Mohon tunggu...
Joshua Krisnawan
Joshua Krisnawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Journalist of Suara Baptis and Indonesia Travel Signature magazine

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mahalnya Nyawa di Negeri Singa Asia

14 Agustus 2014   16:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:34 2037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kok 'Singa Asia'? Beda dengan 'Macan Asia' ya? Ya, saya menyebut negeri jiran Singapura dengan 'Singa Asia'. Bukan karena latah dengan jargon kampanye politik, namun cukup pantaslah jika negara kota itu saya nobatkan sebagai 'raja hutan' di kawasan Asia. Selain tentu saja karena ikon 'Merlion' yang tenar itu, patung ikan berkepala singa.

Sudah kali ke-12 paspor saya mendapat stempel 'visit pass' di imigrasi Singapura. Bukan sebagai TKI, namun hanya sebatas kunjungan dan sesekali merampungkan pekerjaan. Bukan karena saya berlimpah uang kemudian shopping di sepanjang Orchard Road seperti kebanyakan kaum sosialita, tetapi saya datang atas undangan dari kerabat di Singapura.

Saya masih teringat, saat kali pertama di penghujung 2009 saya mendarat di Bandar Udara Changi untuk sekedar transit dan melanjutkan penerbangan ke Hong Kong. Sebagai orang kampung yang baru satu kali ke luar negeri, saya sangat kagum dengan penataan pun fasilitas yang ada di salah satu bandar udara terbaik di dunia itu. Betapa segala kenyamanan yang disediakan sangat memanjakan penumpang pesawat yang datang, pergi, ataupun hanya transit seperti saya. Sangat berbeda dengan kebanyakan bandar udara domestik yang pernah saya singgahi.

Singapura, negara dengan luas wilayah yang tidak lebih besar dari DKI Jakarta, dengan jumlah penduduknya yang mungkin juga tak lebih dari 6 juta jiwa, memang menjadi kota yang sama sekali berbeda dengan kebanyakan kota besar di Asia Tenggara. Fasilitas dan tata ruang yang sangat baik, membuat saya serasa berada ribuan kilometer jauhnya dari Jakarta. Tidak menjumpai kemacetan yang aduhai, tidak juga pemukiman slum yang memesona.

Melihat keteraturan itu, saya mencoba berpikir, uang siapa yang digunakan untuk membangun negara yang usia kemerdekaannya 20 tahun lebih muda daripada negara kita? Mungkin dari sektor bisnis dan pariwisata, dengan pebisnis dan wisatawan asal Indonesia yang menjadi kontributor terbesarnya. Belum lagi pasien yang memilih berobat di sana ketimbang di rumah sakit dalam negeri. Saya menghela nafas. Negara kecil, yang bahkan harus mengambil pasir dari Indonesia untuk reklamasi laut, dan membeli air dari Malaysia untuk kebutuhan hidup sehari-hari, menjadi negara yang kemajuannya jauh meninggalkan dua negara tetangganya itu.

Geliat pembangunan di setiap sudut kota. Apartemen, pusat bisnis, pusat perbelanjaan, tumbuh seperti cendawan di musim duren hujan. Proyek raksasa perluasan jaringan transportasi massal MRT (Mass Rapid Transit) seolah seperti proyek Roro Jonggrang membangun Gunung Tangkuban Perahu. Oh, lebih tepatnya seperti Bandung Bondowoso membangun 1000 candi. Saya pulang, dan beberapa saat ketika saya datang lagi sudah ada jalur baru yang dioperasikan.

[caption id="attachment_319122" align="aligncenter" width="448" caption="Membangun, Tanpa Abai Lingkungan (Sumber: Dokumen Pribadi)"][/caption]

Pembangunan infrastruktur di Singapura memang sungguh gila. Mungkin Jakarta juga sama gilanya. Namun ada hal yang sangat membedakan antara proses pembangunan di Singapura dengan yang terjadi di Indonesia. Pertama, sekalipun membangun gedung dan infrastruktur transportasi dengan memakan lahan yang luas, mereka selalu wajib menyediakan lahan untuk membuat lahan terbuka hijau ataupun sekedar taman untuk menjaga keasrian lingkungan. Coba bandingkan dengan kebanyakan proyek yang ada di negara kita.

Kedua, dan ini yang membuat saya semakin iri dengan negeri sebelah itu, adalah faktor keamanan dan kenyamanan yang tetap terjaga selama proses pembangunan. Sebagai contoh kecil, saat ada pengerjaan jalan atau bangunan yang mengharuskan menutup akses lalu-lintas dan pejalan kaki, maka pelaksana pembangunan wajib hukumnya untuk mengalihkan jalur lengkap dengan standar keamanan dan petunjuk yang sangat jelas untuk dipahami. Seluruh area proyek ditutup rapat dengan seng atau sejenisnya, dengan cat yang rapi. Bahkan sambungan antar seng yang memungkinkan tangan atau tubuh pejalan kaki tergores, ditutup rapat dengan plester atau sejenisnya. Tak ada lubang yang dibiarkan menganga dan membahayakan pengguna jalan. Tak ada oknum yang mengatur jalan sembari menadahkan kantong sumbangan. Penerangan area pejalan kaki juga tidak dibiarkan terganggu dengan adanya pembangunan tersebut.

Dari bidang konstruksi saja, terlihat bahwa keamanan dan keselamatan nyawa warga sangat diperhatikan di Singapura. Para pekerja konstruksi yang mungkin kebanyakan berasal dari Bangladesh atau Pakistan, meskipun diangkut dengan kendaraan semi-terbuka mereka tetap mengenakan helm dan duduk dengan rapi. Benar-benar 'safety first'.

Dalam bidang transportasi pun demikian halnya. Bayi, ibu hamil, lansia, dan penyandang disabilitas memperoleh prioritas. Akses ke bus maupun MRT memungkinkan mereka tetap nyaman bepergian. Untuk kendaraan pribadi, selalu wajib menggunakan baby car seat untuk bayi dan anak-anak. Duduk di kursi depan dengan menghadap ke belakang. Sungguh aturan kenyamanan dan keselamatan yang belum diterapkan di negara kita. Safety belt? tidak perlu disuruh, karena juga tidak ada polisi yang mengawasi dan berjaga di setiap persimpangan jalan.

Pejalan kaki juga nyaman dengan pedestrian dan jembatan penyeberangan yang sama sekali bebas pedagang liar dan preman. Sementara di Indonesia? Trotoar habis, pejalan kaki harus melipir melalui bahu jalan dan itu cukup membahayakan. Pengendara motor juga kurang memikirkan keselamatan diri dan orang lain, ngebut, terkadang tidak mengenakan helm, bahkan berboncengan tiga orang. Kacau.

Bukan hanya penyediaan infrastruktur dan transportasi massal yang mengutamakan keselamatan dan pemeliharaan lingkungan. Untuk urusan makanan dan jajanan, Singapura jauh lebih manusiawi dari negara kita. Saya tidak menjamin 100% selalu bersih. Hanya saja, kita tidak akan banyak melihat pedagang menjajakan makanan jalanan seperti di depan sekolah, halte, atau terminal pada umumnya di Indonesia. Semua usaha makanan, harus terdaftar dan memenuhi standarisasi kelayakan dan kesehatan. Lumayan mengikis rasa was-was saya saat harus mencari makan siang di foodcourt di pasar-pasar atau yang lazim disebut dengan hawker centre.

Untuk bidang kesehatan, di Singapore instansi penyelenggara layanan kesehatan selalu ada dalam pengawasan kementerian kesehatan. Bahkan, pengobatan tradisional seperti akupuntur dan tabib, juga memerhatikan aturan-aturan dari otoritas terkait. Apotek atau toko obat, juga tidak dapat melayani pembelian obat tanpa resep kecuali obat ringan seperti paracetamol alias acetaminophen. Mungkin, apotek-apotek di Indonesia juga sudah ada yang memulai memperketat penjualan obat-obatan yang berlabel 'under medical prescription only'. Salah obat dan kelebihan dosis bisa-bisa mengancam nyawa konsumen.

Berapa puluh ribu CCTV yang terpasang di seluruh fasilitas umum di Singapura? tidak lagi terhitung. Otoritas keamanan memasang CCTV hampir di setiap sudut gedung dan tempat umum seperti halte bus dan stasiun MRT. Sebuah langkah preventif yang baik untuk memonitor aktivitas masyarakat dan meminimalkan niat untuk melakukan kejahatan. Membuat siapa saja merasa lebih aman dan nyaman, kecuali para kriminal.

Akan terlalu banyak dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk menuliskan semua kenyamanan Singapura. Tidak ingin membanding-bandingkan dengan Indonesia, hanya saja sebagai pengunjung saya merasa nyawa saya sangat dihargai di negara itu. Bahkan hal-hal sepele pun dipikirkan untuk membuat saya dan jutaan orang lainnya dipastikan dalam keadaan aman.  Di Indonesia, saya sebagai warga negara pun belum mengalami perlindungan yang sebegitu lengkapnya. Apalagi para turis asing yang datang berwisata ke Indonesia.

Sekali lagi, tidak ingin membuat perbandingan. Sedih rasanya. Tapi itu adalah fakta dan realita, kondisi sebenarnya yang benar-benar saya alami. Saya selalu iri, dan berharap suatu saat kelak negara kita bisa mencapai kemakmuran yang setingkat itu di mana kita sebagai warga negara dapat merasa nyaman dan aman ketika berjalan di manapun. Mungkin jumlah warga yang sedikit, membuat harga nyawa di Singapura lebih mahal. Namun bukan berarti nyawa orang Indonesia sah untuk tidak dihargai dan dianggap murah.

Memupus kesedihan saya, file-file foto keelokan alam nusantara saya buka kembali. Foto-foto perjalanan saya ke pantai dan goa di kawasan Geopark Gunungsewu pesisir selatan pulau Jawa nan eksotik membuat saya kembali bangga dengan Indonesia. Belum lagi ribuan destinasi domestik lainnya seperti Danau Toba, Belitung, Gunung Merapi dan Bromo, Bali, Lombok, Wakatobi, Bunaken, Raja Ampat, membuat Indonesia menjadi permata khatulistiwa. Singapura, tak akan sanggup membuat tiruannya.

Refleksi jelang HUT RI ke-69 #1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun