Mohon tunggu...
Gregory Josh Adrianto
Gregory Josh Adrianto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA Kolese Kanisius, Anggota ADK (Anak Desain Kanisius), Pengguna Aktif KRL

Desain menjadi bagian dari hidup saya, tidak luput dengan dunia K-POP yang kian mewarnai hidup saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lu Kira Ini Jalan Nenek Lo?

19 November 2024   13:08 Diperbarui: 19 November 2024   13:08 2574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ironisnya, kita sering kali merasa marah terhadap kasus-kasus besar seperti korupsi karena dampaknya langsung terasa, tetapi kita tidak menyadari bahwa dampak dari pelanggaran kecil juga signifikan jika terjadi secara masif. Misalnya, satu mobil yang parkir sembarangan mungkin hanya menyebabkan kemacetan kecil. Namun, bayangkan jika setiap orang melakukannya. Gang kecil akan berubah menjadi titik kemacetan permanen, sama seperti satu koruptor kecil yang bisa memicu budaya korupsi sistemik jika dibiarkan. Kebiasaan melanggar aturan kecil ini sebenarnya adalah benih dari masalah besar yang sering kita keluhkan.  

Sadar diri dong?

Apa yang diungkapkan A, meskipun dalam bahasa yang kasar, mengandung kebenaran bahwa manusia sering kali lupa menyadari kemampuan dan kapabilitasnya. Dalam hal ini, memiliki mobil mungkin dianggap sebagai simbol status sosial atau gengsi, tetapi tidak diimbangi dengan kesadaran untuk menyediakan fasilitas pendukung seperti garasi. Akibatnya, ruang publik seperti jalan gang menjadi korban dari keputusan pribadi yang tidak bertanggung jawab. Ini adalah bentuk keegoisan yang muncul dari keinginan untuk terlihat mampu tanpa benar-benar mempertimbangkan kemampuan sebenarnya.  

Gengsi sering kali menjadi pendorong utama di balik perilaku semacam ini. Dalam masyarakat kita, kepemilikan barang mewah seperti mobil sering diasosiasikan dengan kesuksesan dan keberhasilan hidup. Akibatnya, banyak orang yang memaksakan diri untuk memenuhi standar sosial tersebut, meskipun kondisi ekonomi atau fasilitas mereka belum mendukung. Memarkir mobil di jalan umum karena tidak memiliki garasi adalah salah satu contoh nyata dari bagaimana gengsi mengalahkan logika dan rasa tanggung jawab. Hal ini tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga menunjukkan ketidaksiapan individu dalam menanggung konsekuensi dari keputusan yang diambil.  

Ketidakmampuan untuk menilai dan menyesuaikan keinginan dengan kapabilitas pribadi sering kali menyebabkan konflik di masyarakat. Orang yang memaksakan sesuatu di luar kemampuannya tidak hanya menyulitkan dirinya sendiri, tetapi juga menciptakan ketidaknyamanan bagi orang lain. Fenomena ini mencerminkan bagaimana manusia terkadang lebih fokus pada penampilan daripada esensi, lebih peduli pada bagaimana mereka dipandang daripada apa yang benar-benar mereka perlukan. Akibatnya, keputusan yang diambil tidak mempertimbangkan dampaknya pada orang lain atau pada tatanan sosial secara keseluruhan.  

fiya-doni-nabila-ayu-putri-673c2a36ed641505bc7959e8.png
fiya-doni-nabila-ayu-putri-673c2a36ed641505bc7959e8.png
Wanita yang hidup dengan rasa gengsi | wartaeq.com

Hal ini juga menjadi ironi dalam kehidupan modern. Banyak orang berusaha keras untuk terlihat lebih baik di mata orang lain, meskipun itu berarti melanggar aturan atau merugikan masyarakat. Namun, perilaku seperti ini hanya akan menciptakan lebih banyak masalah daripada solusi. Mengorbankan ruang publik demi kenyamanan pribadi adalah bentuk ketidakhormatan terhadap hak orang lain. Jika semua orang mengambil jalan yang sama, kehidupan sosial akan dipenuhi dengan konflik dan ketidakadilan. Kesadaran terhadap kemampuan pribadi dan empati terhadap orang lain adalah kunci untuk menghindari situasi seperti ini.  

Oleh karena itu?

Manusia adalah makhluk yang unik dengan segala kompleksitas perilaku dan emosinya. Di satu sisi, kita memiliki kemampuan untuk berempati, bekerja sama, dan menciptakan solusi untuk masalah bersama. Namun, di sisi lain, ada pula sifat egois, ingin menang sendiri, dan kecenderungan melupakan tanggung jawab yang sering kali menciptakan konflik di masyarakat. Fenomena seperti parkir sembarangan hanyalah contoh kecil dari bagaimana sifat dasar manusia dapat menjadi akar masalah yang lebih besar jika tidak dikelola dengan baik. Ini adalah gambaran ironi dimana manusia yang mampu menciptakan aturan sering kali adalah pelanggar pertama dari aturan tersebut.  

Kita perlu menyadari bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, memiliki dampak. Ketika seseorang memaksakan sesuatu di luar kapabilitasnya, seperti membeli mobil tanpa menyediakan garasi, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri tetapi juga oleh orang lain. Ini adalah pelajaran penting tentang tanggung jawab, kesadaran diri, dan empati. Dalam masyarakat yang semakin kompleks, menekan sifat egois dan belajar menghormati hak orang lain adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang lebih harmonis. Kesadaran ini harus dibangun melalui pendidikan, diskusi, dan kebiasaan sehari-hari yang menekankan pentingnya tanggung jawab sosial.  

Sebagai solusi, kita harus mulai dari diri sendiri. Menjadi manusia yang lebih bijak artinya memahami batasan dan kapabilitas kita, serta berani mengambil keputusan yang tidak hanya baik untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Jangan biarkan gengsi atau ambisi menutupi logika dan tanggung jawab kita. Dengan belajar jujur terhadap diri sendiri, menghormati aturan, dan memprioritaskan kepentingan bersama, kita dapat menjadi bagian dari perubahan positif. Dunia tidak butuh manusia yang sempurna, tetapi manusia yang mau terus belajar dan berusaha menjadi lebih baik setiap harinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun