Di pesantren itu, saya melihat bahwa setiap orang, dengan keunikannya masing-masing, adalah bagian dari rencana besar yang telah dirancang oleh Sang Pencipta. Mereka menjalani kisah hidup mereka dengan cara yang tidak bisa dibandingkan, karena semuanya memiliki tujuan yang tidak selalu terlihat jelas bagi mata manusia. Saya sadar, kehidupan ini bukanlah kompetisi, melainkan perjalanan yang saling melengkapi.
Dari pengalaman itu, saya kembali diingatkan betapa indah dan sucinya dunia ini. Betapa warna-warni kehidupan yang hadir di dalamnya adalah anugerah yang seharusnya kita syukuri, bukan kita samakan menjadi satu warna.Â
Di pesantren, keragaman tidak menjadi pemisah, melainkan justru memperkaya kebersamaan. Mereka yang saya temui tidak hanya menjaga hubungan mereka dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama manusia dan alam. Saya menyadari bahwa dunia ini terlalu berharga untuk dihancurkan oleh kebencian, keserakahan, atau kesalahpahaman. Setiap warna, setiap kisah, adalah bagian dari lukisan besar yang membuat hidup ini begitu berharga.
Satu hal yang selalu terngiang dalam pikiran saya adalah ungkapan bahwa manusia, dengan segala kebebasan yang dimilikinya untuk berpikir, berkembang, dan berbuat, tidak seharusnya melupakan jati dirinya. Kita tetap manusia, yang hidup di antara manusia, dan bergantung satu sama lain.Â
Kebebasan kita bukan alasan untuk menjauhkan diri dari kemanusiaan kita. Justru, kebebasan itu adalah kesempatan untuk saling memahami, menghargai, dan menciptakan keindahan bersama. Di tengah semua kebingungan dunia, pesantren itu mengajarkan saya bahwa sesungguhnya, kita tidak jauh berbeda. Kita hanya menjalani jalan yang berbeda menuju tujuan yang sama yakni kembali kepada Sang Pencipta sembari berkarya di dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H