Mohon tunggu...
Joseph Sudiro
Joseph Sudiro Mohon Tunggu... -

A Good Men Wanna Be

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Refleksi untuk "Volunteer" dan "Hipster" Menyambut Sumpah Pemuda

15 Oktober 2015   08:33 Diperbarui: 15 Oktober 2015   10:47 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: www.quotesfrenzy.com

We All Die Young, adalah  salah satu "identitas" Steelheart yang buat saya salah satu satir terbesar yang mengusik kalbu, uopooooohhh ceph.  Lewat lagu ini Miljenko Matijevic cs, bercerita tentang fenomena rockstar yang “pulang di usia muda”. Kombinasi antara stress dan drugs cukup membuat Janis Joplin, Amy Winehouse sampai bapak grunge dunia Curt Cobain, “abadi dalam  kemuliaannya” di puncak karier.

Tidak ada tulisan tersirat tentang fenomena “mati muda” para musisi itu. Lagu ini hanya disusun dari sekumpulan kalimat satir sebagai liriknya. Dan irama yang tidak terlalu ngebeat juga tidak terlalu mendayu-dayu, tapi justru dengan begitu saya bisa menikmati dan menginterpretasikan dengan sejuta keliaran yang berkecamuk di kapala.

Kalau ditarik ke era sekarang saat  Super Junior, tidak juga kunjung naik ke level senior, agak susah atau jarang, mencari sinonim dari fenomena itu. Maka, ijinkan saya yang sering sekali menyambung-nyambungkan sesuatu yang sebenarnya tidak nyambung dan tidak perlu disambung-sambungkan untuk bercerita lagu ini dari sudut pandang ilmuis saya.

Saya membayangkan Miljenko Matijevic dengan nada tinggi dan tatapan kosong melengkingkan kegundahannya atas matinya “idealisme anak muda”, abotttttt leeeee. Idealisme anak muda, supaya tidak sekedar ikut-ikutan rame akan sebuah fenomena, sementara esensinya yah cuman sampai di standar “sukur ngerti, enggak juga gag papa”. Seperti kata om Glenn Fredlly “Anak muda tanpa idelisme seperti zombie”. Yah walaupun dari sudut pandang fisiologi, zombie belum dikatakan mati, pokoknya yah disambung-sambungkan sajalah.

Beberapa hari lalu saya ikut sebuah talkshow kecil-kecilan bersama beberapa komunitas yang ada di Surabaya. Ada banyak ilmu dan pelajaran yang saya dapat kala itu, tapi ada satu hal yang membuat gelisah (geli-geli resah, kata sobat saya Alfred Abidondifu) dan terpancing buat menceritkannya di sini.

Salah satu kordinator komunitas untuk gerakan tersebut di Surabaya menyampaikan kendala mereka dalam melakukan gerakan ini. “Kendala kami adalah setelah kegiatan besar, volunteer mulai hilang dan tidak semua volunteer yang memakai baju dengan label gerakan tersebut mengerti apa esensi dari kegiatan itu”. Satu-satunya yang mereka mengerti adalah kegiatan trademark  “mematikan lampu selama sejam”. Kemudian saya bandingkan dengan komunitas saya, dari sudut pandang saya sebagai intelektual muda harapan bangsa, “podoooo dab”. Masalah utamanya hanya “ikut-ikutan rame” ternyata.

Dalam kajian teoritis salah satu pakar Sosiologi Indonesia Den Loro Ra Mari-Mari dalam salah satu esainya yang berjudul “Manusia Muda Indonesia” yang tak pernah terbit karena tak pernah ada, dalam proses pencarian pengakuan diri, kadang esensi dan isi yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dipahami, yang penting mboisss rek. Masalah prinsipil untuk mengerti atau tidak tujuannya, itu urusan nanti, yang penting keren dulu, nampang dulu, yang penting “ahhh sudahlah” saya tidak tega manambahkan sejuta tujuan lainya yang menurut saya lebih banyak mudaratnya.

Tapi ayolah mengaku… bagian mana yang tidak keren dari memakai kata volunteer dan nampang di foto kegiatan dengan tujuannya jempol di FB atau RT di Twitter yah syukur-syukur bisa naikin follower atau dapat komentar ihhh keren, dan mengundang satu lagi anak muda keren wanna be masuk ke dalam lingkaran angkatan muda gaul Indonesia, sekali lagi tanpa perlu tau tujuan utamanya apa. Parahnya lagi, yah tetap tidak ada niat untuk memahami sambil berjalan, sekalipun sudah terlambat. Saya harus dengan pahit mengakui peribahasa “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali” masih tetap penting untuk dipahami. Saya mulai dengan kenyataan ini, karena hal ini yang paling dekat dengan saya. Menggelikan dan menyedihkan.

Tapi untuk kasus ini, sekali lagi “daku mah apa atuh”, toh akhirnya kita tidak bisa melakukan scanning satu-satu terhadap rencana manusia-manusia itu sebelum bergabung, syukuri saja niat baik sekecil apa pun. Syukuri saja, sebesar apa ukuran udang di balik batunya, Entah lobster kelas restoran bintang lima, atau udang yang cuman cukup untuk bahan baku sebiji terasi. Bagi golongan jenis ini yang sudah keburu bergabung yah saya cuman bisa turut berkabung, sembari pelan-pelan melakukan penertiban dan sesekali sweeping dengan “Front Penertib Komunitas”, mang ada gitu?

Mari lanjut ke bukti berikut betapa fenomena “ikut-ikutan rame” ini begitu dalamnya menggerogoti jiwa muda Indonesia selain sejuta pengaruh buruk lainnya. Perhatikan foto ini.

Apa yang aneh? Sekilas memang tidak ada cenderung getir, nah dari kegetiran itulah si pembuat karangan bunga mengais popularitas, berharap bisa mendapatkan sebuah “like” atau “RT” sebagai pembuktian betapa pahamnya dia tentang fenomena “ikut-ikutan rame” ini.

Kalau kita cukup paham history dari tren ini, yang beberapa bulan lalu cukup kece di media sosial ini, maka kita akan tau style beginian ini sekarang sudah terlalu enek buat ditampilkan, tapi toh tetap masih ada. Mungkin kebutuhan akan pujian dan "diperhatikan" sudah sampai di taraf radikal. Mereka tetap perlu menambahkan check list“bikin gituan ahhh kalau nanti ada acara wisudaan”.

Kaka Lisa, saudari saya yang memposting foto ini dengan sedikit sarkastik menuliskan “eaaaa… basi ah, sekarang bikin ginian semua” dan saya setuju, bukannya ini salah satu bukti “idealisme untuk tidak ikut-ikutan rame” sudah benar-benar menyedihkan, jadi mari ambil jalan pintasnya, tiru sajalah mentah-mentah. Mungkin bisa sedikit terlihat keren, kalau media yang dipakai bukan lagi karangan bunga, misalkan gravity di tembok kampus atau di mobil rektor, cadassss men… ndiasssssmuuuuu cepppp.

Perlu contoh lagi, mari sama-sama coba jujur ke dalam hati dan liat apakah nafsu kita untuk menuliskan tagar #SAVEblablabla apakah benar-benar peduli atau sekedar harapan ikut-ikutan rame, sekedar hype saja. Semua memang kembali ke kita sich. Percaya atau tidak beberapa kerabat yang saya ajak diskusi tentang tagar yang baru saja diketik, justru tidak benar-benar mengerti, dan parahnya tetap juga tidak mau belajar untuk mengerti. Jadi hipotesa sementara saya mentok di situ, sebagian besar manusia yang melakukan ini melakukannya hanya atas dasar “ikut rame” saja. Tidak perlu jasa Uya Kuya–lah untuk menghipnotis dan memancing jujur tidaknya… Tidak ada yang mau jujur… Yahhhh jujur yang dimulai dari hati saja susah le, tugas Pak Jokowi leh arep  “Revolusi Mental” jannnn abuuuuotttt.

Kegelisahan yang saya tulis itu buat saya membuktikan satu hal yang dialami kita generasi muda yang sebentar lagi merayakan Ulang Tahuh Sumpah Pemuda yang ke-87 Tahun (disambung-sambungin ajalah), aiiiih nasionalis kaliii kau nakkkk. Apa itu? Kreativitas kita untuk sekedar mengundang tawa dan “mencari sensasi” (katakanlah begitu) sudah sampai di taraf yang menyedihkan apalagi sesuatu yang garis lurus untuk terta urut melakukan revolusi bagi bangsa tercinta aihsadaphhhhh. Ahhh sebenarnya tulisan ini tidak ada hubungannya sich sama Sumpah Pemuda, saya juga cuman nyambung-nyambungin saja biar pas sama judulnya, biar ndak wagu, dan tentunya biar keliatan pinter dikitlah.

Pernah menonton film “Flash Of Genius”, karya Marc Abraham, dengan Greg Kinnear sebagai pemeran utamanya. Sebuah kisah nyata tentang seseorang yang menuntut hak cipta atas karya yang “dicuri” oleh perusahaan mobil besar FORD. Dari durasi 119 menit, ada satu adegan yang membuat saya tertohok. 

Saat itu, dalam persidangan Robert Kearns mengambil salah satu novel karya Charles Dickens “The Tale Of  Two Cities”, dan membacakan sedikit bagian dalam buku tersebut, lalu cerdasnya dia bertanya “Apakah Charles Dickens, menemukan kata It, was, the, best dan time” Kearns kemudian menyimpulkan bahwa semua kalimat itu tercatat di sebuah kamus dan Charles Dickens tidak melakukan sesuatu hal yang baru.

Pusing? Aturlah pusing kalian dulu baru pahami analoginya. Begini konklusi dari Kearns “Sebuah temuan baru disusun berdasarkan temuan-temuan sebelumnya dan menjadi sesuatu dengan fungsi yang baru”. Voilaaaaa sesederhana itu khan memulai sesuatu yang baru. Tidak perlu berpikir untuk melakukan sesuatu yang wahhhh atau keceee dan kerennn banget, semua dimulai dari kita. “Start with men in the mirror,” kata King of Pop.

Saya pun tidak bisa berbicara banyak tentang kreativitas, kreativitas saya cukup dimulai diri sendiri. Yoris Sebastian pernah bercerita tentang memulai sebuah kreativitas kecil dalam bukunya “Oh My Godness: Buku Pintar Seorang Creative Junkies". Kreativitas kecil bisa dimulai dari memilih rute yang berbeda tiap beberapa hari sekali ke kantor untuk mematikan kebosanan, atau style pakaian saya coba dipadupadankan setiap hari dengan pilihan yang tidak sebanyak para seleb itu. Dari situ semua berkembang perlahan, bukan memulai dengan "wahhhh bagus itu, besok aku bikin yang plek sama lahhhh". Nahhhh Easyyy right…?

Yah ini cuman tulisan ngehek dari orang kurang piknik yang potensial mengundang kalimat “Sinis banget sich lo”. Jangan berharap solusi besar dari tulisan ini, lah tulisan ini juga cuman ungkapan hati saya, cuman "ikut-ikutan rame" versi saya, supaya ada tandingan lah buat fenomena aneh itu. Anggap saja saya nambah manas-manasi lah gitu.

 

So we all die young, are we?

 

Salam Pemuda…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun