Artikel kali ini akan membahas tentang Pidana Korporasi yang menjadi bagian Hukum Pidana Ekonomi. Menjadi hal yang menarik, karena korporasi merupakan badan hukum. Artinya, bukan orang dalam makna manusia yang dikenakan pidana, melainkan organisasi atau perkumpulan yang didirikan oleh akta otentik serta memiliki hak dan kewajiban selayaknya manusia. Teori tentang badan hukum merupakan bagian dari subjek hukum diwakilkan oleh Von Savigny, bapak dari mahzab sejarah dalam epistemologi hukum dengan teori fiksi (fictie theory).
Dalam konteks sederhananya, korporasi disamakan dengan manusia. Artinya, bukan hanya memiliki hak dan kewajiban, namun juga menjadi bagian dari masyarakat hukum, dapat melakukan perbuatan hukum, membuat hubungan hukum, menjadi bagian dari peristiwa hukum, serta menanggung akibat hukum. Di sisi lain, pidana, sebagaimana sudah berkali-kali penulis tuangkan, merupakan hukum yang bertitik tolak pada akibat hukum yang disajikan dalam kata 'diancam pidana...apabila' atau 'barangsiapa melakukan... diancam pidana...' dan sebagainya.
Sampai sekarang, masih sering dipertanyakan apabila seseorang dalam suatu perusahaan kemudian berbuat kriminal, siapa yang harus bertanggung jawab, apakah perusahaan tersebut atau orang itu? Dan apabila terjadi dalam skala yang lebih besar, misal kejahatan dari dalam tubuh negara yang bergerak dalam bidang ekonomi? Secara konkret, misalnya, korupsi dana aruransi jiwa negara, korupsi dana haji kementerian agama, dan sebagainya. Siapa yang bertanggung jawab? Negara? Pemerintah? KPK? Kepolisian? Ramai-ramai? Atau ditertawakan saja karena Indonesia adalah Indonesia? Penulis serahkan pada pembaca.
Terlepas dari pertanyaan dari ranah kenyataan, secara yuridis Tindak Pidana Korporasi memiliki dua dimensi utama, yang meliputi tindak pidana korporasi yang ditujukan pada negara, dan tindak pidana korporasi yang ditujukan pada publik. Sebagian kecil yang sering digunakan sebagai dasar untuk menegakkan Pidana Korporasi meliputi:
- UUdrt 7/1995 tentang Tindak Pidana Ekonomi
- UU 5/1984 tentang Perindustrian
- UU 6/1984 tentang Pos
- UU 9/1985 tentang perikanan
- UU 8/1995 tentang Pasar Modal
- UU 5/1997 tentang Psikotropika
- UU 22/1997 tentang Narkotika
- UU 23/1997 tentang Lingkungan Hidup
- UU 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan tidak Sehat
- UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen
- UU 20/2001 tentang Tipikor
- UU 25/2003 tentang pidana pencucian uang
- KUHP Baru.
Selain itu, terdapat juga peraturan dari PBB yaitu UNCAC (United Nation Convention Against Corruption ) dan UNCAT|OC (United Nation Convention Against Transnational Organization Crimes), di mana dasar hukum ini digunakan dalam menghadapi kejahatan korporasi yang bersifat transnasional maupun global. Adapun penggunaannya disesuaikan dengan korporasi apa yang seyogianya dimintakan pertanggungjawaban.
Ciri Kejahatan Koorporasi
Sebagai suatu kejahatan yang dilakukan oleh subjek hukum, koorporasi yang melakukan tindak pidana juga memiliki ciri khas yang tidak bisa dilepaskan. Ciri-ciri tersebut meliputi:
Dilakukan tanpa kekerasan;
Secara sederhana, kejahatan korporasi bergerak tanpa unsur perbuatan yang menggunakan kekuatan fisik atau menimbulkan bahaya penderitaan secara jasmani maupun secara psikologis.
Disertai Kecurangan dan Penyesatan;
Pada intinya, kejahatan korporasi dilakukan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri ataupun kelompok secara melawan hukum. Kejahatan korporasi juga memiliki ciri bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dapat dinilai menyimpang, sekurangnya bukan di jalan yang benar walaupun tidak sepenuhnya salah.
Penyembunyian kenyataan dan Akal-akalan;
Ciri lain dari kejahatan korporasi adalah adanya penyembunyian kenyataan serta akal-akalan. Penyembunyian kenyataan yang dimaksud merujuk pada tindakan suatu korporasi yang tidak utuh dalam menyelenggarakan tugasnya, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti untuk apa tujuan korporasi itu berdiri, dasar hukumnya, serta kegiatannya,
Manipulasi dan Penyalahgunaan peraturan;
Ciri yang juga melekat pada kejahatan korporasi adalah manipulasi dan penyalahgunaan peraturan. manipulasi yang dimaksud merujuk pada pemalsuan data terkait penyelenggaraan korporasi, dan penyalahgunaan peraturan merujuk pada bagaimana cara korporasi memperdayakan hukum yang berlaku agar tetap pada posisinya yang dikatakan legal, walaupun tidak berarti perbuatan tersebut tidak mengandung kejahatan.
Kemudian, karakteristik yang mengikuti perbuatan tersebut meliputi:
Penuh ketertutupan;
Dalam hal ini, kejahatan yang dilakukan korporasi biasanya sering tidak disadari karena pengelolaan korporasi dalam membatasi suatu kegiatan sehingga tindakan tersebut tampak sebagai kegiatan normal.
Kompleks;
Karena kejahatan korporasi selalu bersifat terselubung, penuh intrik, dan berbelit-belit, maka pembuktian untuk menyatakan perbuatan korporasi tersebut merupakan kejahatan memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi.
Ada penyebaran tanggung jawab;
Sebagaimana korporasi yang dimaksud merupakan organisasi yang terdiri lebih dari satu orang, maka perbuatan korporasi tersebut tidak hanya dibebankan kepada satu orang, melainkan setiap orang yang berada dalam korporasi itu, terlepas orang yang mendapatkan tugas dari korporasi itu menyadari bahwa perbuatan itu kejahatan atau bukan, tanggung jawab itu tersebar lewat tindakan yang dirancang oleh para pemimpin korporasi.
Ada korban yang banyak;
Korban yang luas disini merupakan efek dari perbuatan korporasi. Kejahatan korporasi diidentifikasikan selalu menyebabkan penderitaan yang luas, baik disadari atau tidak disadari oleh masyarakat, serta tidak hanya terkait dengan manusia, melainkan juga dapat terjadi terhadap lingkungan hidup, kegiatan berpolitik negara, dan sebagainya.
Banyak hambatan dalam pendektesian dan penuntutan;
Hal ini merujuk pada segi realisme, dimana tidak jarang manuver yang dilakukan oleh korporasi dapat menciptakan hambatan-hambatan terhadap aksi penegakan hukum, baik hambatan tersebut muncul dari pihak-pihak penting yang dapat menjadi kunci penegakan hukum maupun dari lembaga penegakan hukum itu sendiri yang dengan sengaja melindungi agar kejahatan korporasi itu tidak bisa disentuh karena satu dan lain hal.
Ambiguitas penegakan hukum;
Masih dalam segi realisme, sebagai akibat sulitnya penuntutan dan pendeteksian terhadap korporasi, implementasi hukum yang diterapkan terhadap korporasi menjadi sulit. Kesulitan tersebut dapat diakibatkan beberapa faktor, misalnya kurang alat bukti, kurang political will dari penegak hukum itu sendiri, adanya gerakan di masyarakat yang terjadi karena korporasi tersebut, dan lain sebagainya.
Dikotomi status tersangka;
Dan masih dalam segi realisme juga, seorang tersangka dalam tindak pidana ekonomi tidak serta merta dapat dikatakan melakukan kejahatan maupun diberikan stigma penjahat begitu saja, karena dimungkinkan subjek yang melakukan tindakan tersebut tidak bersalah secara moral seperti membunuh dan sebagainya, melainkan bersalah secara hukum dengan melakukan pelanggaran hukum.
Lalu, timbul pertanyaan sederhana. Apa suatu kejahatan, apabila negara lewat pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai Pelaku Usaha berbentuk korporasi, melakukan white collar crime terhadap masyarakat lewat kebijakan yang dibuat? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Sebagaimana sudah dinyatakan, Pidana Korporasi bersifat khusus, dimana kekhususan tersebut juga yang menyebabkan banyak peraturan perundangan digunakan dalam rangka penegakan hukum, termasuk juga teori-teori tentang pidana korporasi. Ada banyak teori terkait pidana korporasi, sehingga tidak akan penulis jabarkan satu persatu. Namun pada muaranya, suatu korporasi dapat dipidana dengan tiga pertimbangan, yaitu pertimbangan psikologis, pertimbangan sosiologis, dan pertimbangan yuridis.
Dan sebagai suatu pidana yang bersifat khusus, pidana korporasi kemudian memiliki rumusan yang berbeda dari delik biasa, yang dikenal sebagai delik fungsional. Delik fungsional adalah delik yang berasal dari suasana sosial ekonomi yang mencantumkan syarat bagaimana suatu aktivitas sosial atau aktivitas ekonomi harus dilaksanakan dan ditujukan pada para pihak yang menjalankan fungsi itu sendiri.
Ciri khas dari delik fungsional ini adalah akibat pidana yang bersifat administrative dan reparator. Reparator maksudnya adalah beban yang diberikan kepada terdakwa merupakan beban yang bertujuan untuk memulihkan atau memperbaiki sesuatu, sementara administrative yang dimaksud merujuk pada beban yang mengakibatkan terdakwa atau pelaku perbuatan itu kehilangan, atau menjadi lebih terbatas, atau mempersulit terdakwa, dalam cara-cara penyelenggaraan mencapai tujuannya.
Demikianlah sedikit tentang Hukum Pidana Ekonomi, tentang Pidana Korporasi. Penulis menyadari artikel hanyalah pucuk dari seluk beluk Hukum Pidana Korporasi yang dapat dikaji secara komprehensif, terutama karena ada begitu banyak teori yang digunakan dalam menganalisa jenis hukum ini. Â Namun seperti biasa, agar sederhana hanya hal ini yang dapat penulis bagikan. Akhir kata, artikel ini bukan artikel sosial budaya, semoga berkenan, dan tetap semangat.
Artikel ini bermuatan opini pribadi penulis dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H