Jauh sebelumnya, upaya memperluas jangkauan adzan dilakukan dengan mendirikan menara. Menara masjid pertama terletak di Masjid Kudus, Jawa Tengah. Kemudian menara masjid kedua berdiri di masjid milik Kesultanan Banten.
Sebagai bagian dari notasi ibadah, azan telah menjadi tradisi yang disakralkan. Adzan juga telah menjadi pemantik semangat juang memerdekakan bangsa ini.
Pada tahun 1888, azan menjadi pemicu perjuangan rakyat Banten melawan kesewenang-wenangan pemerintah Hindia Belanda. Kelak, perlawanan itu dikenal dengan nama Geger Cilegon.
Konon, Sunan Gunung Jati menjadikan azan sebagai strategi untuk mengalahkan pendekar jahat berilmu hitam tinggi bernama Menjangan Wulung.
Banyak kisah yang menceritakan adzan sebagai pembuka pintu hidayah. Tak sedikit pula non-muslim yang memilki pengalaman spritiual saat mendengarkan lantunan azan, meski tak membuat mereka menanggalkan agamanya, mereka tetap menikmati kumandang adzan sebagai langgam keharmonisan.
Tetapi, mengapa sekarang ini adzan serupa intonasi kebencian? Sejak dulu sampai sekarang, adzan ya "gitu-gitu" aja. Nadanya, liriknya, pengeras suaranya tak banyak berubah.
Namun, era transformasi global telah mengikis kerendah-hatian individu untuk hidup bebrayan. Budaya srawung satu sama lain untuk mengkoneksikan interpretasi komunal telah dijarah gadget dan media sosial.
Keadaan ini diperparah dengan kesenjangan ekonomi, strategi politikus jahat, kecemburuan sosial yang turut meniup-niup bara permusuhan. Dalam hal ini, kita bisa bersepakat atas temuan PUSAD Paramadina.
Namun tidak pada lain hal, menyalahkan undang-undang penodaan agama, misalnya. Segala perangkat hukum bisa jadi petaka jika tidak difungsikan menurut keadilan.