Kondisi ekonomi global terutama di negara maju yang dipengaruhi oleh peningkatan inflasi dan perlambatan ekonomi memberikan dampak yang negatif kepada kondisi ekonomi Indonesia.Â
Di satu sisi, dengan tren kenaikan harga komoditas global akibat perang Rusia-Ukraina berdampak positif bagi kinerja ekspor Indonesia serta windfall pajak dari sektor komoditas, namun juga memberikan tambahan beban bagi produsen karena biaya produksi juga cenderung meningkat.Â
Dengan kenaikan harga bahan baku, tarif logistik, kenaikan harga BBM serta pergerakan nilai tukar rupiah memberikan pilihan yang sulit bagi para pelaku usaha.Â
Di tengah proses pemulihan ekonomi domestik, produsen cenderung mengorbankan marjinnya tergerus karena pelaku usaha belum sepenuhnya meneruskan kenaikan biaya produksi dengan kenaikan harga jual dari barangnya.Â
Indeks Harga Produsen (PPI) cenderung memiliki gap yang besar dengan Indeks Harga Pedagang Besar (WPI) dan Indeks Harga Konsumen (CPI) sejak pertengahan 2021 hingga saat ini.
Yang menariknya lagi, inflasi per bulan Oktober 2022 belum mengindikasikan adanya second round effect (dampak lanjutan) dari kenaikan harga BBM pada bulan September 2022.Â
Inflasi pada bulan Oktober justru mengalami penurunan dan tercatat di kisaran 5,71%, melambat dari bulan sebelumnya 5,9%. Meskipun inflasi pangan cenderung melandai, namun inflasi harga diatur pemerintah masih tercatat tinggi karena dampak kenaikan harga BBM.Â
Sementara, inflasi inti cenderung stabil di kisaran 3,31%, yang mengindikasikan ekspektasi inflasi cenderung masih terjaga dan pelemahan nilai tukar rupiah sejauh ini belum mendorong imported inflation.
Lebih lanjut, sejalan dengan kenaikan inflasi domestik akibat kenaikan harga komoditas global dan penyesuaian harga BBM domestik, kinerja perekonomian Indonesia pada kuartal III-2022 masih menunjukkan tajinya dengan pertumbuhan ekonomi yang tercatat 5,7% dari kuartal sebelumnya 5,4%.Â
Meskipun laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kuartal III-2022 cenderung melambat, namun komponen lainnya seperti investasi dan net ekspor justru tetap solid di tengah kondisi inflasi global yang meningkat.
Namun demikian, jika kita menelisik lebih dalam lagi, kinerja pertumbuhan ekonomi kuartal III-2022 yang moncer tersebut, masih dipengaruhi oleh dampak basis yang rendah pada periode yang sama di tahun sebelumnya karena Indonesia mengahadapi kondisi yang sulit terutama ketika menghadapi penyebaran varian delta virus Covid-19 pada kuartal III-2021.Â
Hal ini terindikasi dari peningkatan konsumsi belanja masyarakat pada komponen transportasi dan komunikasi serta restoran dan hotel, yang berkaitan erat dengan perbaikan kinerja sektor pariwisata.
Dari perspektif kelompok sosial ekonomi masyarakat, konsumsi masyarakat kelas menengah yang berkontribusi sekitar 36% dari konsumsi nasional berpotensi melambat di tengah peningkatan pengeluaran namun pendapatan masyarakat kelas menengah tersebut belum mengalami penyesuaian karena penyesuaian Upah Minimum Provinsi (UMP) yang baru akan terjadi pada awal tahun 2023.Â
Sementara itu, konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah ditopang dengan kebijakan bantuan sosial dari Pemerintah, sehingga harapannya dapat membatasi potensi kenaikan tingkat kemiskinan dan tingkat ketimpangan sosial. Namun, konsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi cenderung masih solid yang juga terkonfirmasi dari belanja leisure.
Sekalipun kondisi perekonomian domestik cenderung cukup solid karena ditopang konsumsi masyarakat yang diperkirakan dampaknya terbatas dari risiko perlambatan ekonomi global, namun kondisi dari sisi produksi/lapangan usaha cenderung bervariasi di mana ada sektor-sektor ekonomi yang cenderung solid namun tidak sedikit juga sektor-sektor ekonomi yang sudah mulai mengalami dampak perlambatan ekonomi global.Â
Laju pertumbuhan sektor pertanian, yang berkontribusi sekitar 13% dari ekonomi Indonesia, cenderung flat sekitar 1,6%, sementara itu sektor manufaktur yang proporsinya sekitar 18% dari ekonomi, tumbuh meningkat dengan laju pertumbuhan 4,8%. Dan sejalan dengan konsumsi masyarakat yang meningkat pada konsumsi leisure, kinerja sektor yang berkaitan dengan pariwisata seperti transportasi dan restoran&hotel mencatatkan pertumbuhan yang double digit.
Sementara itu, sekalipun sektor manufaktur menunjukkan kinerja yang positif, namun beberapa sektor manufaktur sudah mulai mengalami penurunan kinerja seperti industri rokok, karet, semen, furnitur dan tekstil.Â
Sebagian dari industri yang mengalami penurunan kinerja didorong oleh peningkatan biaya produksi namun juga sebagian industri mulai mengalami penurunan permintaan global seperti tekstil dan furnitur akibat perlambatan ekonomi dari negara tujuan ekspor seperti Eropa dan Amerika Serikat.Â
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa industri manufaktur yang berorientasi ekspor cenderung akan terkena dampak lebih besar dari resesi global.Â
Selain itu, industri yang memiliki komponen bahan baku impor juga akan menghadapi kondisi yang berat sejalan dengan kenaikan harga bahan baku ditambah lagi dengan pelemahan nilai tukar Rupiah.Â
Sementara itu, kinerja industri pengolahan logam dasar terutama nikel cenderung masih solid dan prospektif terindikasi dari laju pertumbuhannya yang tercatat double digit sejalan dengan investasi yang meningkat pada hilirisasi nikel yang salah satu hasil produksinya adalah baterai yang pada akhirnya merupakan komponen penting pada industri mobil listrik.
Seiring dengan inflasi yang melanda ekonomi global, sebagian bank sentral merespon dengan melakukan pengetatan moneter.Â
Fed merespon dengan tapering di awal tahun dan kenaikan suku bunga sebesar 375bps hingga saat ini, sementara bank sentral Inggris Raya, Bank of England (BoE) sudah menaikan sebesar 275bps.Â
Bank sentral kawasan Eropa, European Central Bank (ECB) menaikan suku bunganya sebesar 200bps. Kenaikan suku bunga kawasan Eropa ini berimplikasi pada ketidakstabilan di jangka pendek pada pasar keuangan maupun potensi ketidakstabilan global di jangka menengah hingga panjang.
Dilihat dari sejarahnya, kenaikan suku bunga tidak serta merta mendorong resesi global. Pada umumnya kenaikan suku bunga hanya berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi hingga level tertentu. Namun dalam kasus ini, kenaikan suku bunga yang signifikan berpotensi mendorong perlambatan global, terutama karena laju kenaikannya yang relatif sangat cepat.Â
Hal ini serupa dengan resesi yang terjadi pada awal tahun 80an, yang terjadi akibat kenaikan harga komoditas global. Kondisi ini secara gradual sudah mulai terlihat, di mana indikator ekonomi, baik di AS maupun Eropa, secara perlahan mulai mengalami perlambatan.
Potensi resesi global berpotensi ikut mendorong perlambatan dari ekonomi Indonesia sendiri seiring dengan semakin terbukanya perekonomian Indonesia.Â
Berbeda dengan negara maju yang pasar keuangannya sudah dalam, potensi resesi global Indonesia cenderung berasal dari sisi penurunan ekspor diikuti oleh penurunan investasi langsung, yang berdampak pada semua sendi perekonomian di derajat tertentu.
Pilihan Kebijakan Pemerintah dalam Menangkal Dampak Resesi Global
Dalam mengantisipasi dampak resesi global tersebut, pemerintah dapat mendorong beberapa kebijakan untuk sektor-sektor yang sangat mengandalkan ekspor.Â
Pemerintah mungkin dapat lebih memprioritaskan terutama untuk sektor-sektor yang berdampak pada tenaga kerja yang lebih besar.Â
Sektor yang pertama perlu diperhatikan adalah sektor pertanian, dalam hal ini sektor yang berbasiskan ekspor. Hal ini dikarenakan sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki banyak tenaga kerja, sehingga bila sektor pertanian mendapatkan tekanan resesi, maka dikhawatirkan berdampak pula tingkat konsumsi masyarakat secara umum.Â
Dalam pelaksanaannya pemerintah dapat membantu melalui pelonggaran ekspor ataupun dari sisi subsidi pupuk atau barang input utama lainnya.Â
Dengan penurunan harga komoditas dan potensi penurunan volume permintaah, dampak resesi diperkirakan dapat lebih terbatasi oleh intervensi dari sisi supply agar biaya dapat ditekan. Di sisi lainnya, pemerintah mungkin dapat mengadvokasi perpindahan ke pasar domestik di kala masa resesi.
Selain dari sisi ekspor, pemerintah dapat juga menintervensi perekonomian dari sisi pelonggaran aturan investasi, terutama bagi para investor domestik.Â
Dengan terjadinya resesi yang mendorong investor untuk wait and see, pemerintah mungkin dapat mendorong para pelaku usaha domestik melalui berbagai pelonggaran aturan investasi lanjutan, dengan harapan bahwa investor domestik dapat berperan dalam investasi di kala resesi global.
Dari sisi konsumsi, diperkirakan dampaknya terbatas, terutama bila tingkat inflasi masih dapat dikendalikan secara umum. Namun demikian, potensi tekanan dari komponen konsumsi masyarakat adalah dari sisi tingkat pengangguran yang meningkat, terutama dari sektor-sektor yang terdampak.Â
Pada tahun 2008, tingkat pengangguran Indonesia cenderung tidak terdampak oleh resesi global. Hal ini menandakan bahwa potensi dampak terhadap pengangguran relatif sangat terbatas. Meskipun demikian, pemerintah tetap perlu mengantisipasinya melalui kebijakan kartu pra-kerja yang sebelumnya sudah diterapkan.
Tantangan utama pemerintah adalah terkait ruang APBN yang sangat terbatas pada tahun 2023 mendatang akibat normalisasi kebijakan APBN.Â
Dengan batas defisit kembali ke level 3%, pemerintah perlu memilah prioritas kebijakan, apakah perlu lebih defensif (prioritas antisipasi resesi global), ataukah lebih agresif (meneruskan prioritas pembangunan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H