Haii sobat! Kali ini saya mau share tentang kehidupan sekolah saya, ya.. Mungkin sifatnya lebih personal, tetapi moga-moga bisa bermanfaat.
Menurut saya, sejak kita lahir, pergumulan hidup sudah dimulai. Misal, bisa jadi kita lahir dalam kondisi kurang sehat, sehingga perlu dirawat lebih lama di rumah sakit. Sesehat apapun, ibu kita masih perlu memberi asupan gizi lebih eksklusif kepada kita ketimbang pada anak usia 10 tahun karena bayi lebih rentan terhadap penyakit.
Sejak masuk kelas 7, saya selalu ingin berusaha untuk aktif dalam kegiatan sekolah, terutama organisasi sekolah. Sedari kecil, ingin sekali rasanya bisa mengadakan acara, belajar komunikasi, bekerja behind the scenes, dll..Â
Masuk deh ke organisasi pramuka, tetapi gagal masuk OSIS, karena jumlah peserta OSIS terbatas dan saat itu banyak sekali yang mau ikut berpartisipasi. Mungkin karena masih newbie, belum punya reputasi.. Yang masuk itu biasanya punya kakak yang pernah ikut OSIS.
Jadi ya sudah, dijalankan saja.. mana saya waktu itu masih melihat-lihat dunia SMP seperti apa, masih belajar banyak hal mengenai sistem kurikulum yang cukup berbeda dengan SD, jadi yahh.. terima-terima saja, walaupun awalnya agak kesal karena merasa diri punya potensi yang tidak dipertimbangkan.
Sebagai pengganti, saya menguatkan hati saya untuk mengejar harapan-harapan saya, seperti belajar lebih giat, belajar nyanyi karena saya suka menyanyi, baca buku novel dan artikel (khususnya bahasa Inggris), adapun beberapa yang saya sudah lupa.
Di kelas 7 itu, saat ajang cup internal sekolah, saya mulai ikut lomba-lomba yang saya merasa saya cukup bisa, di antaranya lomba puisi dan lukis fashion design.
Nah, fashion design merupakan salah satu hal menarik bagi saya saat itu, karena awalnya saya tidak mengenalnya sama sekali. Respon saya awalnya seperti, "Oh, itu yang gambar-gambar baju," -- cukup sesederhana itu dan tidak lebih lagi.
Namun setelah beberapa tahun lewat kelas 7 menelusuri bidang tersebut, ternyata banyak sekali, ya, yang harus diketahui dari sekedar "gambar baju".
Awalnya karena merasa tidak familiar, saya tidak mau ikut. Namun setelah dipaksa wali kelas saya yang melihat saya punya potensi dalam seni, saya pun akhirnya terpaksa ikut. Dengan modal 1 jenis drawing pen dan 1 set pensil warna Faber Castell isi 24, saya latihan setiap malam dengan googling dan coret-coret.
Lambat laun, hanya dalam jangka waktu sebulan tetapi intensif, guratan pensil saya semakin membaik dan perlahan-lahan saya belajar mewarnai.
Tak disangka, saya menempati juara 3 dalam lomba tersebut. Â Jujur kata, kalau dibandingkan hasilnya dengan karya para profesional, nilai saya masih di tingkat buntut. Beberapa hari setelah kegiatan sekolah itu selesai dan karya saya dipajang menjadi mading sekolah, saya pun malu banget.
Melihat peserta lomba lain yang tidak menjadi juara tetapi karyanya juga dipanjang, oke lah, saya mulai bisa menerimanya.
Boleh dikatakan saya lebih persiapan dengan memikirkan konsep, walaupun jelek, tetapi tidak sembarangan.
Kemenangan itu menurut saya adalah anugerah, karena Tuhan pasti memberkati orang yang ingin berusaha. Saya percaya setidaknya itu lah yang membuat saya bisa memenangkan lomba tersebut.
Fast forward ke kelas 8. Saya coba mendaftarkan diri lagi untuk masuk OSIS. Nasib, masih tidak diterima. Mungkin memang saya pendiam, jadi dikira tidak bisa berbuat banyak.
Memang kesal, tetapi mau gimana lagi? Seperti biasa saya mengikuti lomba lainnya saat cup internal sekolah dan berkat kerja keras dan doa, menang lagi.
Tahun berikutnya, karena saya tahu persiapan untuk UN kelas 9 cukup sibuk, namun saya tetap memutuskan untuk mendaftarkan diri dalam OSIS karena masih merasa greget. Lagi-lagi, nama saya tidak berhasil muncul. Meskipun begitu, saya tetap aktif dalam kegiatan pramuka.
Namun, karena merasa kegiatan itu tidak begitu menghibur ambisi saya, saya memutuskan untuk keluar setelah selesai kelas 9. Faktanya, saya keluar lebih awal usai kenaikan kelas (kelas 9 mengakhiri tahun ajarannya lebih cepat karena ada UN) karena merasa sepi dan kurang dihargai.
Akhirnya sampai pada SMA kelas 1 baru saya diterima masuk OSIS, alasannya yaitu kekurangan partisipan akibat banyaknya anggota lama OSIS yang pindah sekolah setelah lulus SMP.
Di waktu bersamaan bercampurnya antara kesempatan dan perasaan hina, saya tunjukkan potensi saya sebagai anggota dengan aktif memberikan ide saat rapat, mau inisiatif mengontak kepala bidang untuk memberikan ide setelah diberikan suatu tugas, mengajak dan mengingatkan anggota untuk melakukan suatu tugas OSIS, dsb.
Karena saking seringnya memberikan solusi, saya mendapatkan kepercayaan dari ketua OSIS untuk mengontak dan mengurus pihak panti asuhan saat kegiatan bakti sosial.
Di situ saya merasa mulai diterima, dan dapat menempa diri semakin baik. Tahun itulah saya mulai merasa menjadi tangan sesuai tujuan organisasi.
Di awal tahun ajaran SMA 2, saat OSIS rencana mengadakan pemilu ketua, yang mendaftarkan diri hanya 1 orang! Bayangkan, jika benar-benar sampai akhir hanya 1 orang, fix dia tak ada lawan.
Oleh sebab ketua OSIS sebelumnya tidak bisa menerima hal itu, pada suatu jam makan siang di sekolah, ia datang kepada saya dan berbisik untuk bertanya, "Kamu ga mau calonin diri jadi ketos?" Saya hanya berdiam menatap kedua teman semeja yang juga anggota OSIS tahun kemarin yang saat itu sedang makan. Rupanya, ia hanya menghampiri saya, tidak kepada kedua teman itu.
Saya jujur kaget bisa ditanyakan suatu pertanyaan sedemikian serius. Apa yang ada dalam pikiran saya hanyalah sifat pesimis untuk menghindar semua kejadian yang dapat terjadi. "Bagaimana nanti kamu mau bicara di depan umum?" "Bagaimana kamu hadapi semua tantangan itu, karena ini komitmen setahun?" "Kamu yakin siap bisa pimpin anggota dan sisihkan waktu untuk hal ini?" dan masih sejuta pertanyaan mengapung dalam kepalaku.
Pulang sekolah, saya tanya orangtua, mereka dukung saya ikut, tetapi tidak melebihi dukungan papa. "Itu kesempatan buat kamu, kapan lagi? Nama kamu muncul di CV sebagai KETUA, dan jadi ketua itu tanggung jawab 180 derajat dibanding hanya jadi anggota. Kamu belajar banyak hal, terutama social skills yang paling penting dalam hidup."
Sobat pembaca, ini bukan hal mudah, karena merupakan suatu lonjakan penting dalam kisah hidup saya. Saya memakan waktu untuk memikirkan hal ini bukan sesingkat malam itu, bahkan 3 hari penuh otak saya pusing muter-muter soal ini.
Di hari berikutnya bahkan saya diceramah papa setidaknya 2 jam, karena ia ingin sekali saya bisa menjadi ketua OSIS. Papa dulu tidak berkesempatan masuk OSIS karena anggota OSIS sibuk sering bolak-balik sekolah dan jika ia masuk, ia butuh biaya banyak, apalagi untuk menyokong acara sekolah.
Sedangkan saat itu uang jajannya dikatakan hanya "cukup". Saya tau jawaban "ya" sangat ditunggu-tunggu oleh kedua belah pihak, baik orangtua, maupun ketua OSIS sebelumnya. Malam itu saya line ketua OSIS tahun sebelumnya untuk bertanya-tanya segala hal terkait kendala yang dihadapi, hal apa saja yang kira-kira saya akan lalui, hal-hal apa saja yang saya harus pertarukan sebagai calon ketua OSIS, dan tak habis semua pertanyaan itu mengalir dalam ruang chat kami. Malam berikutnya saya akhirnya menjawab "ya", dan kesusahan tidur karena gelisah dan takut kalau menang. Lucu banget yah, ga ngerti bisa segitunya..Â
Layaknya seorang calon pemimpin, ia harus berkampanye. Maka saya pun mulai mendesain poster itu sendiri, tidak tahu dan tidak mau memikirkan calon lawan saya punya sebagus apa. Yang penting saya tuliskan jelas visi dan misi saya, sudah sesuai kriteria, selesai. Dilanjut pidato yang lebih singkat daripada waktu yang diminta (5 menit), karena tahu murid-murid sekolah akan merasa ngantuk jika mendengarnya terlalu lama. Saat pidato, saya rasa semua mendengar tetapi orang-orang itu tidak mengenal saya. Saya pun semakin merasa, "Kalau menang saya akan berusaha sebaik-baiknya menjadi panutan bagi banyak orang. Kalau kalah, ya sudah, tetap menjadi anggota seperti dulu." Saya pun tidak konfiden untuk ikut mencalonkan diri sebagai ketua. Tentu saja, ketua harus terlihat karismatik, bisa komunikasi untuk pendekatan anggota dan menangkap perhatian murid-murid sekolah (well, bukan modus yahh) -- dan seperti sebelumnya, karakter-karakter ini masih belum lahir pada diri saya. Saya bisa jadi otak, tapi jadi mulut rasanya seperti mendaki 100 anak tangga. Simple seperti itu saja, dimulailah ajang pemilihan. Semua murid diminta ikut voting, nomor urut saya adalah nomor 1, sedangkan lawan saya nomor 2. Setiap murid diminta menulis nomor yang mereka pilih di selembar kertas kecil, dan kali ini saya bersikap konfiden. Saya langsung menulis nomor 1, sementara teman semeja saya melirik saya ketika hendak menulis pada kertas miliknya. Seusai pengumpulan kertas itu, ia berbisik-bisik kepada teman-teman lainnya. Saya hanya berpikir, "Lah, iya dong, kenapa harus takut? Pure ini saya tulis menurut hasrat hati saya. Kalau sendiri sejak awal aja tidak niat, nanti ke depannya ga ada motivasi berkarya." Hari demi hari berlalu, sampai pada satu hari saya secara sah diserahkan bendera OSIS oleh ketua OSIS sebelumnya.
Sejak itu saya mulai belajar memimpin rapat, berkomunikasi dengan lebih banyak orang yang sifatnya lebih luas, yaitu karena melibatkan murid mulai SMP 1 sampai harus berdiskusi bersama kepala sekolah. Di tengah-tengah perjalanan, beberapa kali dilalui "polisi tidur", dan berkat pengalaman itu saya belajar untuk semakin berhati-hati tidak membuat kesalahan yang sama selanjutnya. Awalnya memang susah karena tidak terbiasa, untungnya selalu ada yang menuntun saya melalui semua hambatan itu, yaitu sang ketua osis sebelumnya. Di sini saya mempertegas menggunakan kata "menuntun", melainkan "memikul", karena artinya sangat berbeda. "Memikul" berarti saya seumpama mempunyai "backup" sehingga tidak harus menekuni semua tugas saya, sedangkan "menuntun" menunjukkan "kita" berada pada situasi yang sama, berpijak pada tanah yang sama ketinggiannya.
Demikian kisah panjang pengalaman OSIS saya yang aslinya memiliki detil lebih panjang. Tak harus segalanya ditulis, karena memang, setiap cerita punya rahasia penulis itu sendiri. Di sisi lain, tulisan ini juga bukan bersifat sombong, tetapi harapannya yaitu supaya bisa membangunkan citra diri optimis dalam setiap diri kita.
Oh, satu hal lagi yang sifatnya kontroversial. Banyak murid yang nilainya bagus dan dijuluki "gila nilai". Anggapan saya terhadap hal itu adalah salah. Mengapa? Menggapai nilai tinggi, jika diraih secara murni, merupakan rasa hormat terhadap diri sendiri. Bisa dikatakan hal itu adalah "challenge" karena godaan untuk menyontek itu ada beribu-ribu cara. Mau lewat jalan tikus, jalan raya, semuanya ada, bro! Tinggal pintar-pintar saja lihat gurunya seperti apa.. Saya akan membahas hal ini lebih jauh di artikel selanjutnya. Stay tune!
Saya yakin masing-masing kita punya pengalaman hidup masing-masing yang sifatnya orisinal dan selfly-memorable. Kita memang tidak bisa mengatur jalan kita sendiri di saat-saat tertentu. Tetapi kita tahu, dimana ada waktu, itulah kesempatan kita untuk bercita-cita dan mewujudkannya. Setiap hari yang kita lalui, tak mungkin otak kita tidak berpikir suatu hal pun seharian. Pasti ada harapan, pasti ada niat ingin melakukan apa, setidaknya makan apa, main apa, dsb. Tetapi alangkah indahnya jika kita mau meluangkan sebagain waktu dari 24 jam itu untuk berkarya memupuk diri kita dengan suatu pelajaran atau kegiatan yang menjadi investasi pribadi.
Saya pun tak bisa katakan "salah" jika kita mau bermain game, karena dari game sendiri kita bisa belajar banyak hal. Contoh dari segi murni game, yaitu strategi, berkomunikasi dengan kelompok, dan satu hal pasti yaitu untuk menjadi player yang semakin baik. Bagi yang memperhatikan dari segi visual, yaitu kita belajar animasi yang baik dan benar, desain setting game, kostum player, serta properti game, dan masih banyak lagi. Inilah sebabnya profesi gamer dinyatakan halal dan sah, lebih lagi sekarang-sekarang ini menjadi profesi yang mendapat bayaran tinggi karena para gamer harus menjamin skill mereka untuk mempertahankan posisinya sebagai top-player.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H