Mohon tunggu...
Josua Gesima
Josua Gesima Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S2

Seorang yang berkecimpung dalam Teologi, Filsafat, Ekonomi, Ekologi, dll.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Teknologi Indonesia Kini dan Teologi Publik

18 November 2022   00:32 Diperbarui: 18 November 2022   00:31 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi tidak satupun yang setuju bahwa manusia tidak mencintai jenis pengetahuan yang salah, dengan cara yang salah dan tujuan yang salah. Sehingga diperlukan penafsiran historis untuk mencapai rasa ingin tahu (buruknya disebut acedia) di mana orang mengalami ke gelisahan berpikir yang tidak berguna yang mengalihkan perhatian mereka dari tujuan mereka. 

Agustinus menggambarkannya dengan dosa kedua yaitu keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup (1 Yohanes 2:16). Berbeda hal dengan pengetahuan intelektual, pengalaman intelektual berfungsi sebagai jembatan rasa ingin tahu terhadap kebanggaan dalam hidup. Ada empat tipologi dalam keingintahuan.

  • Objek Pengetahuan, yang menuntut mengetahui hal-hal yang hanya dapat diketahui oleh Tuhan -- masa depan. Misalnya, rahasia teologi yang berada diluar jangkauan. Ada hal-hal yang mungkin bisa diketahui tetapi seharusnya tidak perlu di cari tahu (disebut keingintahuan yang arogan) atau mencari milik orang lain yang seharusnya tidak perlu untuk di ketahui (disebut keingintahuan mencampuri). Sehingga muncul godaan arogan yang berpikir bahwa apa pun yang ingin di ketahui harus sesuai dengan keinginan.
  • Mode dari Pengetahuan, disebut dengan "keingintahuan yang tidak terkendali", rela berbuat jahat demi memperoleh ilmu, seperti mencari ilmu dari roh jahat. Apalagi ketika pengetahuan anak lebih baik dari pada orangtuanya yang menyebabkan si anak membentak orangtuanya (disebut Keingintahuan yang tidak sopan). Ini digambarkan sebagai bentuk spesies pergaulan bebas intelektual, di dorong oleh kecanduan pada hal baru dan dorongan untuk mengulangi pengalaman penemuan (disebut keingintahuan yang dangkal).
  • Akhir dari Pengetahuan, bahwa pengetahuan yang jahat itu posesif di mana tidak menikmati objek pengetahuan tetapi hanya tindakan mengetahuinya. Pengetahuan tentang kebenaran adalah kebaikan yang menjadi milik semua orang, tetapi keingintahuan untuk memprivatisasi penemuan. Bisa jadi manusia mencintai dunia demi Tuhan, atau manusia akan mencintai dunia demi dirinya sendiri (menjadi penyembahan berhala) disebut sebagai pengetahuan yang posesif. Pengetahuan yang posesif terlebih dalam media sosial "Facebook" di mana orang dapat berbagi, berkomentar, dan membagikan yang pada akhirnya menjadi Nafsu Mata (kecanduan Pornografi yang menghancurkan pembentukan pertumbuhan pemikiran dan cara pandang seseorang).
  • Dopamin dan Ekosistem Keingintahuan, disebut bagian otak yang memotivasi untuk mengejar dan memahami hal-hal baru dalam menghadapi perasaan seperti dopamin dan membutuhkan pengalaman yang lebih intens disebut sebagai kecanduan. Oleh karena itu dorongan kompulsif untuk membuka email atau halaman web tanpa alasan tertentu, untuk menjelajah dengan waktu yang lama tanpa berpikir, terutama pada gambar, mengikuti tautan demi tautan yang akhirnya paralel ke semua tautan yang ada "clickbait".

Jadi, hubungan Teologi dengan pengembangan dan pemanfaatan teknologi dapat di bantu oleh pengetahuan dan keingintahuan yang baik, yang memiliki hubungan antara kondisi internal dan eksternal dari kebiasaan seseorang mencari tautan yang baik. 

Sehingga akan mendapatkan tautan yang baik di kemudian, tetapi apabila hasil pencarian seseorang itu mengandung hal yang tidak baik maka akan menjadi adiksi yang merusak komponen pandangan orang tersebut sehingga muncul acadia "kebosanan metafisik" yang artinya sifat buruk bagaimana cara hidup dunia modren. 

Tetapi tidak terlepas bahwa setiap manusia menciptakan mesin keingintahuannya sendiri, sehingga manusia berada di bawah belas kasihan ciptaan sendiri, di kondisikan dan di biasakan ke dalam versi yang lebih dalam dari kejahatan yang telah kita mulai terhadap keingintahuan. Sehingga dituliskan pandangan ini agar memperoleh kembali perspektif dan kesadaran diri untuk menumbuhkan kebiasaan berbudi luhur dalam penggunaan dan penerapannya. 

Oleh sebab itu, penggunanya harus berhati-hati mengenali budaya keingintahuan dan menghuninnya. Maka kita harus dapat melampaui penggunaan yang baik dalam berdigitalisasi di era postmodren saat ini agar mendatangkan kebajikan "mencari pengetahuan yang baik".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun