenderung tidak menceritakan pengalamannya. Ia mempunyai empat anak dan sudah tutup usia di tahun 2019. Dilansir dari ABC News (2018), Jim Jr. dan Stephan memiliki persepsi yang berbeda tentang Jim Jones. Sebagai anak angkat, Jim Jr. masih melihat ada aspek positif pada ayah angkatnya karena hidupnya lebih baik pasca diadopsi. Sedangkan Stephan cenderung lebih kritis tentang ayah kandungnya. Stephan melihat Jim Jones sebagai orang yang berbahaya akibat pesan-pesannya.

Setidaknya ada dua dampak yang terlihat di masyarakat Amerika Serikat semenjak tragedi Jonestown. Dampak pertama, munculnya istilah Drinking the Kool-Aid. Istilah tersebut diperuntukan untuk orang-orang yang mengambil risiko tinggi untuk imbalan yang besar. Konotasi Drinking the Kool-Aid merujuk pada hal negatif karena orang tersebut mengambil keputusan berdasarkan hal yang kurang rasional. Hal ini merujuk pada para penduduk Jonestown yang mematuhi Jim Jones untuk minum racun karena imbalan ‘surga’ dari Jim Jones. Seiring waktu, istilah tersebut mulai merujuk pada hal positif, dimana Drinking the Kool-Aid merujuk pada orang-orang yang memperoleh keuntungan besar (biasanya dalam pekerjaan) setelah mengambil keputusan yang sangat berisiko. Pergeseran konotasi terjadi saat figur-figur dalam dunia hiburan dan internet menggunakan istilah itu untuk hal yang lebih positif. Contohnya, Michael Jordan pernah menggunakan istilah ‘Bears’ Kool-Aid ketika menonton pertandingan Chicago Bears, meskipun saat itu ia adalah pemain Chicago Bulls, tak lain merupakan pesaing Chicago Bears. Terdapat dua kesalahpahaman dalam istilah Drinking the Kool-Aid. Pertama, sekalipun jenis minuman sama, Jim Jones menggunakan Flavor Aid untuk racunnya. Kedua, istilah tersebut memukul rata pengikut Jim Jones sebagai orang yang orang yang tercuci otak sehingga bisa minum racun tanpa melawan. Faktanya, tidak sedikit minum racun karena dipaksa atau tidak dilandasi kemauannya. Dampak Kedua dari tragedi Jonestown terjadi pada dunia politik. Kematian Leo Ryan membekas pada Jackie Speier, salah satu asistennya. Speier ikut bersama Ryan di Guyana dan juga mengalami luka tembak saat di Port Kaituma.  Peristiwa di Jonestown mendorongnya untuk maju menjadi wakil rakyat, sesuai dengan sumpahnya jika ia selamat. Speier bergerak di legislatif negara bagian California. Ada beberapa tantangan yang dialaminya seperti pernah tidak dipilih dan kematian suaminya di tahun 1995 akibat kecelakaan. Perjalanan Jackie Speier di kongres dimulai pada tahun 2008, ketika Speier menjadi pengganti anggota kongres sebelumnya yang telah wafat. Selama 15 tahun sebagai anggota legislatif, Speier adalah suara kaum liberal di kongres. Isu yang sering disuarakan olehnya adalah tentang pelecehan seksual. Salah satu permasalahan yang ia gaungkan adalah permasalah pelecehan seksual di lingkungan militer.

Sumber:

Bell, F. (2020, Desember 11). Larry Layton and Peoples Temple: Twenty-Five Years Later. Alternative Considerations of Jonestown & Peoples Temple (San Diego State University). Diakses di https://jonestown.sdsu.edu/?page_id=16973.

Commonwealth Club of California. 2019, 13 Januari. Rep. Jackie Speier: Jonestown, Courage, and Fighting Back [Video]. Youtube. Diakses di https://www.youtube.com/watch?v=ex_vIYdxIwE.   

Forgey, Q & Wu, N. (2021, November 16). Rep. Jackie Speier Retiring from Congress. Politico. Diakses di https://www.politico.com/news/2021/11/16/jackie-speier-retiring-congress-522690.

Guinn, J. (2017). The Road to Jonestown: Jim Jones and Peoples Temple. New York, Amerika Serikat: Simon & Schuster.

Jones, J. (1978). The Jonestown Death Tape (FBI No. Q 042) [Rekaman suara]. Internet Archive. Diakses di https://archive.org/details/ptc1978-11-18.flac16.

Jones, S. (2020, Januari 4). My Dear Brother, Tim Tupper Jones. Alternative Considerations of Jonestown & Peoples Temple (San Diego State University). Diakses di https://jonestown.sdsu.edu/?page_id=92969.

Kilduff, M & Tracy, P. (1977, Agustus 1). Inside Peoples Temple. The New West. Halaman 30-31, 34-36, & 38.

Kilduff, M & Javers, R. (1978). The Suicide Cult: The Inside Story of the Poples Temple Sect and the Massacre in Guyana. San Francisco, Amerika Serikat: The San Francisco Chronicle.

Knight-Griffin, C. (2019, Maret 8). The U.S. Military in Guyana: The Untold Story. Alternative Considerations of Jonestown & Peoples Temple (San Diego State University). Diakses di https://jonestown.sdsu.edu/?page_id=30369.

Layton, D. (1998). Seductive Poison: A Jonestown Survivor's Story of Life and Death in the Peoples Temple. New York, Amerika Serikat: Doubleday. Diakses di https://archive.org/details/seductivepoisonj0000layt/mode/2up.

Mills, J. (1979). Six Years with God: Life inside Reverend Jim Jones's Peoples Temple. New Yok, Amerika Serikat: A & W Publishers. Inc. Diakses di https://archive.org/details/nnie00jean/mode/2up

Moore, R. (2003). Drinking the Kool-Aid: The Cultural Transformation of a Tragedy. Nova Religio: The Journal of Alternative and Emergent Religions, 7(2), halaman 92–100. Diakses di https://www.jstor.org/stable/10.1525/nr.2003.7.2.92.

Reiterman, T & Jacobs, J. (2008). Raven: The Untold Story of the Rev. Jim Jones and His People. New York, Amerika Serikat: Penguin. Diakses di https://archive.org/details/ravenuntoldstory0000reit/mode/2up?view=theater

Retold-Documentaries and Reconstructions. 2021, 31 Januari. Jonestown Massacre: Survivors Tell Their Stories [Video]. Youtube. Diakses di https://www.youtube.com/watch?v=YW8MbTA2WpM.

The Clay Cane Show. 2021, 2 April. Black Jonestown Survivors on How They Survived, The Cult of Jim Jones, His Sexuality & Lives Lost [Video]. Youtube. Diakses di https://www.youtube.com/watch?v=6hN9e7cRAYk.   

The Clay Cane Show. 2021, 16 April. Part Two: Black Jonestown Survivors, 'This Wouldn't Have Happened to White People' [Video]. Youtube. Diakses di https://www.youtube.com/watch?v=5m9OmIJPjBU.  

Valiente, A & DelaRosa, M. (2018, September 28). 40 Years After the Jonestown Massacre: Jim Jones' Surviving Sons on What They Think of Their Father, the Peoples Temple Today. ABC News. Diakses di https://abcnews.go.com/US/40-years-jonestown-massacre-jim-jones-surviving-sons/story?id=57997006.

Who Survived the Jonestown Tragedy? (2023, Februari 23). Alternative Considerations of Jonestown & Peoples Temple (San Diego State University). Diakses di https://jonestown.sdsu.edu/?page_id=37978.

Wooden, K. (1981). The Children of Jonestown. Amerika Serikat: McGraw-Hill Book Company.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun