Mohon tunggu...
Gregory Josh Adrianto
Gregory Josh Adrianto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA Kolese Kanisius, Anggota ADK (Anak Desain Kanisius), Pengguna Aktif KRL

Desain menjadi bagian dari hidup saya, tidak luput dengan dunia K-POP yang kian mewarnai hidup saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Apakah Aku Ini?

21 November 2024   19:05 Diperbarui: 21 November 2024   19:09 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua santri yang sedang mengobrol | dokumentasi pribadi kelompok Ekskursi 2024

Apakah aku ini? Apakah aku hanya sekumpulan daging, tulang, dan pikiran yang terprogram? Ataukah ada sesuatu yang lebih mendalam yang mendefinisikan diriku? Jika aku ini hidup, apa yang membedakan aku dari makhluk lain yang bernapas dan bertumbuh?

 Apakah aku didefinisikan oleh apa yang aku lakukan, pikirkan, atau rasakan? Jika aku mati, apakah aku benar-benar berhenti ada, atau apakah ada bagian dari aku yang tetap berlanjut? Bagaimana aku tahu bahwa aku ini nyata dan bukan sekadar ilusi atau mimpi? Jika aku ini ada, apa yang seharusnya aku lakukan dengan keberadaanku?  

Siapakah aku? Aku adalah individu yang lahir ke dunia tanpa pilihan, tetapi diberi kebebasan untuk menentukan jalan hidupku. Apakah aku hanya tubuh yang bernapas, ataukah ada jiwa yang lebih dalam di dalam diriku? Jika aku berpikir, apakah itu cukup untuk membuktikan bahwa aku ada? 

Mengapa aku merasakan berbagai emosi, dari bahagia hingga sedih, dan bagaimana aku bisa memahami apa yang benar-benar aku inginkan? Apakah aku tercipta untuk suatu tujuan tertentu, ataukah aku hanyalah hasil kebetulan dari jutaan tahun evolusi? Mengapa aku terus mencari makna hidup, meskipun tidak ada jaminan aku akan menemukannya? Apakah aku ini unik, atau hanya bagian kecil dari pola besar yang terus berulang?  

Apa sebenarnya makna hadirnya manusia di Bumi? Apakah kita diciptakan untuk sebuah tujuan besar, ataukah eksistensi kita hanya kebetulan dari proses alam semesta yang terus berevolusi? Jika hidup ini hanyalah perjalanan singkat antara kelahiran dan kematian, mengapa kita begitu serius menciptakan sistem, aturan, dan ambisi?

 Apakah makna itu sesuatu yang kita temukan, ataukah kita hanya berusaha menciptakannya agar hidup terasa lebih berarti? Jika Bumi ini begitu indah, mengapa kita sering lupa untuk sekadar menikmatinya dan lebih sibuk menghancurkannya? Mengapa manusia merasa istimewa, sementara ribuan spesies lain hidup dan mati tanpa pernah mempertanyakan alasannya?  

Mengapa manusia terus bertengkar? Apa yang sebenarnya kita perebutkan di dunia ini yang hanya bersifat sementara? Mengapa perbedaan warna kulit, agama, atau kebangsaan menjadi alasan untuk saling membenci, seolah-olah satu pihak lebih unggul daripada yang lain? 

Jika kita semua lahir tanpa membawa apa-apa dan akan mati meninggalkan segalanya, bukankah perbedaan itu hanyalah fatamorgana yang kita ciptakan sendiri? Mengapa manusia menciptakan batas-batas yang memisahkan, sementara pada akhirnya kita semua berbagi nasib yang sama: menjadi debu di bawah langit yang tak berbatas? Apakah kita bertengkar karena ketakutan, atau karena ego yang tidak pernah merasa cukup?

Apakah batas-batas itu nyata? Bukankah negara hanyalah garis di peta, agama hanyalah tafsir atas sesuatu yang tak terlihat, dan identitas hanyalah label yang kita pilih untuk melekatkan diri? Jika kita semua sama-sama hidup di bawah gravitasi Bumi, menghirup udara yang sama, dan meminum air dari siklus yang sama, mengapa kita merasa lebih berhak atas sesuatu daripada orang lain? Apakah ini tentang kekuasaan, atau hanya kebutuhan untuk merasa istimewa? 

Jika batas itu buatan, mengapa kita rela mengorbankan cinta dan kedamaian demi mempertahankannya? Bagaimana kita bisa menyebut diri sebagai makhluk berpikir, jika pikiran kita terus diperbudak oleh batas yang tidak pernah benar-benar ada?

Apa sebenarnya yang ingin kita capai? Apakah tujuan hidup kita sebatas keberhasilan materi, kekuasaan, atau keabadian nama di masa depan? Mengapa kita terus-menerus mengejar sesuatu yang, pada akhirnya, akan ditinggalkan? Apakah kebahagiaan sejati ditemukan dalam pencapaian, atau justru dalam penerimaan? 

Jika kita berlari mengejar mimpi, mengapa mimpi itu selalu terasa semakin jauh? Apakah kita tahu apa yang benar-benar kita cari, ataukah kita hanya mengikuti arus yang sudah ditentukan oleh orang lain? Bagaimana jika tujuan yang kita kejar hanyalah bayangan dari sesuatu yang tidak pernah benar-benar nyata?  

Apa yang kita perjuangkan sebenarnya? Apakah kita benar-benar ingin membuktikan bahwa satu cara hidup lebih baik daripada yang lain, atau hanya takut menerima bahwa kita tidak tahu segalanya? Mengapa keyakinan kita menjadi senjata, bukan jembatan, untuk saling memahami? 

Jika kebahagiaan sejati ditemukan dalam kedamaian, mengapa kita memilih jalan yang penuh konflik? Bukankah kita hanya menyakiti diri sendiri ketika melukai orang lain, karena rasa sakit itu akan terus beresonansi? Jika kita tahu bahwa kehidupan ini rapuh, mengapa kita menghabiskannya untuk kebencian, bukan cinta?

Mengapa kita lupa betapa kecilnya kita? Dalam luasnya alam semesta, Bumi hanyalah setitik debu, dan kita hanyalah bagian dari titik itu. Jika galaksi tidak peduli tentang konflik kita, mengapa kita begitu peduli untuk memenangkan pertarungan yang tidak berarti? 

Bagaimana kita bisa bertengkar di atas tanah yang bahkan bukan milik kita, melainkan dipinjamkan oleh semesta? Jika bintang-bintang yang berjarak jutaan tahun cahaya dari kita bisa hidup berdampingan, mengapa kita yang hidup bersebelahan justru memilih untuk bermusuhan? Apa yang membuat kita begitu buta terhadap fakta bahwa eksistensi kita hanyalah kilatan singkat dalam sejarah kosmik?

Bagaimana jika semua ini kebohongan belaka? Bagaimana jika makna yang kita cari hanyalah ilusi yang kita ciptakan agar tidak merasa hampa? Apa yang akan terjadi jika kita berhenti mempercayai narasi besar yang mengatur hidup kita seperti agama, negara, atau peradaban? Apakah kebenaran itu sendiri ada, ataukah kita hanya berusaha menciptakan versi yang nyaman untuk kita percayai? 

Jika kita mengklaim memperjuangkan sesuatu yang luhur, mengapa hasilnya sering kali penuh luka? Apakah kita benar-benar tahu mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan, ataukah kita hanya mengikuti jejak yang diwariskan tanpa bertanya?  

Lalu, apa yang tersisa? Jika semua ambisi, makna, dan perjuangan itu runtuh, apakah yang tersisa dari manusia selain tubuh yang bernafas dan waktu yang perlahan habis? Apakah kita bisa hidup hanya dengan menerima bahwa tidak ada tujuan besar, dan justru menemukan kebebasan di dalamnya? Bagaimana jika kebahagiaan sejati bukanlah tentang apa yang kita capai, tetapi tentang bagaimana kita hadir di setiap momen? 

Jika kita hanya debu di tengah semesta yang luas, mengapa kita tidak mencoba menjadi debu yang menyebarkan kedamaian, bukan konflik? Apakah mungkin bagi manusia untuk hidup tanpa ilusi, ataukah kebohongan itu adalah syarat untuk bertahan hidup?  

Bumi ini, yang dipinjamkan semesta kepada kita, seharusnya menjadi tempat yang indah jika kita mengingat bahwa kita ini adalah manusia. Sebagai manusia, kita diberkahi akal, rasa, dan kemampuan menciptakan. Mengapa tidak kita gunakan untuk merawat dan menghargai tempat yang menjadi rumah sementara kita? 

Bukankah Bumi, dengan gunung-gunungnya, lautan yang luas, dan langit yang tak bertepi, adalah anugerah yang luar biasa? Jika kita bisa melihat diri kita sebagai bagian dari kesatuan besar ini, bukan pemiliknya, apakah dunia ini tidak akan lebih damai? Apa yang membuat kita lupa bahwa keindahan terbesar adalah hidup berdampingan, bukan saling menjatuhkan?  

Kebebasan yang setiap manusia miliki membuat kita memiliki tanggung jawab untuk menciptakan sesuatu yang indah, sesuatu yang beresonansi dengan semesta. Kebebasan ini bukanlah hak untuk menghancurkan, tetapi kesempatan untuk berkontribusi dalam harmoni besar yang telah lama ada. Jika setiap tindakan kita menghasilkan energi, mengapa tidak memilih untuk menciptakan energi positif yang akan diterima semesta dengan baik? 

Bagaimana jika setiap kebaikan kecil yang kita lakukan adalah gelombang yang menyebar, menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama? Bukankah cinta, kasih, dan penghargaan terhadap kehidupan bisa menjadi nyanyian yang menyatu dengan irama alam semesta? Apa yang membuat kita ragu untuk menciptakan keindahan, padahal kita memiliki semua alat untuk melakukannya?  

Eksistensi kita sementara, dan tidak perlu dipenuhi dengan membeda-bedakan sesama titik dalam debu semesta ini. Mengapa kita menghabiskan waktu yang singkat ini untuk menilai siapa yang lebih tinggi atau lebih rendah, lebih benar atau salah? Jika kita semua adalah bagian kecil dari kosmos yang lebih besar, apa gunanya merasa lebih istimewa daripada yang lain? 

Bagaimana jika kita hidup dengan kesadaran bahwa perbedaan hanyalah warna dalam lukisan besar kehidupan? Jika kita semua akhirnya akan kembali menjadi debu, bukankah lebih baik mengisi waktu ini dengan kebahagiaan, cinta, dan penerimaan? Apa yang bisa lebih indah daripada dunia di mana manusia berhenti melihat perbedaan sebagai ancaman, dan mulai memandangnya sebagai alasan untuk bersyukur?  

Pada akhirnya, Sang Pencipta memiliki rencana yang begitu besar dan agung bagi setiap bagian kecil dari debu semesta ini, termasuk kita, manusia. Setiap elemen, dari bintang yang jauh hingga hembusan angin di Bumi, telah diatur dengan sempurna dalam harmoni yang tak terjangkau oleh akal kita. Jika semesta ini begitu teratur dalam kebesarannya, mengapa kita yang hanya bagian kecil dari rencana itu berani menghancurkan atau menodai keindahan yang telah dirancang dengan cermat? 

Apakah kita lupa bahwa keberadaan kita hanyalah sementara, dan peran kita adalah menjaga, bukan merusak, apa yang telah dipercayakan kepada kita? 

Sang Pencipta telah menetapkan segalanya dengan tujuan, setiap butir debu, setiap helai rumput, hingga kehidupan kita sendiri, untuk menjadi bagian dari lukisan besar yang penuh makna. Jika kita berani melawan harmoni itu dengan kebencian, keserakahan, atau perpecahan, bukankah kita sedang mengingkari rencana indah yang seharusnya kita hargai dan jaga?

Kemarin, saya berkesempatan mengunjungi dan menetap sejenak di Pondok Pesantren Terpadu Bismillah di Serang. Di tempat itu, saya merasakan kedamaian yang sulit dilukiskan, seperti berada di tengah-tengah kehidupan yang penuh makna dan kesederhanaan. Setiap individu yang saya temui menjalani hidupnya dengan cara yang unik, dengan semangat yang menggugah hati. 

Mereka berjuang untuk memenuhi panggilan kepada Sang Pencipta, menghadapi tantangan dan mengatasi kekurangan mereka dengan luar biasa. Di sana, saya memaknai bahwa hidup ini sungguh indah, bukan karena sempurna, melainkan karena setiap manusia menjalankan tugas mulianya dengan keikhlasan dan ketekunan, bahkan dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun.

Saya pun tergerak untuk merenung, apakah benar bagi kita untuk menganggap seseorang lebih baik atau lebih rendah daripada yang lain? Padahal, kita semua lahir dari debu dan pada akhirnya akan kembali menjadi debu. Lalu, apa yang membuat kita merasa layak untuk menilai sesama kita? 

Di pesantren itu, saya melihat bahwa setiap orang, dengan keunikannya masing-masing, adalah bagian dari rencana besar yang telah dirancang oleh Sang Pencipta. Mereka menjalani kisah hidup mereka dengan cara yang tidak bisa dibandingkan, karena semuanya memiliki tujuan yang tidak selalu terlihat jelas bagi mata manusia. Saya sadar, kehidupan ini bukanlah kompetisi, melainkan perjalanan yang saling melengkapi.

Dari pengalaman itu, saya kembali diingatkan betapa indah dan sucinya dunia ini. Betapa warna-warni kehidupan yang hadir di dalamnya adalah anugerah yang seharusnya kita syukuri, bukan kita samakan menjadi satu warna. 

Di pesantren, keragaman tidak menjadi pemisah, melainkan justru memperkaya kebersamaan. Mereka yang saya temui tidak hanya menjaga hubungan mereka dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama manusia dan alam. Saya menyadari bahwa dunia ini terlalu berharga untuk dihancurkan oleh kebencian, keserakahan, atau kesalahpahaman. Setiap warna, setiap kisah, adalah bagian dari lukisan besar yang membuat hidup ini begitu berharga.

Satu hal yang selalu terngiang dalam pikiran saya adalah ungkapan bahwa manusia, dengan segala kebebasan yang dimilikinya untuk berpikir, berkembang, dan berbuat, tidak seharusnya melupakan jati dirinya. Kita tetap manusia, yang hidup di antara manusia, dan bergantung satu sama lain. 

Kebebasan kita bukan alasan untuk menjauhkan diri dari kemanusiaan kita. Justru, kebebasan itu adalah kesempatan untuk saling memahami, menghargai, dan menciptakan keindahan bersama. Di tengah semua kebingungan dunia, pesantren itu mengajarkan saya bahwa sesungguhnya, kita tidak jauh berbeda. Kita hanya menjalani jalan yang berbeda menuju tujuan yang sama yakni kembali kepada Sang Pencipta sembari berkarya di dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun