Salah satu kekurangan Bung Karno dan kawan-kawan saat merumuskan naskah Proklamasi yakni tidak merinci apa yang dimaksud d.l.l. (dan lain-lain) dalam kalimat: Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., satu hal yang terang di situ adalah perkara kekuasaan.
Itu pun masih ambigu betul, kekuasaan dari/dan untuk siapa. Bagaimana proses pemindahannya, apa yang dimaksud "tjara saksama", dan "tempoh jang singkat".
Naskah proklamasi yang dibacakan Soekarno di halaman rumah milik saudagar Arab, Faradj Martak (kini dikenal dengan Tugu Proklamasi) pada 17 Agustus 1945 adalah naskah pengganti. Sedianya, naskah yang dibacakan adalah yang telah diplenokan BPUPKI pada 14 Juli 1945. Naskah itu lebih argumentatif sebagai pernyataan kemerdekaan ketimbang nasakah proklamasi yang jadi catatan sejarah sekarang ini. Naskah itu juga lebih panjang.
Tuhan punya kehendak, naskah proklamasi yang telah disidangkan BPUPKI luput dibawa pada rapat panitia kemerdekaaan di rumah Perwira Tinggi Angkatan Laut Jepang, Laksamana  Muda Tadashi Maeda, di Jalan Meiji Dori  (sekarang Jalan Imam Bonjol), 16 Agustus 1945. Sehingga Soekarno berinisiatif menyusun naskah proklamasi baru.
Soekarno meminta secarik kertas dan pulpen ke peserta rapat. Ia lalu menyusun butir-butir proklamasi berdasar ingatan Subardjo atas Mukaddimah UUD 1945, sayangnya ingatan Subardjo payah. Muhammad Hatta turut urun pandang dalam rapat redaksi malam itu. Setelah konsep jadi, Sokarno meminta Sayuti mengetiknya untuk dipersoalkan peserta rapat.
Pagi yang tegang pada 17 Agustus 1945 naskah proklamasi hasil "ijtihad" Soekarno, Muhammad Hatta, dan Subardjo dibacakan. Naskah yang ramping lagi tak revolusioner. Upacara alakadarnya digelar, bendera Merah Putih jahitan tangan dikibarkan pada tiang bambu. Apatah kemewahan asalkan momentum itu serupa angin segar pembawa perubahan.
Prosesi Proklamasi menggambarkan jejak suasana ketidakpastian dan ketergesa-gesaan, sejak perumusan hingga pembacaan. Bagaimana naskah proklamasi disusun ulang berdasar ingatan dan "properti" pinjaman. Mengingat status quo bisa berakhir neraka jika tak segera merdeka.
Sekutu bisa datang kapan saja untuk kembali menduduki nusantara. Ini berbahaya jika Indonesia tak memiliki kedaulatan administratif dan perangkat negara. Sementara, gejolak jiwa angkatan muda telah lama mendidih agar bangsa tak lagi merintih.
Indonesia merdeka. Setiap 17 Agustus tiba, rakyat kembali mengingatnya sebagai Rahmat Tuhan yang Maha Kuasa.  Sudah 73 tahun peristiwa berlalu, tetapi menyisakan wagu. Teks proklamasi masih terasa abstrak sebagai pengantar kemerdekaan. Bandingkan dengan naskah Deklarasi Kemerdekaan Aceh oleh GAM atau teks proklamasi Indonesia menurut rencana awalnya.
Dulu, saat Soekarno menuliskan kalimat pembuka proklamasi (Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia) Hatta berkomentar, "Ini tidak cukup dan merupakan suatu pernyataan abstrak tanpa isi. Kita harus mengantar kemerdekaan kita pada pelaksanaan yang nyata dan kita tidak mungkin dapat berbuat demikian tanpa kekuasaan berada di tangan kita. Kita harus menambahkan pikiran tentang penyerahan kekuasaan dari Jepang ke dalam tangan kita sendiri," kata Hatta.
Lalu Hatta mendiktekan kalimat: "Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya". Hatta justru menambah komponen abstrak lain pada naskah yang sedang ditulis Soekarno. Akibatnya, dalam rangka merinci teks yang abstrak itu, anak bangsa terus berkontemplasi lewat pertanyaan yang diulang-ulang setiap Agustus tiba, "Apa makna kemerdekaan sesungguhnya?"
Kekuasaan berhasil dipindahkan ke tangan bangsa Indonesia, menyisakan "dan lain-lain" yang belum terungkap maksudnya. Goenawan Mohammad menyebut "dan lain-lain" adalah pengakuan, jika "kemerdekaan" adalah sebuah wacana, ia sebuah wacana yang belum selesai.
Serupa hidup, "dan lain-lain" adalah misteri yang berlanjut. Pasti atau mungkin, tegas atau ragu, gelap atau terang. Dalam bentuknya yang lain, "dan lain-lain" adalah notasi ghaib yang belum disingkapkan Tuhan hingga ada ikhtiar yang mewujudkan. Sebagai sebuah ketergesa-gesaan, "dan lain-lain" adalah kekuatan.
Kemudian, rakyat urunan tafsir "dan lain-lain", yang sebenarnya hanya diketahui Hatta dan Tuhan yang Maha Esa. Ada yang menyatakan pemindahan ekonomi, budaya, ada yang bilang pendidikan, olahraga, hukum, hak asasi, dan sebagainya. Masing-masing kepala memiliki "dan lain-lain" versinya sendiri. Versi kondisional saat ini: Haga telur mahal. Rupiah melemah terhadap dolar. Utang negara meningkat.
Ignas Kleden pernah menulis untuk Kompas edisi  20 Agustus 2015, "Pemindahan kekuasaan" yang dinyatakan dalam proklamasi hendak diselesaikan "dalam tempo sesingkat-singkatnya", tetapi kemudian kita berurusan dengan "pemindahan budaya" yang mungkin belum selesai juga setelah lewat 70 tahun.
Pemindahan budaya yang diungkapkan Ignas membuka peluang untuk diganti dengan pemindahan ekonomi, hukum, politik, dan sebagainya sesuai yang dirasakan bangsa saat ini. Pemerintah sebagai tali sambung proklamator bertugas memindahkan "dan lain-lain" itu kepada rakyatnya sendiri. (bukan memindahkan apa yang sudah ada pada rakyat ke luar). Dengan cara seksama dan tempo yang sesingkatnya. Sesingkat kehidupan manusia di dunia.
Suandri Ansah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H