Harga bahan bakar juga berpotensi meningkat akibat tekanan nilai tukar dan harga minyak global yang terus meningkat. Kenaikan inflasi ini kemudian menggerus daya beli masyarakat, terutama pekerja.
Resesi global yang berpotensi terjadi mempunyai perbedaan dengan krisis-krisis sebelumnya, terutama dengan krisis pandemi.
Krisis pandemi berawal dari penurunan aktivitas ekonomi akibat menyebarnya pandemi COVID-19. Sementara itu, krisis 2008 berasal dari burst yang terjadi pada aset derivatif di AS yang kemudian melebar ke berbagai aset finansial global.
Potensi resesi pada kali ini cenderung berasal dari potensi stagflasi di berbagai negara. Stagflasi berasal dari kenaikan inflasi di sebagian besar sektor akibat bahan baku yang meningkat, utamanya komoditas energi dan pangan, namun inflasi ini juga tidak diimbangi oleh peningkatan permintaan, sehingga daya beli masyarakat secara umum mengalami penurunan.
Penurunan daya beli masayarakat kemudian mendorong perlambatan pengeluaran konsumen secara global.
Selain dampak dari kondisi resesi perekonomian global, perekonomian Indonesia juga menghadapi tantangan terutama dengan kenaikan harga BBM.
Patut kita sadari bahwa jumlah nilai subsidi BBM saat ini telah mencapai 502 triliun, angka yang cukup besar karena jumlah ini mencapai 16% dari total belanja pemerintah dalam Perpres 98/2022.
Jika pemerintah tidak melakukan pengendalian atau menaikkan harga BBM, angka subsidi ini berpotensi membengkak menjadi Rp700 triliun.
***
Penjelasan lengkap mengenai Dampak Penyesuaian Harga BBM Domestik dapat dibaca pada artikel ini (di sini)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H