Mohon tunggu...
Gregory Josh Adrianto
Gregory Josh Adrianto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA Kolese Kanisius, Anggota ADK (Anak Desain Kanisius), Pengguna Aktif KRL

Desain menjadi bagian dari hidup saya, tidak luput dengan dunia K-POP yang kian mewarnai hidup saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lu Kira Ini Jalan Nenek Lo?

19 November 2024   13:08 Diperbarui: 19 November 2024   13:08 2574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A: "Woy, siapa sih yang punya ini mobil?! Parkir sembarangan banget! Ini jalan umum, bukan garasi pribadi!"

B: "Itu mobil saya. Emang kenapa? Kan parkir di depan rumah saya sendiri. Nggak ganggu siapa-siapa!"

A: "Nggak ganggu? Jalan ini jadi susah dilewatin gara-gara mobil lu! Lu kira ini jalan neneklu?"

B: "Ya terserah saya lah! Ini depan rumah saya! Kalau nggak suka, cari jalan lain aja!"

A: "Astaga, lu orang ga tau diri? Jalan ini jalan umum, semua orang punya hak pakai! Ngerepotin orang lain cuma karena malas parkir yang bener!"

B: "Saya egois? Yang nggak punya toleransi siapa? Rumah saya ini! Bapak aja yang ribet!"

A: "Jual mobil lu, bangun garasi dulu g*blok! Udah miskin, rumah di gang banyak gaya, ngerepotin pula. T*LOL!"

Pagi itu, seperti biasa, saya melewati sebuah gang sempit saat menuju stasiun. Gang itu sering menjadi jalur alternatif untuk menghindari kemacetan di jalan besar. Namun, pagi ini suasana berbeda. Sebuah mobil diparkir sembarangan di sisi gang yang lebarnya tak sampai lima meter intinya dua mobil ngepas sekali. Keadaan semakin buruk ketika sebuah mobil lain memaksa masuk dari arah berlawanan. Akibatnya, gang tersebut berubah menjadi titik kemacetan baru, menghambat para pengendara motor, termasuk saya, yang terjebak di belakang.  

Di antara kami, seorang pengendara motor paling depan, sebut saja A, tampak sangat tergesa-gesa. Wajahnya menunjukkan rasa frustrasi yang memuncak. Tak lama, dia meluapkan amarahnya dengan menghentikan motornya, turun, dan berteriak ke arah pemilik mobil yang parkir sembarangan. Sang pemilik mobil, sebut saja B, ternyata sedang duduk santai di depan rumahnya, menikmati kopi pagi tanpa merasa bersalah sedikitpun. Hal ini semakin memicu emosi A, yang langsung memaki-maki B dengan kata-kata kasar.  

Suasana di gang itu semakin panas. Para pengendara lain hanya bisa menghela napas panjang atau menggelengkan kepala, merasa tidak berdaya. B, yang awalnya tampak tenang, akhirnya terpancing emosi dan membalas makian A dengan sikap defensif, membela tindakannya dengan alasan "ini parkir di depan rumah sendiri." Situasi ini bukan hanya menggambarkan betapa egoisme individu dapat merugikan banyak orang, tetapi juga menunjukkan betapa pentingnya kesadaran untuk menggunakan ruang publik dengan bijak. Gang yang seharusnya menjadi solusi malah berubah menjadi sumber masalah.

Oh Lucunya Dunia

Ironi dari kejadian pagi itu begitu kentara. Sebuah gang kecil yang seharusnya menjadi alternatif untuk menghindari kemacetan justru berubah menjadi sumber masalah baru karena ulah satu orang yang memutuskan untuk memarkir mobil di tempat yang semestinya tidak ia gunakan. Tindakan ini mencerminkan kebodohan yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, mengambil jalan pintas tanpa memikirkan dampaknya terhadap orang lain. Ketika ruang publik disalahgunakan demi kenyamanan pribadi, kebodohan itu menjadi berlipat ganda, memunculkan dampak negatif yang tidak hanya memengaruhi pengendara lain tetapi juga menciptakan ketegangan sosial yang tidak perlu.  

Keegoisan seperti ini berakar pada pola pikir "ini milik saya" yang seringkali keliru diterapkan pada ruang publik. Jalan di depan rumah mungkin terasa seperti bagian dari properti pribadi, tetapi kenyataannya, jalan adalah fasilitas umum. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dengan jelas menyatakan bahwa jalan umum diperuntukkan bagi lalu lintas umum. Artinya, siapapun yang menggunakan jalan tersebut, termasuk pemilik rumah di sekitarnya, wajib memahami bahwa jalan itu tidak boleh dipakai untuk kepentingan pribadi yang menghambat hak pengguna lain. Sayangnya, banyak orang mengabaikan aturan ini dan hanya berpikir tentang kemudahan mereka sendiri.  

Ketidakpedulian terhadap undang-undang ini tidak hanya mencerminkan kebodohan tetapi juga kekurangan empati. Dalam kasus pagi itu, pemilik mobil yang dengan santai duduk di depan rumahnya menunjukkan sikap yang nyaris tidak peduli terhadap kesulitan yang ia sebabkan. Apakah ia benar-benar tidak menyadari dampaknya, ataukah ia hanya tidak peduli? Empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan tanpa itu, masyarakat tidak akan pernah bisa hidup harmonis. Tindakan kecil seperti memarkir mobil dengan benar sebenarnya dapat mencegah banyak konflik, tetapi ini hanya mungkin terjadi jika ada rasa empati.  

Apakah kita belum sepenuhnya berevolusi?

Sifat dasar manusia yang ingin menang sendiri, egois, dan sering kali tanpa empati dapat ditelusuri kembali ke naluri primitif kita untuk bertahan hidup. Dalam konteks evolusi, sifat ini mungkin pernah menjadi alat yang berguna untuk memastikan kelangsungan hidup individu dan kelompok kecil. Namun, dalam masyarakat modern yang semakin kompleks dan saling terhubung, sifat tersebut sering kali menjadi sumber konflik. Ketika seseorang lebih mengutamakan keuntungannya sendiri tanpa memikirkan dampaknya pada orang lain, hal itu bukan lagi tentang bertahan hidup, melainkan sebuah keegoisan yang merugikan harmoni sosial.  

Keegoisan ini sering kali muncul dari ketidakmampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Orang yang egois cenderung mengabaikan fakta bahwa tindakan mereka memiliki konsekuensi bagi orang lain. Ini adalah bentuk ketidakpedulian terhadap perasaan, kebutuhan, dan hak orang lain, yang pada akhirnya menciptakan lingkungan yang penuh dengan ketegangan. Dalam kasus parkir sembarangan, misalnya, pemilik kendaraan hanya melihat kenyamanan pribadinya tanpa mempertimbangkan bagaimana tindakannya dapat mengganggu lalu lintas atau memengaruhi jadwal orang lain.  

Mobil parkir di jalan umum | gridoto.com

Sifat ingin menang sendiri juga berakar pada keinginan manusia untuk merasa superior atau memiliki kontrol atas situasi. Ketika seseorang merasa bahwa kebutuhannya lebih penting daripada kebutuhan orang lain, mereka cenderung mengabaikan aturan dan norma. Ini bukan hanya masalah ego, tetapi juga refleksi dari kurangnya rasa tanggung jawab sosial. Padahal, di dalam masyarakat, setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan bersama. Sayangnya, tidak semua orang menyadari hal ini, sehingga muncullah konflik dan ketidakadilan.  

Kurangnya empati memperburuk keadaan. Tanpa empati, seseorang tidak akan mampu memahami atau merasakan penderitaan orang lain, bahkan jika mereka secara langsung menyebabkan penderitaan tersebut. Dalam dunia yang penuh dengan kecepatan dan kompetisi seperti sekarang, empati sering kali dianggap sebagai kelemahan daripada kekuatan. Padahal, empati adalah kunci untuk menciptakan hubungan yang lebih baik dan lingkungan yang lebih damai. Tanpa empati, orang akan terus memprioritaskan dirinya sendiri, bahkan jika itu berarti melukai orang lain secara emosional atau fisik.  

Jangan Lupa Bercermin

Sering kali kita begitu cepat menyalahkan orang lain atas tindakan besar yang merugikan, seperti korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan, tanpa menyadari bahwa akar dari tindakan tersebut seringkali berasal dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang kita abaikan. Misalnya, tindakan parkir sembarangan di jalan umum tampaknya sepele, tetapi jika dilihat lebih dalam, itu adalah cerminan dari perilaku yang sama dengan korupsi: mengambil sesuatu yang bukan hak kita demi kenyamanan pribadi. Jika kita sendiri masih sering melakukan hal-hal seremeh ini, bagaimana kita bisa dengan lantang mengutuk tindakan yang lebih besar?  

Ketika kita memarkir kendaraan sembarangan atau melanggar aturan kecil lainnya, kita sebenarnya sedang menunjukkan bahwa kita menganggap aturan itu bisa dilanggar jika menguntungkan kita. Ini adalah pola pikir yang sama dengan korupsi: mengabaikan norma untuk keuntungan pribadi. Bedanya hanya pada skala. Orang yang menyalahgunakan jalan umum dan orang yang menyalahgunakan anggaran publik sama-sama menunjukkan ketidakpedulian terhadap kepentingan bersama. Jika kita tidak bisa menjaga kedisiplinan dan tanggung jawab dalam hal kecil, kita sebenarnya tidak punya dasar moral untuk mengkritik mereka yang melakukan pelanggaran besar.  

Lebih jauh, perilaku kecil ini juga mencerminkan nilai-nilai yang kita pegang dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita terus membenarkan tindakan-tindakan sepele seperti parkir sembarangan, kita sedang membangun toleransi terhadap pelanggaran aturan. Toleransi ini bisa berkembang menjadi penerimaan terhadap pelanggaran yang lebih besar. Jika semua orang berpikir bahwa pelanggaran kecil bukan masalah, maka tidak ada yang akan menghentikan orang lain dari melakukan pelanggaran besar. Kita, sebagai bagian dari masyarakat, berperan dalam menciptakan budaya ini, bahkan jika kita tidak menyadarinya.  

Ironisnya, kita sering kali merasa marah terhadap kasus-kasus besar seperti korupsi karena dampaknya langsung terasa, tetapi kita tidak menyadari bahwa dampak dari pelanggaran kecil juga signifikan jika terjadi secara masif. Misalnya, satu mobil yang parkir sembarangan mungkin hanya menyebabkan kemacetan kecil. Namun, bayangkan jika setiap orang melakukannya. Gang kecil akan berubah menjadi titik kemacetan permanen, sama seperti satu koruptor kecil yang bisa memicu budaya korupsi sistemik jika dibiarkan. Kebiasaan melanggar aturan kecil ini sebenarnya adalah benih dari masalah besar yang sering kita keluhkan.  

Sadar diri dong?

Apa yang diungkapkan A, meskipun dalam bahasa yang kasar, mengandung kebenaran bahwa manusia sering kali lupa menyadari kemampuan dan kapabilitasnya. Dalam hal ini, memiliki mobil mungkin dianggap sebagai simbol status sosial atau gengsi, tetapi tidak diimbangi dengan kesadaran untuk menyediakan fasilitas pendukung seperti garasi. Akibatnya, ruang publik seperti jalan gang menjadi korban dari keputusan pribadi yang tidak bertanggung jawab. Ini adalah bentuk keegoisan yang muncul dari keinginan untuk terlihat mampu tanpa benar-benar mempertimbangkan kemampuan sebenarnya.  

Gengsi sering kali menjadi pendorong utama di balik perilaku semacam ini. Dalam masyarakat kita, kepemilikan barang mewah seperti mobil sering diasosiasikan dengan kesuksesan dan keberhasilan hidup. Akibatnya, banyak orang yang memaksakan diri untuk memenuhi standar sosial tersebut, meskipun kondisi ekonomi atau fasilitas mereka belum mendukung. Memarkir mobil di jalan umum karena tidak memiliki garasi adalah salah satu contoh nyata dari bagaimana gengsi mengalahkan logika dan rasa tanggung jawab. Hal ini tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga menunjukkan ketidaksiapan individu dalam menanggung konsekuensi dari keputusan yang diambil.  

Ketidakmampuan untuk menilai dan menyesuaikan keinginan dengan kapabilitas pribadi sering kali menyebabkan konflik di masyarakat. Orang yang memaksakan sesuatu di luar kemampuannya tidak hanya menyulitkan dirinya sendiri, tetapi juga menciptakan ketidaknyamanan bagi orang lain. Fenomena ini mencerminkan bagaimana manusia terkadang lebih fokus pada penampilan daripada esensi, lebih peduli pada bagaimana mereka dipandang daripada apa yang benar-benar mereka perlukan. Akibatnya, keputusan yang diambil tidak mempertimbangkan dampaknya pada orang lain atau pada tatanan sosial secara keseluruhan.  

fiya-doni-nabila-ayu-putri-673c2a36ed641505bc7959e8.png
fiya-doni-nabila-ayu-putri-673c2a36ed641505bc7959e8.png
Wanita yang hidup dengan rasa gengsi | wartaeq.com

Hal ini juga menjadi ironi dalam kehidupan modern. Banyak orang berusaha keras untuk terlihat lebih baik di mata orang lain, meskipun itu berarti melanggar aturan atau merugikan masyarakat. Namun, perilaku seperti ini hanya akan menciptakan lebih banyak masalah daripada solusi. Mengorbankan ruang publik demi kenyamanan pribadi adalah bentuk ketidakhormatan terhadap hak orang lain. Jika semua orang mengambil jalan yang sama, kehidupan sosial akan dipenuhi dengan konflik dan ketidakadilan. Kesadaran terhadap kemampuan pribadi dan empati terhadap orang lain adalah kunci untuk menghindari situasi seperti ini.  

Oleh karena itu?

Manusia adalah makhluk yang unik dengan segala kompleksitas perilaku dan emosinya. Di satu sisi, kita memiliki kemampuan untuk berempati, bekerja sama, dan menciptakan solusi untuk masalah bersama. Namun, di sisi lain, ada pula sifat egois, ingin menang sendiri, dan kecenderungan melupakan tanggung jawab yang sering kali menciptakan konflik di masyarakat. Fenomena seperti parkir sembarangan hanyalah contoh kecil dari bagaimana sifat dasar manusia dapat menjadi akar masalah yang lebih besar jika tidak dikelola dengan baik. Ini adalah gambaran ironi dimana manusia yang mampu menciptakan aturan sering kali adalah pelanggar pertama dari aturan tersebut.  

Kita perlu menyadari bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, memiliki dampak. Ketika seseorang memaksakan sesuatu di luar kapabilitasnya, seperti membeli mobil tanpa menyediakan garasi, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri tetapi juga oleh orang lain. Ini adalah pelajaran penting tentang tanggung jawab, kesadaran diri, dan empati. Dalam masyarakat yang semakin kompleks, menekan sifat egois dan belajar menghormati hak orang lain adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang lebih harmonis. Kesadaran ini harus dibangun melalui pendidikan, diskusi, dan kebiasaan sehari-hari yang menekankan pentingnya tanggung jawab sosial.  

Sebagai solusi, kita harus mulai dari diri sendiri. Menjadi manusia yang lebih bijak artinya memahami batasan dan kapabilitas kita, serta berani mengambil keputusan yang tidak hanya baik untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Jangan biarkan gengsi atau ambisi menutupi logika dan tanggung jawab kita. Dengan belajar jujur terhadap diri sendiri, menghormati aturan, dan memprioritaskan kepentingan bersama, kita dapat menjadi bagian dari perubahan positif. Dunia tidak butuh manusia yang sempurna, tetapi manusia yang mau terus belajar dan berusaha menjadi lebih baik setiap harinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun