Nama:Josua a.p simamora(200904007)
Prodi ilmu komunikasi fisip USU
Membentuk sebuah keluarga membutuhkan kesiapan tidak hanya materi tetapi juga
kesiapan moral, dan emosional. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi sebuah
masalah yang tidak kunjung usai hingga saat ini, baik itu kekerasan dalam bentuk fisik,
psikis, seks serta ancaman, pelecehan, dan penganiayaan. Kasus ini seharusnya bisa dihindari
karena fungsi keluarga yang sudah selayaknya saling menghargai dan mencintai bisa berubah
menjadi saling membenci yang memicu terjadinya KDRT. Terbukti dari data penelitian,
bahwa kasus perceraian di Indonesia setiap tahun terus melonjak.
Angka perceraian di tahun 2021 mengalami peningkatan 54% dibanding tahun 2020 yaitu
dari 291.677 kasus menjadi 447.743 kasus, salah satunya ialah kasus Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT).Pemicu kasus tersebut biasanya melingkupi masalah
perselingkuhan, ekonomi, dan persoalan emosi yang tidak terkontrol. Tentu Perceraian yang
disebabkan oleh KDRT memberikan dampak yang besar terlebih pada tumbuh kembang dan
masa depan anak. Pemerintah memang melakukan beberapa upaya pencegahan untuk
permasalahan ini ,
namun masih dibutuhkan partisipasi masyarakat agar lebih melek hukum sehingga
mempermudah sosialiasi kepada pasangan pra menikah agar kasus perceraian ini bisa
diminimalisir.
Di Indonesia pada tahun 2021 angka perceraian mencapai 447.743
angka ini mengalami sebuah lonjakan peningkatan 54% dibanding
dengan tahun sebelumnya yaitu tahun 2020 dengan angka perceraian
291.677 kasus. lonjakan angka perceraian ini disebabkan oleh banyak
faktor salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Kasus
kekerasan dalam rumah tangga ini merupakan hal yang wajar dalam
sebuah rumah tangga, hampir seluruh keluarga pasti pernah
mengalaminya tentunya dengan cara yang berbeda bisa dalam bentuk fisik dan psikis. Kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi pada siapapun
baik itu ayah, ibu, anak namun dominan terjadi kepada perempuan karena
ada stigma masyarakat bahwa perempuan lebih lemah dari laki -- laki , hal
ini juga tidak jauh dari budaya patriarki yang menganggap kaum laki --
laki lebih unggul dari kaum Wanita, ketidakselarasan gender tersebut
yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang
dominan di terima oleh kaum perempuan.
Berdasarkan uraian di atas, maka di butuhkan sebuah Langkah tegas
yaitu pemberian sanksi bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga agar
memberikan efek jera bagi pelaku dan bisa menjadi sebuah aturan yang
harus di taati oleh masyarakat akan pentingnya menjaga perilaku agar
tidak melanggar pasal dan undang -- undang yang berlaku khususnya
dalam perlindungan HAM ( Hak Asasi Manusia ). Dengan itu kami
tertarik untuk lebih mendalami mengenai kasus kekerasan dalam rumah
tangga dan juga kami ingin mencari solusi untuk dapat mengurangi kasus
kekerasan dalam rumah tangga sehingga dapat menekan angka perceraiandjdi Indonesia.Seorang pria di Tanjungbalai berinisial AS (35) tega melakukan
penganiayaan dengan cara meninju istrinya sendiri hanya karena persoalan
sepele. Tindakan kekerasan terhadap istrinya dilakukan ( AS ) gara-gara sang
istri tidak membagi jaringan internet atau hotspot untuk digunakannya
bermain game online
Akhirnya lelaki yang tinggal di Jalan Anggur Kelurahan Pantai Johor
Kecamatan Datuk Bandar ini dilaporkan istrinya lewat laporan Polisi nomor
LP/B/77/VII/2022/SPKT/Polsek DTB/Polres Tanjungbalai. Akibat sikap
arogannya itu ( AS ) pun ditangkap.
Dari berita tersebut kita mengetahui, bahwa hal - hal sepele dapat
menyebabkan terjadinya kasus kekerasan di dalam rumah tangga. Jika hukum tidak menegaskan terhadap hal seperti itu,maka kasus kekerasan dalam rumah
tangga akan lebih melonjak dari tahun ke tahun.
Dikutip dari (https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan) secara khusus
selama lima tahun terakhir, terdapat 36.367 kasus KDRT dan 10.669 kasus
ranah personal.
Selain itu, perlu perhatian khusus terhadap korban kekerasan dalam rumah
tangga karena akibat dari kekerasan tersebut korban bisa menjadi disabilitas,
memiliki keinginan bunuh diri, trauma berkepanjangan, dan hilangnya rasa
percaya diri.
Karena itu, korban membutuhkan pemulihan komprehensif
sebagaimana telah diatur dalam UU Penghapusan KDRT Nomor 23 Tahun
2004, Namun, pelaksanaan UU PKDRT sendiri masih menemui sejumlah
hambatan yang memastikan korban mendapatkan keadilan dan pemulihan.
Hambatan itu, antara lain, tingginya korban yang mencabut
laporan/pengaduan serta penafsiran terhadap Pasal 2 tentang ruang lingkup
rumah tangga dalam UU PKDRT, khususnya perkawinan tidak tercatat.
Selain itu, aparat penegak hukum belum memiliki perspektif korban
dan hak asasi perempuan dan belum maksimalnya penjatuhan pidana
tambahan pembatasan gerak pelaku, pembatasan hak-hak tertentu dan
mengikuti program konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Dikutip dari berita,melalui (https://www.detik.com/sumut/hukum-dan-
kriminal/d-6194063/suami-tinju-istrinya-gegara-tak-diberi-hotspot-untuk-
game-online.)
https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view
=article&id=677:penegakan-hukum-kejahatan-kekerasan-dalam-rumah-
tangga&catid=101&Itemid=181
https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view
=article&id=653:undang-undang-no-23-tahun-2004-tentang-penghapusan-
kekerasan-dalam-rumah-tangga-uu-pkdrt&catid=101:hukum-
pidana&Itemid=181
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H