Memang, Tahir bukan pengendali di RTV, tapi peristiwa akuisisi sebagian ini cukup membuat saya berasumsi jika Tahir mulai menaruh kepedulian yang besar pada televisi yang ramah pada anak dan perempuan. Seperti diketahui, program RTV banyak yang ramah anak dan mencuri hati pemirsanya.Â
Sebut saja Dubi Dubi Dam dan Pesta Sahabat yang diproduksi sendiri, dan sejumlah tayangan animasi seperti Tayo The Little Bus. RTV juga pernah mendapat predikat Televisi Ramah Anak dari Komisi Penyiaran Indonesia pada 2017. Bayangkan, hanya dengan Tayo saja, RTV sudah meraup kue iklan yang cukup banyak pada jam utama ketika anak banyak menonton televisi. Bahkan, lagu tema Tayo berbahasa Indonesia yang diunggah pada kanal YouTube resmi RTV saja sudah ditonton ratusan juta kali! Sebuah angka yang sangat fantastis bagi lagu tema tayangan layar kaca di Indonesia saja.
Keprihatinan masyarakat terus membukit akan konten tayangan yang lebih banyak dianggap "merusak" moral generasi penerus bangsa dengan tingginya angka tayangan mengandung kekerasan, perundungan (bullying), percundangan fisik (body shaming), hipereksploitasi terhadap perempuan, pelanggaran privasi, promosi penggunaan obat dan narkotika, hingga mempromosikan perilaku negatif.Â
Saya telah banyak membahas ini dalam beberapa artikel yang pernah saya tulis, misalnya tentang penghentian program YKS di Trans TV dalam "Mencari Suaka Hiburan di Udara" pada 2014 lalu, ataupun dalam kajian bersama jurnalis, pegiat media penyiaran, dan aktivis yang memperjuangkan tayangan sehat.Â
Pada intinya saya dengan ketiga kelompok ini sepakat, bahwa kerangka berpikir kita, baik sebagai pekerja televisi maupun penikmat tayangan televisi, terhadap televisi itu sendiri, harus diperbaiki.Â
Seperti yang CEO NET, Wishnutama katakan dalam sambutannya di NET 3.0, televisi lebih dari sebuah kotak yang menjembatani antara pekerja media dengan audiensnya tentang apa yang dilihat, didengar, dan dirasa dari sebuah karya yang tengah ditonton.
Kerangka berpikir kita tentang televisi, sebagaimana yang saya maksud, jika diperbaiki, tentunya akan mengubah pandangan dan tindak-tanduk semua pemangku kepentingan dalam membenahi sengkarut industri penyiaran, terutama penyediaan konten yang aman dan ramah untuk ditonton semua kalangan, bukan hanya penonton sesuai dengan segmennya.
Kita masih terjebak dalam oase kelam bahwa televisi spesifik gender dan televisi tersegmentasi sesuai usia dan segmen konsumen dapat menjadi pintu keluar terakhir bagi kejemuan hebat dalam industri ini.Â
Lagipula, industri penyiaran bukan seperti industri makanan yang bisa selalu disegmentasi kelompok konsumennya, karena saking bebas dan diversenya industri ini.Â
Penyiaran telah terelaborasi dengan berbagai kepentingan yang dapat membangun dan mengendalikan pola pikir pemirsa sebagai konsumen terakhir media. Mau seribu kanal serupa MyTV hadir di Indonesia pun takkan menyelesaikan masalah utama dari buruknya produksi konten televisi, yaitu paradigma, stigma, tendensi dan operasi dari stasiun televisi itu sendiri.
Maksudnya adalah, paradigma yang mendasari lahirnya sebuah program. Biasanya dalam praproduksi, stasiun televisi akan menentukan tujuan dan manfaat akademis dan empiris dari tayangan yang hendak dibuat.Â