Farid dan Matius sungguh beda pembawaannya.
Matius mudah akrab dengan orang baru, sedangkan si Farid, agak jual mahal, sering menjaga jarak dengan orang yang baru di kenalnya.
Dalam dua hari kenalan dengan si Farid, suamiku sudah sempat stres berat, hingga bangun shalat tahajud memohon bantuan dari Allah. Persoalannya si Farid menghilang dari rumah, padahal suamiku dimintai tolong oleh kawan untuk menjaga si Farid selama sebulan.
Suatu pagi hari suamiku masih mendapatkan si Farid duduk manis dekat Matius, tapi malam harinya, ketika suamiku datang untuk memberinya makan malam, hanya Matius sendiri di rumah itu. Si Farid menghilang!!!
Waduh. Suamiku gelisah. Dia sudah sempat mikir bahwa dia harus siapin minimal 5 juta rupiah untuk menebus kehilangan si Farid. Tapi masalahnya, ini bukan hanya persoalan uang, tapi kepercayaan dari teman. Anakku juga panik memikirkan si Farid, kemana perginya dan dia bakal makan apa?
Saya sih agak tenang karena saya sdh dengar perilaku si Farid yang nakal, yang selalu saja keluar rumah, kadang mengganggu anjing tetangga atau membunuh kodok atau burung yang didapatkannya. Lagian, hasil buruannya itu suka di pamer ke tuannya.
Farid, Farid, kamu memang nakal. Saya saja tidak bikin suamiku stres seperti itu, kamu malah membuatnya dia stres dan panik! Baru-baru ini kami tahu, rupanya si Farid itu memanjat pagar/dinding yang cukup tinggi, dan dia tetap kembali ke rumah kalau dia lapar.
Kadang dalam perjalanan menemani suamiku pergi memberi makan malam Farid dan Matius, saya tak bisa menahan tawa. Rasanya hidup ini lucu banget. Rasanya saya pergi merawat manusia. Padahal si Farid dan Matius itu hanya kucing. Begitu hebatnya Farid dan Matius. Lucu rasanya, seakan kami berinteraksi dengan orang yg begitu spesial.
Kami bahkan bilang, dulu saja saat di Surabaya, ada nenek sakit dan kami hanya nengok beberapa kali, apalagi kami beralasan sibuk.
Suatu malam saat saya lihat suamiku capek, saya sempat bilang, “besok sajalah si Farid dan Matius diberi makan.” Si Kakak Fika dan Adik Fida sudah protes berat. Mereka bilang, saya harus membayangkan diri saya tinggal seorang diri, tak ada makanan, dan saya kelaparan, dan tak ada orang yang datang memberiku makan. Bagaimana coba rasanya??? Seperti itulah Farid dan Matius.
Hmmmm, anakku kurang paham bahwa saya orang dari kampung sudah biasa lihat kucing dan tak seberapa perhatian pada kucing, apalagi saya dan keluarga, saat kesulitan, telur dadar satu bisa untuk makan tiga orang. Boro-boro mikirin kucing.
Saya juga geleng-geleng kepala dengan bahan makanan yang disiapkan untuk Farid dan Matius. Mulai dari sosis, seafood segar, makanan kaleng, makanan semacam cereal, dan banyak susu. Makanan mereka untuk sebulan mah bisa memberi makan beberapa fakir miskin dalam beberapa minggu di Indonesia.
Hmmm, begitu perhatiannya orang-orang sini pada binatang.
Suatu hari suamiku juga cerita, bahwa dia bertemu seorang wanita di toko karpet import (karpet dari timur tengah). Wanita itu sibuk mencari karpet tebal untuk anjingnya. Akhirnya dia beli karpet berbulu dengan ukuran kecil/sedang, yang harganya lebih dari 500 dolar, sekitar 5 juta rupiah. Suamiku sempat membantu wanita tua itu mengangkat karpetnya ke mobil. Hmmm ini untuk kenyamanan seekor anjing ya.
Ini juga mengingatkanku saat kucing Fika dan Fida (namanya Mini) sakit di Surabaya, dan kami membawanya ke dokter hewan. Saat saya menjenguk Mini, perasaan saya bukannya sedih seperti Fika dan Fida, saya agak tertawa geli melihat si Mini di infus. Masya Allah. Kucing diinfus. Sambil mikir, bakal berapa yg akan saya bayar kalau Mini harus diinfus berhari-hari. Fika Fida tentu tidak mikir uang, tapi mikir penderitaan si Mini. Dalam pikiranku, andai bukan anakku, andai saya tak takut dicap jahat oleh anakku, tentu saya harus mikir beratus kali untuk membawa si Mini ke dokter. Untung Mini kembali sehat dan bisa kembali lincah.
Maafkan Ibu Nak, latar hidup kita berbeda, sehingga perasaan kita berbeda. Tapi Ibu tentu mau jadi hamba yang baik di sisi-Nya termasuk menyayangi ciptaan Allah yang tidak sebatas manusia.
So what? Apa yang bisa saya pelajari dari fenomena ini ya?
Apakah kesejahteraan binatang itu baru bisa terpikirkan ketika kita manusia sejahtera dulu? Atau apakah sensitifitas kepedulian pada binatang itu yang menjadi kunci bahwa seseorang bisa mencintai atau menyayangi binatang. Apakah pendidikan yang bisa menyadarkan kita bahwa semua ciptaan Sang Maha Pencipta punya manfaat dan kita wajib menjaganya demi keseimbangan kehidupan di dunia ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H