Mohon tunggu...
Joseph Sudiro
Joseph Sudiro Mohon Tunggu... -

A Good Men Wanna Be

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Refleksi untuk "Volunteer" dan "Hipster" Menyambut Sumpah Pemuda

15 Oktober 2015   08:33 Diperbarui: 15 Oktober 2015   10:47 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang aneh? Sekilas memang tidak ada cenderung getir, nah dari kegetiran itulah si pembuat karangan bunga mengais popularitas, berharap bisa mendapatkan sebuah “like” atau “RT” sebagai pembuktian betapa pahamnya dia tentang fenomena “ikut-ikutan rame” ini.

Kalau kita cukup paham history dari tren ini, yang beberapa bulan lalu cukup kece di media sosial ini, maka kita akan tau style beginian ini sekarang sudah terlalu enek buat ditampilkan, tapi toh tetap masih ada. Mungkin kebutuhan akan pujian dan "diperhatikan" sudah sampai di taraf radikal. Mereka tetap perlu menambahkan check list“bikin gituan ahhh kalau nanti ada acara wisudaan”.

Kaka Lisa, saudari saya yang memposting foto ini dengan sedikit sarkastik menuliskan “eaaaa… basi ah, sekarang bikin ginian semua” dan saya setuju, bukannya ini salah satu bukti “idealisme untuk tidak ikut-ikutan rame” sudah benar-benar menyedihkan, jadi mari ambil jalan pintasnya, tiru sajalah mentah-mentah. Mungkin bisa sedikit terlihat keren, kalau media yang dipakai bukan lagi karangan bunga, misalkan gravity di tembok kampus atau di mobil rektor, cadassss men… ndiasssssmuuuuu cepppp.

Perlu contoh lagi, mari sama-sama coba jujur ke dalam hati dan liat apakah nafsu kita untuk menuliskan tagar #SAVEblablabla apakah benar-benar peduli atau sekedar harapan ikut-ikutan rame, sekedar hype saja. Semua memang kembali ke kita sich. Percaya atau tidak beberapa kerabat yang saya ajak diskusi tentang tagar yang baru saja diketik, justru tidak benar-benar mengerti, dan parahnya tetap juga tidak mau belajar untuk mengerti. Jadi hipotesa sementara saya mentok di situ, sebagian besar manusia yang melakukan ini melakukannya hanya atas dasar “ikut rame” saja. Tidak perlu jasa Uya Kuya–lah untuk menghipnotis dan memancing jujur tidaknya… Tidak ada yang mau jujur… Yahhhh jujur yang dimulai dari hati saja susah le, tugas Pak Jokowi leh arep  “Revolusi Mental” jannnn abuuuuotttt.

Kegelisahan yang saya tulis itu buat saya membuktikan satu hal yang dialami kita generasi muda yang sebentar lagi merayakan Ulang Tahuh Sumpah Pemuda yang ke-87 Tahun (disambung-sambungin ajalah), aiiiih nasionalis kaliii kau nakkkk. Apa itu? Kreativitas kita untuk sekedar mengundang tawa dan “mencari sensasi” (katakanlah begitu) sudah sampai di taraf yang menyedihkan apalagi sesuatu yang garis lurus untuk terta urut melakukan revolusi bagi bangsa tercinta aihsadaphhhhh. Ahhh sebenarnya tulisan ini tidak ada hubungannya sich sama Sumpah Pemuda, saya juga cuman nyambung-nyambungin saja biar pas sama judulnya, biar ndak wagu, dan tentunya biar keliatan pinter dikitlah.

Pernah menonton film “Flash Of Genius”, karya Marc Abraham, dengan Greg Kinnear sebagai pemeran utamanya. Sebuah kisah nyata tentang seseorang yang menuntut hak cipta atas karya yang “dicuri” oleh perusahaan mobil besar FORD. Dari durasi 119 menit, ada satu adegan yang membuat saya tertohok. 

Saat itu, dalam persidangan Robert Kearns mengambil salah satu novel karya Charles Dickens “The Tale Of  Two Cities”, dan membacakan sedikit bagian dalam buku tersebut, lalu cerdasnya dia bertanya “Apakah Charles Dickens, menemukan kata It, was, the, best dan time” Kearns kemudian menyimpulkan bahwa semua kalimat itu tercatat di sebuah kamus dan Charles Dickens tidak melakukan sesuatu hal yang baru.

Pusing? Aturlah pusing kalian dulu baru pahami analoginya. Begini konklusi dari Kearns “Sebuah temuan baru disusun berdasarkan temuan-temuan sebelumnya dan menjadi sesuatu dengan fungsi yang baru”. Voilaaaaa sesederhana itu khan memulai sesuatu yang baru. Tidak perlu berpikir untuk melakukan sesuatu yang wahhhh atau keceee dan kerennn banget, semua dimulai dari kita. “Start with men in the mirror,” kata King of Pop.

Saya pun tidak bisa berbicara banyak tentang kreativitas, kreativitas saya cukup dimulai diri sendiri. Yoris Sebastian pernah bercerita tentang memulai sebuah kreativitas kecil dalam bukunya “Oh My Godness: Buku Pintar Seorang Creative Junkies". Kreativitas kecil bisa dimulai dari memilih rute yang berbeda tiap beberapa hari sekali ke kantor untuk mematikan kebosanan, atau style pakaian saya coba dipadupadankan setiap hari dengan pilihan yang tidak sebanyak para seleb itu. Dari situ semua berkembang perlahan, bukan memulai dengan "wahhhh bagus itu, besok aku bikin yang plek sama lahhhh". Nahhhh Easyyy right…?

Yah ini cuman tulisan ngehek dari orang kurang piknik yang potensial mengundang kalimat “Sinis banget sich lo”. Jangan berharap solusi besar dari tulisan ini, lah tulisan ini juga cuman ungkapan hati saya, cuman "ikut-ikutan rame" versi saya, supaya ada tandingan lah buat fenomena aneh itu. Anggap saja saya nambah manas-manasi lah gitu.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun