Mohon tunggu...
Sitti Patahuddin
Sitti Patahuddin Mohon Tunggu... -

Sitti Maesuri Patahuddin is an Assistant Professor of Faculty of Education, Science, Technology and Mathematics, University of Canberra. She was a Postdoc Research Fellow in The University of Canberra Australia. She was also a Research Fellow with the Research Institute for Professional Practice, and Learning and Education (RIPPLE), Charles Sturt University (CSU). She was a lecturer in mathematics education at the State University Surabaya in Indonesia for over 10 years. Sitti has worked as an Indonesian teacher trainer nationally and for the South-East Asia region and also as a mathematics education consultant for primary schools. She spent over a year working closely with primary school teachers in Queensland as a part of her ethnographic study. Before joining CSU, she was a Post-Doctoral Fellow at the University of Witswatersrand, South Africa in 2011-2012, where she researched content knowledge for teaching and facilitated secondary mathematics teachers’ learning. Her research interests include the use of technology to enrich mathematics learning, teacher professional development, assessment of teacher content knowledge for teaching, as well use the uses of video for teaching and learning.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Serba-serbi Kehidupan di Australia

24 Agustus 2013   16:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:52 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Farid dan Matius sungguh beda pembawaannya.

Matius mudah akrab dengan orang baru, sedangkan si Farid, agak jual mahal, sering menjaga jarak dengan orang yang baru di kenalnya.

Dalam dua hari kenalan dengan si Farid, suamiku sudah sempat stres berat, hingga bangun shalat tahajud memohon bantuan dari Allah. Persoalannya si Farid menghilang dari rumah, padahal suamiku dimintai tolong oleh kawan untuk menjaga si Farid selama sebulan.

Suatu pagi hari suamiku masih mendapatkan si Farid duduk manis dekat Matius, tapi malam harinya, ketika suamiku datang untuk memberinya makan malam, hanya Matius sendiri di rumah itu. Si Farid menghilang!!!

Waduh. Suamiku gelisah. Dia sudah sempat mikir bahwa dia harus siapin minimal 5 juta rupiah untuk menebus kehilangan si Farid. Tapi masalahnya, ini bukan hanya persoalan uang, tapi kepercayaan dari teman. Anakku juga panik memikirkan si Farid, kemana perginya dan dia bakal makan apa?

Saya sih agak tenang karena saya sdh dengar perilaku si Farid yang nakal, yang selalu saja keluar rumah, kadang mengganggu anjing tetangga atau membunuh kodok atau burung yang didapatkannya. Lagian, hasil buruannya itu suka di pamer ke tuannya.

Farid, Farid, kamu memang nakal. Saya saja tidak bikin suamiku stres seperti itu, kamu malah membuatnya dia stres dan panik! Baru-baru ini kami tahu, rupanya si Farid itu memanjat pagar/dinding yang cukup tinggi, dan dia tetap kembali ke rumah kalau dia lapar.

Kadang dalam perjalanan menemani suamiku pergi memberi makan malam Farid dan Matius, saya tak bisa menahan tawa. Rasanya hidup ini lucu banget. Rasanya saya pergi merawat manusia. Padahal si Farid dan Matius itu hanya kucing. Begitu hebatnya Farid dan Matius. Lucu rasanya, seakan kami berinteraksi dengan orang yg begitu spesial.

Kami bahkan bilang, dulu saja saat di Surabaya, ada nenek sakit dan kami hanya nengok beberapa kali, apalagi kami beralasan sibuk.

Suatu malam saat saya lihat suamiku capek, saya sempat bilang, “besok sajalah si Farid dan Matius diberi makan.” Si Kakak Fika dan Adik Fida sudah protes berat. Mereka bilang, saya harus membayangkan diri saya tinggal seorang diri, tak ada makanan, dan saya kelaparan, dan tak ada orang yang datang memberiku makan. Bagaimana coba rasanya??? Seperti itulah Farid dan Matius.

Hmmmm, anakku kurang paham bahwa saya orang dari kampung sudah biasa lihat kucing dan tak seberapa perhatian pada kucing, apalagi saya dan keluarga, saat kesulitan, telur dadar satu bisa untuk makan tiga orang. Boro-boro mikirin kucing.

Saya juga geleng-geleng kepala dengan bahan makanan yang disiapkan untuk Farid dan Matius. Mulai dari sosis, seafood segar, makanan kaleng, makanan semacam cereal, dan banyak susu. Makanan mereka untuk sebulan mah bisa memberi makan beberapa fakir miskin dalam beberapa minggu di Indonesia.

Hmmm, begitu perhatiannya orang-orang sini pada binatang.

Suatu hari suamiku juga cerita, bahwa dia bertemu seorang wanita di toko karpet import (karpet dari timur tengah). Wanita itu sibuk mencari karpet tebal untuk anjingnya. Akhirnya dia beli karpet berbulu dengan ukuran kecil/sedang, yang harganya lebih dari 500 dolar, sekitar 5 juta rupiah. Suamiku sempat membantu wanita tua itu mengangkat karpetnya ke mobil. Hmmm ini untuk kenyamanan seekor anjing ya.

Ini juga mengingatkanku saat kucing Fika dan Fida (namanya Mini) sakit di Surabaya, dan kami membawanya ke dokter hewan. Saat saya menjenguk Mini, perasaan saya bukannya sedih seperti Fika dan Fida, saya agak tertawa geli melihat si Mini di infus. Masya Allah. Kucing diinfus. Sambil mikir, bakal berapa yg akan saya bayar kalau Mini harus diinfus berhari-hari. Fika Fida tentu tidak mikir uang, tapi mikir penderitaan si Mini. Dalam pikiranku, andai bukan anakku, andai saya tak takut dicap jahat oleh anakku, tentu saya harus mikir beratus kali untuk membawa si Mini ke dokter. Untung Mini kembali sehat dan bisa kembali lincah.

Maafkan Ibu Nak, latar hidup kita berbeda, sehingga perasaan kita berbeda. Tapi Ibu tentu mau jadi hamba yang baik di sisi-Nya termasuk menyayangi ciptaan Allah yang tidak sebatas manusia.

So what? Apa yang bisa saya pelajari dari fenomena ini ya?

Apakah kesejahteraan binatang itu baru bisa terpikirkan ketika kita manusia sejahtera dulu? Atau apakah sensitifitas kepedulian pada binatang itu yang menjadi kunci bahwa seseorang bisa mencintai atau menyayangi binatang. Apakah pendidikan yang bisa menyadarkan kita bahwa semua ciptaan Sang Maha Pencipta punya manfaat dan kita wajib menjaganya demi keseimbangan kehidupan di dunia ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun