Patut kita sadari bahwa jumlah nilai subsidi BBM saat ini telah mencapai 502 triliun, angka yang cukup besar karena jumlah ini mencapai 16% dari total belanja pemerintah dalam Perpres 98/2022. Jika pemerintah tidak melakukan pengendalian atau menaikkan harga BBM, angka subsidi ini berpotensi bengkak jadi IDR 700 triliun.Â
Pilihan menaikkan harga saat ini menjadi lebih realistis mengingat pengendalian konsumsi melalui digitalisasi masih membutuhkan waktu persiapan, padahal kuota anggaran subsidi diperkirakan habis pada Oktober/November.
Bantalan sosial memang diperlukan ketika harga BBM dinaikkan, mengingat kenaikan BBM akan mengerek inflasi lebih tinggi sehingga menggerus daya beli masyarakat, terutama masyarakat miskin yang selama ini juga sudah mengandalkan bantuan sosial untuk menjaga daya beli mereka.
Dengan diumumkannya bantalan sosial terlebih dahulu, maka kecemasan masyarakat miskin mengenai daya beli mereka dapat berkurang dan mengurangi potensi gejolak sosial yang terjadi.
Kami menilai, level psikologis Rp 10.000 dapat menjadi penetapan harga untuk mengurangi beban subsidi BBM agar nilai subsidi dalam APBN tidak bengkak menjadi IDR 700 triliun, atau tetap Rp 502,6 triliun.Â
Dari sisi daya beli, kami menghitung direct Impact kenaikan pertalite 30,72% menjadi Rp10.000/liter ke inflasi (proporsi pertalite 85% total bensin) sebesar 0,99%.
Untuk indirect impact, kami perkirakan akan sebesar setengah dari direct impact atau sekitar 0,50%. Sementara jika harga Solar naik menjadi Rp6.800/ liter (atau naik 32,04%), maka direct impact terhadap inflasi diperkirakan sekitar 0,05% namun indirect impact sekitar 0,5%.Â
Sementara kenaikan harga Pertamax sebesar Rp2000 menjadi Rp14.500 per liter juga mendorong tambahan inflasi sebesar 0,15% dimana direct impact sebesqr 0,1% dan indirect impact sebesar 0,15%.
Jadi secara keseluruhan, jika pemerintah menaikkan Pertalite menjadi Rp10.000, Solar menjadi Rp6.800 dan Pertamax menjadi Rp14.500, maka ada tambahan inflasi sekitar 2,2%. Dengan, hingga akhir tahun ini, inflasi diperkirakan akan berkisar 6-7% sementara inflasi inti diperkirakan akan berkisar 4-5% hingga akhir tahun ini.
Program bantuan langsung tunai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak adalah program yang bertujuan agar kenaikan harga yang terjadi tidak menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat mengingat second round effect dari kenaikan harga BBM juga berpotensi mendorong kenaikan harga-harga barang pada umumnya.Â
Mengingat bansos tersebut diberikan bagi masyarakat miskin, pekerja dengan penghasilan Rp3,5jt per bulan serta ada alokasi subsidi transportasi, sehingga diharapkan dengan skema bantalan sosial pengalihan subsidi BBM tersebut plus ditambah lagi dengan alokasi anggaran perlinsos yang reguler diperkirakan akan dapat membatasi penurunan daya beli masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah.
Dampaknya dari kenaikan harga BBM tersebut yang diikuti dengan kenaikan inflasi dan potensi kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia sekitar 75-100bps hingga level 4,5%-4,75% hingga akhir tahun ini yang ditujukan untuk menjangkar inflasi inti tahun 2023 agar kembali dalam sasaran inflasi BI yakni 2-4%.
Sementara, perlambatan pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan mulai terindikasi pada kuartal IV-2022 meskipun pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan berkisar 5% pada full year 2022 namun dampak kenaikan harga BBM tsb akan lebih signifikan pada pertumbuhan ekonomi tahun 2023 yang diperkirakan cenderung melambat ke kisaran 4,8-4,9%.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H