Mohon tunggu...
Suandri Ansah
Suandri Ansah Mohon Tunggu... Freelancer - Konten Kreator

Power Rangers Merah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Toleransi Setengah Hati

26 Agustus 2018   21:57 Diperbarui: 27 Agustus 2018   22:11 3366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menara masjid (nu.or.id)

Jauh sebelumnya, upaya memperluas jangkauan adzan dilakukan dengan mendirikan menara. Menara masjid pertama terletak di Masjid Kudus, Jawa Tengah. Kemudian menara masjid kedua berdiri di masjid milik Kesultanan Banten.

Sebagai bagian dari notasi ibadah, azan telah menjadi tradisi yang disakralkan. Adzan juga telah menjadi pemantik semangat juang memerdekakan bangsa ini.

Pada tahun 1888, azan menjadi pemicu perjuangan rakyat Banten melawan kesewenang-wenangan pemerintah Hindia Belanda. Kelak, perlawanan itu dikenal dengan nama Geger Cilegon.

Para pemberontak petani Banten atau Geger Cilegon pada 1888. Foto: KITLV. (Historia.id)
Para pemberontak petani Banten atau Geger Cilegon pada 1888. Foto: KITLV. (Historia.id)
Cirebon, Jawa Barat memiliki tradisi Azan Pitu. Kumandang azdan oleh tujuh orang itu merupakan warisan Sunan Gunung Jati. Tradisi azan pitu telah dilakukan turun temurun sejak 500 tahun lalu. Tradisi ini ada di Masjid Sang Cipta Rasa, sebuah masjid di sebelah barat alun-alun keraton Kasepuhan.

Konon, Sunan Gunung Jati menjadikan azan sebagai strategi untuk mengalahkan pendekar jahat berilmu hitam tinggi bernama Menjangan Wulung.

Banyak kisah yang menceritakan adzan sebagai pembuka pintu hidayah. Tak sedikit pula non-muslim yang memilki pengalaman spritiual saat mendengarkan lantunan azan, meski tak membuat mereka menanggalkan agamanya, mereka tetap menikmati kumandang adzan sebagai langgam keharmonisan.

Tetapi, mengapa sekarang ini adzan serupa intonasi kebencian? Sejak dulu sampai sekarang, adzan ya "gitu-gitu" aja. Nadanya, liriknya, pengeras suaranya tak banyak berubah.

Namun, era transformasi global telah mengikis kerendah-hatian individu untuk hidup bebrayan. Budaya srawung satu sama lain untuk mengkoneksikan interpretasi komunal telah dijarah gadget dan media sosial.

Keadaan ini diperparah dengan kesenjangan ekonomi, strategi politikus jahat, kecemburuan sosial yang turut meniup-niup bara permusuhan. Dalam hal ini, kita bisa bersepakat atas temuan PUSAD Paramadina.

Namun tidak pada lain hal, menyalahkan undang-undang penodaan agama, misalnya. Segala perangkat hukum bisa jadi petaka jika tidak difungsikan menurut keadilan.

Terdakwa kasus penistaan agama, Meliana mengikuti sidang dengan agenda pembacaan putusan, di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Selasa (21/8). (Foto: Antara/Irsan Mulyadi)
Terdakwa kasus penistaan agama, Meliana mengikuti sidang dengan agenda pembacaan putusan, di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Selasa (21/8). (Foto: Antara/Irsan Mulyadi)
Agama mengajarkan berlapang dada dan toleransi kepada pemeluk agama lain. Tetapi, kasus Meiliana menggambarkan betapa toleransi masih serupa wejangan yang berakhir di mimbar peribadahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun