Kurikulum
Perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia telah menjadi bagian dari upaya untuk menyesuaikan sistem pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan zaman yang terus berkembang. Sejak kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum, mulai dari kurikulum pertama yang diterapkan pada tahun 1947 hingga Kurikulum Merdeka yang baru-baru ini diperkenalkan. Setiap perubahan ini mencerminkan ambisi dan tujuan yang berbeda dari pemerintahan yang berkuasa, baik dalam membentuk karakter bangsa, memperkuat kompetensi akademik, maupun mengembangkan keterampilan hidup siswa yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman.
Ada beberapa alasan utama mengapa kurikulum di Indonesia sering berubah. Salah satunya adalah untuk menanggapi dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang berubah seiring waktu. Misalnya, pada masa awal kemerdekaan, kurikulum difokuskan pada pembangunan karakter dan kebangsaan, namun pada dekade berikutnya, kurikulum diperluas untuk mencakup keterampilan teknis guna mendukung pembangunan ekonomi nasional. Kurikulum juga diperbaharui untuk mengikuti perkembangan global, misalnya dengan menambah fokus pada keterampilan teknologi dan digital di era modern, yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing lulusan di pasar kerja internasional.
Selain itu, perubahan kurikulum juga dipengaruhi oleh hasil evaluasi dan kritik terhadap kurikulum sebelumnya. Banyak pihak merasa bahwa beberapa kurikulum terlalu fokus pada pencapaian akademik dan kurang memperhatikan pengembangan karakter atau keterampilan non-akademik yang juga penting untuk kehidupan siswa di masa mendatang. Oleh karena itu, perubahan kurikulum sering kali dilakukan untuk menemukan keseimbangan antara pendidikan karakter, pengetahuan akademis, dan keterampilan praktis. Dalam konteks ini, Kurikulum Merdeka hadir untuk menawarkan fleksibilitas lebih kepada sekolah dalam menyesuaikan materi sesuai kebutuhan lokal dan karakteristik siswa, serta merespons kritik terhadap krisis pembelajaran akibat pandemi COVID-19.
Namun, perubahan kurikulum yang terus-menerus ini juga membawa tantangan tersendiri bagi para pendidik dan institusi pendidikan. Setiap perubahan membutuhkan adaptasi, pelatihan ulang, dan penyediaan sarana yang mendukung, yang sering kali membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Guru dan siswa harus beradaptasi dengan sistem yang baru sebelum mereka dapat merasakan dampak positifnya. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia tetap mendorong perubahan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang dinamis dan menyesuaikan sistem pendidikan nasional agar relevan dengan tuntutan masa kini dan masa depan.
Merdeka
Kurikulum Merdeka adalah kurikulum terbaru yang diterapkan di Indonesia sebagai respons terhadap tantangan pembelajaran, terutama setelah pandemi COVID-19 yang berdampak signifikan pada proses belajar-mengajar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kurikulum ini dirancang untuk memberikan fleksibilitas lebih bagi sekolah dalam menyusun pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan konteks lokal. Kurikulum Merdeka mulai diperkenalkan secara bertahap sejak tahun 2021 dan diluncurkan penuh pada tahun 2022 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) di bawah kepemimpinan Menteri Nadiem Makarim.
Kurikulum Merdeka lahir dari kebutuhan mendesak akan sistem pendidikan yang lebih adaptif dan relevan di tengah tantangan era modern. Salah satu latar belakang utama kurikulum ini adalah realitas bahwa sistem pendidikan di Indonesia selama ini dianggap terlalu kaku dan berfokus pada penghafalan materi, yang kurang memadai dalam mempersiapkan siswa menghadapi tantangan global. Dalam kurikulum-kurikulum sebelumnya, pola pembelajaran sering kali bersifat satu arah, di mana guru dianggap sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, sementara siswa terbatas pada peran pasif. Padahal, perkembangan teknologi dan informasi yang pesat telah mengubah cara anak muda berinteraksi dan mengakses informasi, sehingga menuntut pola pembelajaran yang lebih fleksibel dan kolaboratif.
Pandemi COVID-19 yang melanda pada 2020 semakin menegaskan perlunya perubahan dalam sistem pendidikan. Selama pandemi, pembelajaran jarak jauh menjadi satu-satunya opsi untuk melanjutkan pendidikan, tetapi kondisi ini menimbulkan berbagai masalah, seperti ketimpangan akses dan kesenjangan pembelajaran. Banyak siswa yang kesulitan mengikuti pembelajaran daring akibat keterbatasan akses teknologi, internet, atau bimbingan langsung dari guru. Situasi ini menggarisbawahi pentingnya sistem pendidikan yang lebih inklusif dan mampu memberikan opsi pembelajaran yang berbeda sesuai kondisi siswa. Oleh karena itu, Kurikulum Merdeka dikembangkan sebagai respons untuk menciptakan sistem yang lebih fleksibel, berfokus pada kemampuan individu, serta mampu menyesuaikan dengan kebutuhan dan potensi masing-masing daerah dan siswa.
Selain itu, hasil dari berbagai evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya menunjukkan bahwa siswa sering kali kewalahan dengan banyaknya materi dan padatnya jadwal pembelajaran. Kurikulum sebelumnya dirasa terlalu padat dengan kompetensi dasar yang harus dicapai di setiap jenjang pendidikan, tanpa memberikan ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi minat atau mengembangkan keterampilan praktis. Akibatnya, siswa cenderung lebih berfokus pada pencapaian nilai tinggi daripada memahami materi secara mendalam atau mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Dengan Kurikulum Merdeka, materi pembelajaran dirancang lebih terfokus dan mendalam, serta memberikan ruang bagi siswa untuk mempelajari aspek-aspek yang relevan dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.
Mimpi Besar
Kurikulum Merdeka dirancang dengan mimpi besar untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif, relevan, dan adaptif bagi seluruh siswa di Indonesia. Dengan filosofi dasar "merdeka belajar," kurikulum ini bertujuan memberi kebebasan bagi siswa dan guru untuk mengeksplorasi cara-cara belajar yang lebih kreatif, kolaboratif, dan kontekstual. Salah satu mimpinya adalah agar pendidikan di Indonesia tidak lagi terpaku pada pencapaian nilai akademis semata, melainkan pada pengembangan kompetensi yang lebih luas, termasuk keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah. Di samping itu, Kurikulum Merdeka berupaya untuk menumbuhkan karakter siswa yang lebih tangguh, mandiri, dan responsif terhadap kebutuhan zaman, sehingga lulusan pendidikan Indonesia dapat bersaing di dunia kerja global.
Dalam eksekusi nyata, Kurikulum Merdeka memberikan fleksibilitas bagi sekolah untuk menyesuaikan materi dan metode pengajaran sesuai dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekolah masing-masing. Pemerintah telah memperkenalkan model asesmen baru melalui Asesmen Nasional yang mencakup berbagai aspek, seperti Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar. Dalam penerapannya, siswa tidak hanya diuji dalam mata pelajaran inti tetapi juga dinilai dalam aspek karakter dan kompetensi dasar, seperti literasi dan numerasi, yang dianggap penting untuk kehidupan sehari-hari. Sekolah diberikan otonomi untuk memilih sumber belajar dan melakukan berbagai proyek praktis yang relevan dengan kehidupan siswa, misalnya melalui pembelajaran berbasis proyek atau Project-based Learning (PjBL), yang bertujuan meningkatkan keterampilan kolaborasi, komunikasi, dan pemecahan masalah.
Namun, pelaksanaan Kurikulum Merdeka menghadapi berbagai tantangan di lapangan. Sebagian besar guru dan tenaga pendidik memerlukan pelatihan tambahan untuk benar-benar memahami dan menerapkan konsep "merdeka belajar" dalam kelas. Tantangan ini terutama dirasakan di sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil, di mana akses terhadap sumber daya, teknologi, dan pelatihan sering kali terbatas. Selain itu, penyesuaian dari pendekatan yang berfokus pada tes menjadi pendekatan yang berfokus pada proyek dan kompetensi juga memerlukan waktu, sumber daya, dan bimbingan yang memadai agar berjalan sesuai harapan. Meski demikian, pemerintah telah mulai menyediakan berbagai program pelatihan dan modul yang dapat diakses secara daring untuk membantu para guru dan sekolah dalam mengimplementasikan kurikulum ini.
Kurikulum Merdeka juga tidak lepas dari kritik. Salah satu kritik utama adalah bahwa kurikulum ini dianggap terlalu ambisius dan kurang realistis, terutama untuk sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas terbatas. Dalam kurikulum ini, misalnya, diharapkan adanya pembelajaran yang lebih banyak menggunakan teknologi dan sumber belajar mandiri, namun banyak sekolah di Indonesia yang masih kekurangan sarana dan prasarana teknologi dasar. Selain itu, beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa terlalu banyak fleksibilitas dalam kurikulum dapat menyebabkan ketimpangan kualitas pendidikan antar daerah, di mana sekolah dengan sumber daya lebih dapat mengimplementasikan kurikulum dengan baik, sementara sekolah dengan sumber daya terbatas tertinggal.
Beberapa orang juga menyoroti kurangnya kesiapan guru dalam mengadopsi metode pembelajaran yang lebih fleksibel ini. Meskipun konsep merdeka belajar memiliki potensi besar untuk memajukan sistem pendidikan, guru-guru yang terbiasa dengan pendekatan tradisional mungkin merasa kesulitan untuk beralih secara penuh ke sistem baru ini. Tanpa dukungan dan pelatihan yang memadai, implementasi Kurikulum Merdeka dapat berisiko menjadi formalitas belaka, di mana sekolah hanya mengganti metode pengajaran tanpa benar-benar memahami filosofi dan tujuan mendalam dari kurikulum ini. Hal ini bisa mengakibatkan kualitas pendidikan yang inkonsisten, terutama di sekolah yang belum siap beradaptasi dengan perubahan kurikulum.
Meski demikian, Kurikulum Merdeka layak untuk terus dilanjutkan dengan penyesuaian dan perbaikan. Kurikulum ini membawa paradigma baru yang berfokus pada kompetensi, pengembangan karakter, dan kemampuan siswa untuk menghadapi tantangan di luar sekolah. Untuk meningkatkan efektivitasnya, pemerintah perlu memastikan adanya dukungan yang cukup bagi sekolah dan guru, terutama di daerah-daerah terpencil. Bantuan teknis, infrastruktur yang memadai, serta pelatihan berkelanjutan harus diberikan agar sekolah di seluruh Indonesia memiliki kesempatan yang setara dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.
Secara keseluruhan, Kurikulum Merdeka menghadirkan peluang dan tantangan yang memerlukan kerja sama berbagai pihak untuk mewujudkan mimpi pendidikan yang lebih merdeka dan adaptif. Dengan terus melakukan evaluasi dan penyesuaian sesuai kebutuhan di lapangan, Kurikulum Merdeka dapat menjadi fondasi yang kuat bagi pendidikan Indonesia yang lebih inklusif dan relevan di era modern. Jika dukungan yang dibutuhkan diberikan secara konsisten dan penerapan yang fleksibel disertai panduan yang jelas, Kurikulum Merdeka berpotensi besar untuk membantu Indonesia mempersiapkan generasi yang mampu bersaing di tingkat global.
Yang Dihapus
Ujian Nasional (UN) pernah menjadi salah satu instrumen penting dalam sistem pendidikan Indonesia sebelum dihapus. Salah satu kelebihannya adalah sebagai alat ukur standar nasional yang memungkinkan pemerintah untuk mengevaluasi pencapaian pendidikan secara merata di seluruh daerah. Dengan adanya UN, pemerintah dapat melihat sejauh mana siswa di berbagai wilayah mencapai standar kompetensi dasar yang telah ditentukan. Hal ini menjadi acuan untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang membutuhkan bantuan pendidikan lebih lanjut dan untuk menyusun kebijakan yang lebih tepat sasaran guna meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Indonesia.
UN juga berfungsi sebagai motivasi akademis bagi siswa. Banyak siswa yang terdorong untuk belajar lebih keras dan memperdalam pemahaman mereka terhadap materi pelajaran yang diujikan. UN menjadi target bagi siswa untuk membuktikan kemampuan akademis mereka, sekaligus melatih mereka menghadapi ujian berskala besar. Dengan UN, siswa terbiasa dengan pola belajar terstruktur dan disiplin yang dapat berguna dalam jenjang pendidikan berikutnya atau di dunia kerja. Persiapan yang intensif untuk UN juga mendorong sekolah-sekolah untuk menyusun program pembelajaran yang lebih fokus dan terarah.
UN juga memiliki kelebihan dalam mendorong peningkatan kualitas pengajaran di sekolah. Karena hasil UN dijadikan sebagai indikator kinerja sekolah, para guru dan tenaga pendidik terdorong untuk meningkatkan kualitas pengajaran mereka. Hal ini membuat sekolah dan guru bekerja lebih keras dalam menyampaikan materi yang sesuai dengan standar nasional, sehingga diharapkan seluruh siswa dapat menguasai kompetensi yang ditargetkan. Secara tidak langsung, UN menciptakan lingkungan yang kompetitif antar sekolah, yang mendorong inovasi dan peningkatan dalam metode pengajaran.
Kelebihan lainnya adalah UN sebagai dasar seleksi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan UN, pemerintah dan institusi pendidikan dapat menetapkan standar kelulusan yang berlaku secara nasional. Ini penting bagi siswa yang ingin melanjutkan ke sekolah atau universitas tertentu, karena UN berfungsi sebagai tolok ukur objektif untuk menilai kemampuan akademis mereka. Adanya nilai UN membantu perguruan tinggi atau sekolah favorit untuk memilih calon siswa dengan standar yang sama, sehingga proses seleksi menjadi lebih efisien dan adil.
Penghapusan Ujian Nasional (UN) di Indonesia sejalan dengan peluncuran Kurikulum Merdeka merupakan langkah signifikan untuk merombak sistem evaluasi pendidikan yang selama ini berpusat pada tes akhir. Keputusan untuk menghapus UN diambil dengan mempertimbangkan berbagai kelemahan yang ada pada format UN, yang dianggap kurang memadai dalam mengevaluasi kemampuan siswa secara menyeluruh. Selama bertahun-tahun, UN menjadi standar penentu kelulusan siswa di berbagai jenjang pendidikan, sehingga menciptakan tekanan tinggi pada siswa dan sekolah untuk mencapai nilai tertentu. Sayangnya, pendekatan berbasis ujian tunggal ini dinilai hanya berfokus pada aspek kognitif atau kemampuan akademis siswa tanpa mengukur kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan keterampilan non-akademis lainnya yang juga penting untuk masa depan siswa.
Salah satu kelemahan utama dari UN adalah penekanannya pada penghafalan dan penyelesaian soal dalam waktu singkat, yang kurang mendorong pemahaman mendalam atau aplikasi pengetahuan dalam situasi nyata. Akibatnya, siswa sering kali lebih berfokus pada teknik menjawab soal untuk memperoleh nilai tinggi daripada memahami konsep secara mendalam. Tekanan untuk mencapai nilai UN yang baik juga menyebabkan munculnya praktik belajar yang tidak sehat, seperti bimbingan intensif hanya untuk UN, yang dapat membatasi siswa dari belajar hal-hal lain di luar materi UN. Di sinilah Kurikulum Merdeka hadir untuk mengatasi masalah ini, dengan menekankan pendekatan pembelajaran yang lebih fleksibel dan berpusat pada pengembangan kompetensi.
Kurikulum Merdeka memperkenalkan model asesmen yang lebih holistik dan berkelanjutan, menggantikan UN dengan Asesmen Nasional (AN) yang mencakup Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar. AKM dirancang untuk mengukur kemampuan literasi dan numerasi siswa, bukan hanya dari segi hafalan, tetapi lebih pada pemahaman konsep dan kemampuan memecahkan masalah. Survei karakter dan lingkungan belajar juga memberikan gambaran mengenai aspek-aspek non-akademis, seperti nilai-nilai moral, kecakapan sosial, dan suasana belajar di sekolah. Dengan AN, evaluasi pendidikan tidak lagi dilakukan dalam satu tes tunggal, tetapi melalui asesmen yang lebih beragam dan berfokus pada aspek mendasar yang diperlukan siswa untuk menghadapi dunia yang terus berkembang.
Selain itu, dengan dihapuskannya UN, tekanan berlebihan pada siswa dan guru dalam mengejar nilai ujian nasional juga berkurang. Kurikulum Merdeka memberi ruang bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan kecepatan dan minat mereka, tanpa dibebani oleh standar ujian nasional yang seragam. Siswa tidak lagi dinilai berdasarkan hasil ujian tunggal, melainkan melalui pencapaian kompetensi dan kemampuan lain yang mereka kembangkan secara bertahap selama proses belajar. Hal ini memungkinkan adanya proses belajar yang lebih alami dan bermakna, di mana siswa dapat mengeksplorasi materi yang relevan dengan kehidupan nyata, berpartisipasi dalam pembelajaran berbasis proyek, serta mengembangkan keterampilan kolaborasi dan komunikasi yang akan berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Selaras?
Ujian Nasional (UN) memiliki tujuan utama sebagai alat evaluasi standar akademis di seluruh Indonesia, tetapi dalam konteks Kurikulum Merdeka, tujuan tersebut justru bertentangan dengan filosofi dasar kurikulum ini yang mengedepankan fleksibilitas dan keberagaman kemampuan siswa. Kurikulum Merdeka dirancang untuk memberikan kebebasan kepada sekolah dan siswa dalam mengembangkan potensi individu masing-masing tanpa tekanan dari standar yang seragam. Dengan adanya UN sebagai standar evaluasi nasional, siswa dari berbagai latar belakang dan daerah yang memiliki kemampuan, akses, dan kesempatan belajar yang berbeda tetap diukur berdasarkan standar yang sama, sehingga mengabaikan keragaman dan perbedaan yang ingin diakomodasi oleh Kurikulum Merdeka.
UN, yang menekankan pada penilaian berbasis kognitif dan pencapaian akademis, sering kali mengabaikan aspek-aspek pembelajaran lain yang ditekankan dalam Kurikulum Merdeka, seperti pengembangan karakter, kreativitas, dan keterampilan berpikir kritis. Kurikulum Merdeka bertujuan untuk mengembangkan siswa secara holistik, mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, namun UN hanya menguji ranah kognitif dalam beberapa mata pelajaran utama. Hal ini menciptakan ketidaksesuaian antara fokus pengembangan siswa di sekolah dengan hasil akhir yang dievaluasi melalui UN, sehingga potensi-potensi siswa di luar aspek akademis sering kali tidak mendapat perhatian yang seimbang.
Dengan adanya UN, banyak sekolah lebih fokus pada pencapaian nilai akademis siswa, yang menyebabkan kurikulum dan metode pengajaran menjadi lebih terfokus pada persiapan ujian dibandingkan pengembangan kemampuan siswa sesuai minat dan bakat mereka. Dalam Kurikulum Merdeka, idealnya guru memiliki kebebasan untuk menyesuaikan materi dengan kebutuhan dan potensi unik siswa, namun adanya UN sering kali menekan guru untuk tetap mengacu pada materi ujian nasional. Akibatnya, kurikulum yang seharusnya fleksibel justru menjadi terstandarisasi, dan tujuan memberikan kebebasan dalam pembelajaran sulit tercapai.
Lebih jauh lagi, UN cenderung mengakibatkan stress yang berlebihan bagi siswa, karena hasil ujian ini sering kali dijadikan tolok ukur kelulusan dan keberhasilan pendidikan mereka. Kurikulum Merdeka bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih sehat dan nyaman, di mana siswa dapat menikmati proses belajar tanpa beban yang berlebihan. Namun, dengan adanya UN, tekanan tinggi tetap dirasakan siswa karena mereka diharuskan memenuhi standar yang seragam. Ini bertentangan dengan tujuan Kurikulum Merdeka yang ingin menghilangkan tekanan berlebih dan menumbuhkan semangat belajar yang alami pada siswa.
UN juga tidak memperhitungkan bahwa setiap siswa memiliki gaya belajar, minat, dan kemampuan yang berbeda, sementara Kurikulum Merdeka justru mendorong pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning). Dengan UN yang sifatnya one-size-fits-all, siswa yang memiliki potensi dalam bidang non-akademis sering kali merasa tidak diakomodasi, padahal Kurikulum Merdeka diharapkan memberi ruang bagi semua potensi dan minat siswa. Dalam sistem yang didominasi oleh UN, keberagaman dalam proses pembelajaran tidak maksimal, karena fokus tetap pada penguasaan materi ujian nasional, yang cenderung homogen.
Di sisi lain, evaluasi berbasis UN tidak memungkinkan feedback langsung yang dapat memperbaiki proses belajar siswa secara berkesinambungan, sesuatu yang diutamakan dalam Kurikulum Merdeka. UN hanya memberikan hasil akhir yang sering kali tidak menggambarkan proses perkembangan siswa dari waktu ke waktu. Sementara dalam Kurikulum Merdeka, guru diharapkan memberikan evaluasi formatif dan dukungan belajar yang sesuai dengan kemajuan siswa secara individual. Kurangnya evaluasi yang komprehensif dan berkelanjutan melalui UN ini menjadikan hasil akhir sulit dijadikan pedoman untuk pengembangan potensi siswa di masa mendatang.
Secara keseluruhan, keberadaan UN dalam sistem pendidikan Indonesia kurang sesuai dengan nilai dan tujuan Kurikulum Merdeka yang mendorong pendidikan berbasis kompetensi dan pengembangan minat serta bakat individu. Ketidakcocokan antara keduanya terletak pada pendekatan yang diambil---Kurikulum Merdeka menekankan fleksibilitas dan diferensiasi, sementara UN menekankan homogenitas dan standar yang sama. Ketidaksesuaian ini menunjukkan bahwa keberhasilan Kurikulum Merdeka sebagai kebijakan yang menyeluruh sulit dicapai jika masih menggunakan sistem evaluasi UN yang tidak sejalan dengan esensi pembelajaran berbasis potensi dan keunikan individu.
Jadi? Sebaiknya bagaimana?
Untuk memajukan sistem dan kualitas pendidikan di Indonesia, langkah pertama yang dapat diambil adalah memperkuat pelatihan dan pengembangan profesional bagi guru. Guru adalah kunci utama keberhasilan kurikulum dan pendidikan di sekolah. Dengan memberikan pelatihan yang berkesinambungan dan relevan dengan tantangan pendidikan saat ini, guru akan lebih mampu menerapkan metode pembelajaran yang beragam dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Program pengembangan ini sebaiknya mencakup penggunaan teknologi dalam pembelajaran, pendekatan student-centered, serta penilaian formatif yang lebih holistik agar mereka dapat mengevaluasi kemajuan siswa secara mendalam, bukan hanya dari aspek akademis tetapi juga dari segi karakter dan keterampilan hidup.
Kedua, pemerintah perlu mengurangi ketergantungan pada evaluasi berbasis ujian yang seragam, seperti Ujian Nasional, dan mengarah pada sistem evaluasi yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kemampuan serta minat siswa. Dengan mengganti atau melengkapi evaluasi standar dengan penilaian berbasis proyek, penilaian portofolio, serta evaluasi keterampilan sosial dan emosional, siswa akan lebih leluasa mengembangkan potensi mereka. Evaluasi yang variatif ini memungkinkan siswa untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam berbagai bidang, baik akademis maupun non-akademis, yang akan sejalan dengan tujuan Kurikulum Merdeka yang menghargai keberagaman potensi individu.
Selain itu, peningkatan kualitas fasilitas dan akses pendidikan perlu menjadi prioritas, terutama di daerah-daerah terpencil dan kurang berkembang. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap sekolah memiliki akses yang memadai terhadap fasilitas dasar seperti listrik, internet, buku-buku berkualitas, serta ruang kelas yang layak. Teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk mempersempit kesenjangan pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Dengan adanya infrastruktur yang memadai, baik guru maupun siswa akan lebih siap menghadapi berbagai inovasi dan program pendidikan, serta mampu mengimplementasikan pembelajaran yang lebih modern dan efektif.
Terakhir, penting bagi pemerintah dan pemangku kebijakan untuk melibatkan masyarakat, khususnya orang tua dan komunitas, dalam proses pendidikan. Pendidikan tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Dengan melibatkan orang tua dan masyarakat dalam proses pendidikan, misalnya melalui program literasi keluarga atau kegiatan belajar bersama di komunitas, siswa akan mendapatkan dukungan yang lebih menyeluruh. Kerja sama yang solid antara sekolah, keluarga, dan komunitas akan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan berkelanjutan bagi siswa, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal di berbagai aspek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H